Browsing Tag

Jakarta

Pidato Bung Karno saat melantik Ali Sadikin

Saudara-saudara sekalian, beberapa saat yang lalu, Alhamdulillah Saudara Mayjen KKO Ali Sadikin telah mengucapkan sumpah menjadi gubernur/kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, menjadi gubernur Jakarta.
Wah, itu bukan satu pekerjaan yang mudah. Dalam hal mengangkat walikota-walikota daripada beberapa kota, saya sering mengalami kekecewaan. Sesudah saja angkat yang tadinya saya kira dan saya anggap walikota itu dapat menjalankan tugasnya sebagai walikota dengan cara yang baik, kiranya tidak memuaskan.

Misalnya, saya pernah mengangkat seorang walikota yang dia dulu sebelum saya jadikan walikota, wah, seorang pamongpraja yang gemilang, yang baik sekali, seorang bupati yang sebagai bupati, boleh dikatakan jempol sekali. Diusulkan kepada saya supaya orang ini saya angkat menjadi walikota daripada sesuatu kota. Saya angkat. Kemudian sesudah beberapa bulan dia menjalankan pekerjaan sebagai walikota, ternyata amat atau setidak-tidaknya, mengecewakan. Oleh karena menjadi walikota itu lain, Saudara-saudara, dengan sekadar memamongprajai penduduk daripada kota itu.

Walikota daripada sesuatu kota harus memenuhi beberapa syarat teknis yang amat sulit. Harus mengetahui hal, misalnya, city-planning, harus mengetahui hal accijnering, harus mengetahui hal persoalan-persoalan lalu-lintas; harus mengetahui hal architectuur, harus mengetahui hal hygiene, harus mengetahui hal sampah; harus mengetahui hal selokan; harus mengetahui hal pertanaman; etc., etc…

La, ini walikota yang saya angkat, yang saya ambil sebagai contoh tadi itu, yaitu sebagai pamongpraja bukan main bagus sekali. Tetapi sebagai walikota dia gagal. Sebab dia itu tidak tahu menahu tentang city planning. City Planning yaitu mana tempat industri, mana tempat kediaman, mana tempat pasar, mana tempat etc., etc. .. Tidak tahu tentang urusan accijnering, tidak tahu tentang urusan selokan-selokan, tidak tahu tentang hal verkeersproblem, tidak tahu tentang hal hygiene. Jadi dia gagal sebagai walikota.

Saya ganti. Barangkali ini baik saya ambil dari militer. Kiranya si militer itu pun gagal. Hij snapt er geen lor van. Sebagai walikota. Sebagai militer dia orang yang gemilang, tetapi untuk menjadi walikota hij snapt er geen lor van.

Nah, mengenai Jakarta ini bukan saja ibukota daripada Republik Indonesia. Ibukota yang– saya lo yang menetapkan beberapa tahun yang lalu, bukan saja itu ucapan saya ini– satu kota yang penduduknya 4 juta. Sama Hong kong barangkali, total jendral, penduduknya masih banyak Jakarta.

Jakarta ini adalah satu political centre. Jakarta ini adalah communication centre. Jakarta ini adalah membawa problem-problem yang hebat sekali. Problem-problem yang saya sebutkan tadi itu. Mana selokan, mana sampah mana city planning, mana lalu-lintas, etc., etc., etc. Saya cari-cari orang, cari-cari orang.

Continue Reading

Sekali lagi. Seandainya saya warga Jakarta

Issue issue agama selalu dipakai dalam hajatan pemilu atau pilkada seperti di Jakarta. Selalu ada pertanyaan, bagaimana sosok Gubernur yang ideal bagi golongan muslim. Mengapa selalu berpikir umat Islam ? Ini membuat cara berpikir yang memecah belah. Menggunakan sentimen agama menunjukan kemalasan untuk berkreasi dengan wacana politik atau kebijakan kandidatnya. Itu cara berpikir kuno. Bukankah memang mayoritas penduduk Jakarta adalah muslim. Semestinya, pertanyaannya yang tepat adalah bagaimana sosok Gubernur yang ideal bagi rakyat. Menurut Nurcholis Madjid, simplifikasi dan sentiment berdasarkan agama dalam kehidupan politik, tidak relevan sekalipun Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk rakyat Indonesia.

Tiba tiba saya teringat Bang Haji Rhoma Irama yang 5 tahun lalu dalam ceramah di Masjid Al Isra Tanjung Duren sudah membuka wacana jangan memilih Cagub yang tidak seiman. Waktu Bang Haji menghimbau agar umat memilih pasangan Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli. Bukan memilih pasang Joko Widodo – Basuki Tjahaya Purnama. Kini Bang Haji tidak terlalu larut dalam hiruk pikuk pilkada kali ini. Barangkali dia lebih disibukan dengan membangun partai Idaman-nya.

