Browsing Tag

Kemerdekaan

Soerabaja

10 Nobember 1945, bom memborbardir Surabaya. Para pemuda yang keras kepala telah menolak ultimatum Inggris. Berbekal senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing,. Bung Tomo dan para pemuda melawan tentara Inggris dan Gurkha. Sampai sekarang kita mengenangnya sebagai peristiwa heroik dalam buku buku sejarah.
Idrus menulisnya dalam novelnya yang berjudul ‘ Surabaya ‘ yang dicetak Merdeka Press tahun 1947. Ia menjungkir balikan kesakralan peristiwa itu. Ia melukiskan pertempuran Surabaya sebagai pertempuran para bandit. Idrus mencuatkan kontroversi, karena ia mencemooh dan mengejek perjuangan rakyat Surabaya.

Dalam surat kabar Ra’yat, Idrus mengiklankan novelnya sebagai berikut.
Satu satunya roman Indonesia yang berderajat Internasional. Kritis realistis menegakkan bulu roma.
Sinisme yang menyayat, tetapi lepas dari sentimen sentimen chauvanisme.
Harus dipunyai oleh setiap peminat kesusasteraan dan seluruh bangsa Indonesia
Penerbit : Harian Merdeka. Harga R.3

Para pemuda dideskripsikan dengan revolver dan pisau terselip di pinggang, berjalan dengan pongahnya. Sesekali mengarahkan senjata ke atas dan menembak membabi buta tanpa tujuan jelas.
Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak, dengan rambut gondrong dan mengenakan baju lusuh berbau apek. Mereka yang sebelumnya mabuk kemerdekaan, menjadikan senjata sebagai berhala baru. Demikian Idrus menceritakan kenangan buruk itu.

Tak kalah dasyat, kisah pengungsian setelah Inggris menggempur kota. Di tengah pengungsian, kejahatan merebak. Banyak massa pemuda yang melakukan tindak kriminal seperti menjarah, memperkosa perempuan serta membunuh berdarah dingin kepada orang orang Tionghoa dan Indo yang dicurigai sebagai mata mata musuh.

Continue Reading

Riwu Ga dan Kemerdekaannya

Hiruk pikuk pemuda yang kecewa memenuhi teras halaman rumah Jl Pegangsaan 56 Jakarta. Mereka ada yang bersenjata klewang dan kecewa karena terlambat menyaksikan Proklamasi yang sudah diucapkan beberapa waktu yang lalu. Soekarno menolak mengulang membacakan proklamasi lagi.
Suasana panas. Sebagian orang termasuk Mohammad Hatta sudah meninggalkan kediaman Soekarno. Riwu Ga, putera dari pulau Sabu, Flores diam diam memperhatikan dari balik pintu. Tangannya mengepal dan matanya menatap tajam situasi panas itu.

Ia sudah mengikuti Soekarno sejak tahun 1934, ketika ia dibuang di Pulau Flores. Ada beberapa putera flores yang tinggal di rumah pengasingan itu. Riwu adalah yang paling muda. Ia bertugas menyiapkan makanan dan minuman untuk Bung Karno.

Ketika diasingkan ke Bengkulu, Riwu diminta Soekarno untuk ikut dengannya. Sehingga secara adat ia harus dilepas, karena Riwu merupakan anak sulung di keluarganya. Ia kelak akan menggantikan ayahnya menjadi tetua adat. Sekaligus ndu namatu. Penjinak petir, badai dan semua bahaya dari langit.
Kelak tak ada yang tahu kalau Riwu Ga adalah corong kemerdekaan yang pertama. Setelah para pemuda pulang. Soekarno memanggil Riwu dan memerintahkan mengabarkan kepada rakyat Jakarta bahwa kita sudah merdeka. ” “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.” Waktu itu hampir mustahil menggunakan radio, mengingat fasilitas masih dikuasai Jepang.

