Malam itu, bau anyir darah di padang Kuruseta terbawa angin ke segala penjuru. Termasuk perkemahan saat Adipati Karna menulis surat terakhir kepada istrinya, Surtikanti. Ia tahu esok adalah hari penentuan.
“ Mati rasanya bukan lagi soalku istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar daripada hidup. Walau ahli nujum meramalkan aku akan mati besok, tidak akan merubah takdir. Bahwa Arjuna berperang atas darah yang mengalir di tubuhnya serta hak atas kerajaannya, sementara aku berperang untuk mengukuhkan siapa diriku. “
Ia tahu nubuat dewata bahwa kebenaran harus ditegakan. Dan ia akan dikorbankan. Ia tidak berharap sebuah tempat di swargaloka, setimpal dengan korban yang dilakukan. Ia hanya berharap bahwa semua mata terbuka.
“ Inilah puncak ilmu yang kucari wahai istriku. Aku bukan sekedar anak sais, Suta yang hina. Ilmu dan kebajikan tidak memandang kasta, tidak melihat harta dan tidak menundukkan pada kekuasaan. “