Peristiwa di atas menunjukan bahwa sejak dahulu agama berpretensi menentukan neraca benar salah, baik buruk dan halal haram. Sehingga kerap menimpulkan ketidaknyamanan, terutama bagi kalangan minoritas. Ini terasa getir sampai sekarang ketika 10 % penduduk non Muslim di kepulauan Nusantara ini kadang masih dianggap bukan pemilik negeri ini.
Issue issue Kristen, non pribumi masih menjadi bahan ampuh untuk mencari minat pemilih, apalagi urusan kampanye Pilkada Jakarta yang akan memasuki putaran kedua. Dan kita termangu mangu melihat spanduk atau selebaran provokatif dipasang sepanjang jalan. Juga dakwah ulama yang mendoakan dengan mengutuk laknat neraka kepada umat Islam yang memilih Ahok.

Kemenangan Ahok bukan berarti kekalahan Islam. Janganlah dibuat sebagai bahan propaganda. Islam tidak kalah. Sebagai agama, Islam tidak pernah kalah. Ahok yang non muslim adalah sponsor Islam yang paling tangguh. Tidak perlu lagi membahas keberpihakannya kepada umat muslim.
Perhitungan kalah menang terlalu pesimistis. Itu pandangan stereotype para politisi Islam. Mereka sering tidak konsisten. Katanya disatu pihak mengakui rakyat mayoritas beragama Islam, tapi tidak mau mengakui yang bukan kelompoknya sebagai orang Islam juga, seperti muslim pendukung Ahok.

Continue Reading

Tentang Banjir

Tiba tiba saja negeri ini seperti dikutuk karena bencana banjir dimana mana. Manado, lalu sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Karawang sampai ujung perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tentu saja, Jakarta yang menjadi langganan setiap tahun. Tambahan letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara seakan menggenapi lirik tanah bencana.
Khusus Jakarta. Siapapun Gubernurnya jadi tergagap gagap menghadap banjir yang datang.. Mengapa tidak ? Jika berita di media online sudah mengatakan, “ Ketinggian air di Katulampa, Bogor sudah mencapai siaga 1. Banjir kiriman segera datang “. Sesuai hukum alam, air akan mengalir ke dataran rendah. Artinya Jakarta hanya bisa pasrah, dalam hitungan sekian jam akan menerima limpahan air yang menerjang. Mengamuk kemana mana.

Sebenarnya dari jaman dulu banjir selalu memusingkan penguasa Batavia. Banjir besar terjadi pada tahun 1872, sehingga Sluisburg (Pintu Air) di dekat Harmoni ini jebol. Kita tidak tahu seberapa besar banjir waktu itu. Yang pasti ketika itu Ciliwung meluap dan merendam pusat perdagangan di tengah kota seperti pasar baru dan sepanjang jalan yang sekarang menjadi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Banjir besar lainnya terjadi 1918. Hujan yang turun terus menerus sepanjang bulan Januari dan Februari membuat Batavia kembali kebanjiran. Kali ini hampir seluruh kota terendam seperti daerah yang sekarang menjadi Gambir. Pejambon dan Cikini. Ini membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun proyek banjir kanal, dan beberapa kali sodetan.

Continue Reading

Mulutmu. Bajingan !

Tiba tiba saja ucapan ‘ Bajingan ‘ dari sang Wagub Ahok memenuhi time line dan pemberitaan beberapa hari lalu. Banyak orang mengutuk kenapa ucapan itu keluar dari mulut Ahok. Walau itu ditujukan kepada murid murid SMA yang melakukan tindakan kriminil membajak bus kota. Ada politikus partai kuning yang membela bahwa anak anak itu harus diberi kesempatan. Tidak selayaknya dihukum. Anak anak nakal ya tetap anak anak kita yang harus dibina.
Mungkin kegeraman Ahok sudah mencapai ubun ubun. Kenakalan anak anak sudah melewati batas, sehingga terlontar kalimat ‘ bajingan ‘. Problemnya karena diucapkan di ruang publik. Banyak yang tersinggung dan merasa tidak layak. Apakah benar ?

Saya teringat kisah Gubernur Ali Sadikin dahulu. Suatu pagi Bang Ali membaca koran pagi yang memuat berita seorang anak SMA di wilayah Rawasari yang memukul gurunya, karena tidak naik kelas. Serta merta Bang Ali naik pitam, dan datang ke sekolah itu dan berseru ” Saya jadi backing para guru. Guru tidak usah takut jika ada murid atau orang tua nodong pistol “. Ia meneruskan ” Saya punya 70.000 senapan. Jangan takut. Laporkan kalau ada yg mengancam. Ini konsesus saya dengan Kadapol. Mengerti ? “
Bang Ali Berteriak ” Hanya orang tua yang GOBLOK yang tak tahu diri yang membela anak anaknya yang tak benar ” Para wartawan dan masyarakat semua kaget dengan intonasi ‘Goblog ‘ yang keluar dari mulut Bang Ali.
Tapi Bang Ali tak perduli dan menegaskan bahwa setiap siswa yang melanggar hukum akan ditindak. Sejak lahirnya lembaga POMG – Persatuan Orang tua Murid dan Guru.