Continue Reading

Rekor dunia yang pecah di Manado

Sabtu kemarin selepas magrib sambil duduk santai melihat tayangan Metro TV. Laporan pandangan mata reporter TV Tommy Cokro dari Manado, tentang gladi bersih persiapan pemecahan rekor dunia penyelaman di pantai Malalayang.
Ada yang menganggu dalam tayangan sekilas itu, ketika salah satu reporter TV lainnya, Prita Laura dengan mengenakan baju selam khusus, berjalan dan mak grusss, menginjak injak karang dan koral. Cut. Laporan kembali ke Tommy Cokro diatas kapal. Selesai.

Apa yang saya pikirkan dan sebagian besar pemirsa yang kebetulan menyaksikan tayangan itu. Semua memiliki persepsi sama. Sangat menguatirkan, apalagi dikaitkan dengan bagian dari perayaan hari Kemerdekaan dan Sail Bunaken di Manado. Seketika saya memposting kegundahan ini di sebuah milis selam.

Di luar itu, beberapa narablog bereaksi. Teman dari Nature Conservancy Indonesia langsung berteriak. Sebagian orang menelpon dan sms saya, yang isinya menanyakan apa yang mereka lihat barusan di TV. Mengapa komunitas penyelam justru melakukan kegiatan massal yang justru berpotensi merusak ekosistem yang ada.

Continue Reading

John Lie

Awal September 1949. Kapal boat Republik Indonesia panjang 110 kaki dan berukuran 60 ton “ The Outlaw “ baru saja berlabuh di pelabuhan Bhuket, semenanjung Malaya. Para awak kelelahan, setelah kesekian kali lolos dari sergapan kapal perang Belanda. Semalam tepat selepas Penang, di laut bebas mereka bertemu dengan kapal patroli Belanda yang mengejarnya sambil melepaskan tembakan boffors dan miltraliurnya.
Kelihaian kapten ‘The Outlaw”, Mayor John Lie kembali teruji, untuk bisa membawa barang barang komoditi seperti karet, gula, teh untuk di jual dan ditukarkan ban, senjata, mobil dan kebutuhan perang kemerdekaan.

The ‘ Outlaw ‘ adalah legenda saat itu. Radio BBC selalu menyiarkan keberhasilan kapal itu dalam menembus blokade Belanda. Ini membuat Belanda semakin geram dan terus berusaha menjegat kapal kebanggaan Republik.
Saat saat beristirahat sambil membongkar muatan. John Lie kedatangan seorang wartawan LIFE Magazine – Roy Rowan – yang mewancara dan kelak dimuat dalam majalah tersebut Edisi 26 September 1949. Artikel itu berjudul “ GUNS –AND BIBELS – ARE SMUGGLED TO INDONESIA “

Continue Reading

Sultan Hamengku Buwono IX

Suatu hari terjadi hiruk pikuk kehebohan di depan pasar Kranggan tahun tahun selelah Indonesia merdeka. Saat itu ada seorang wanita pedagang beras yang jatuh pingsan. Usut punya usut, wanita tua itu baru mengalami kejadian yang hanya terjadi seumur hidupnya. Sebelumnya wanita ini sedang menunggu kendaraan di tepi jalan, tiba tiba muncul kendaraan jeep dari arah utara menuju selatan. Wanita ini memang biasa nunut nunut kendaraan yang lewat, dan membayar satu rupiah untuk sekali jalan.
Jeep Willys itu berhenti dan wanita itu menyuruh si ‘ supir ‘ untuk membantu mengangkat karung berasnya. Entah berapa karung, dan supir itu menurutinya.

Setibanya di pasar Kranggan, supir itu juga menurunkan beras berasnya dan menolak ketika dibayar oleh si wanita itu. Tentu saja wanita tua itu marah marah karena mengira si supir meminta uang lebih. Di tengah kemarahannya, si supir lalu pergi begitu saja.
Belum selesai marah marah, seorang polisi menghampiri dan memberitahu siapa sosok supir yang menolak uang tadi.
Tak heran kemudian ia jatuh pingsan. Supir itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sang Raja Jogja.

Continue Reading