Tapi mungkin ini juga bukan sekali Bang Ali memaki. Sudah menjadi kebiasaannya menyemprot dengan kata kata. “ Sontoloyo ‘, “ Memang jalan nenek moyangmu ? “ atau bahkan menempeleng supir yang mengendarai truknya sembarang di jalan raya.

Kalau kita tarik lebih jauh lagi. Walikota Jakarta yang pertama, Suwiryo juga pernah marah marah di depan publik. Kali ini dia berkata pada reporter harian ‘ Merdeka ‘ yang ditujukan kepada pemimpin pemimpin yang mengungsi di Jogjakarta agar jangan sok tahu. Karena tidak tahu situasi sehari sehari yang dihadapi orang orang Republik yang bertahan di Jakarta menghadapi NICA.

Continue Reading

Sekali Lagi. Ini Jakarta

Jakarta kembali berbenah. Memilih Gubernur hari ini. Sungguh menyesal saya tidak bisa ikut menjalani hak warga untuk ikut pilkada, karena saat ini saya masih ‘ istirahat ‘ di Singapore. Tapi saya masih bisa menulis tentang harapan Ibu kota yang sebagaimana dikatakan Bung Karno kepada Ali Sadikin. Aku tanamkan kepadamu, cita citaku tentang Jakarta sebagai bandar perdagangan yang berdiri sejajar dengan kota kota besar di dunia.
Jakarta adalah kota kesayangan Bung Karno. Menjelang kematiannya, ketika Gubernur Ali Sadikin menengoknya. Ia hanya bisa berkata lirih. “ Ali,. Jakarta, Ali, Jakarta “. Sampai matipun ia tak pernah kehilangan harapan tentang Ibu Kota kebanggaannya.

Ali Sadikin terus menjaga amanat Bung Karno. Ia bekerja keras membangun Jakarta. Namun para penggantinya hampir tak ada yang bisa meneruskan untuk mewujudkan tata kota yang ideal.
Jakarta memang berubah, namun gagal menjadikan sebagai kota kebanggaan warganya. Kota yang kehilangan jiwanya. Sumpah serapah mereka yang terjebak macet dan banjir masih cerita yang tak habis habis. Manusia manusia apatis yang kehilangan ruang publiknya. Selain dirampas tembok mall, juga diserobot motor motor yang menggila melintas taman median dan trotoar.

Kini para Jakarta memiliki kandidat Gubernur terbanyak yang pernah ada. Semua menawarkan mengelola kota ini, walau beberapa sebenarnya kelihatan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan kelak.
Saya seperti menyesali pemilihan langsung yang digagas sebagai manifesto roh reformasi. Perhelatan pilkada sungguh membutuhkan dana yang luar biasa besar. Bagaimana para Gubernur akan bekerja dengan tulus dan jujur, jika belum belum sudah meghabiskan biaya puluhan milyar. Betapa tidak, Tiba tiba saya takut bahwa kandidat kandidat yang mumpuni tapi tidak memiliki ‘ amunisi ‘ uang yang banyak, bisa saja tersingkir. Sebagian wargapun tersandera dengan uang politik dan sangat pragmatis. Berani bayar berapa ?

Continue Reading

Hak Ruang Publik Warga

Bang Ali mungkin salah satu gubernur yang memiliki keberpihakan terhadap penggunaan ruang publik. Jaman dulu taman rumput diantara jalur median Jl MH Thamrin sering dipakai sebagai tempat piknik kalau malam minggu. Jadilah orang orang duduk duduk sambil menggelar tikar dan makan penganan bawaan dari rumah.
Dalam rencana induk Jakarta 1965 – 1985, sistem ruang terbuka adalah 40 meter persegi per penduduk ( tidak termasuk halaman rumah ), sehingga pada akhor tahun 1985 diharapkan luas ruang terbuka meliputi 40.000 ha atau 60 % dari luas wilayah Jakarta. Sampai sekarang tidak pernah tercapai, bahkan terus menyusut ketiga gubernur gubernur lainnya mengelola Jakarta.

Hak mendapatkan ruang publik kadang menjadi dilematis karena kerap berbenturan dengan kepentingan modal dan penguasa. Bukan rahasia jika taman taman, lapangan lebih baik dijadikan lahan produktif dengan dijual hak pemakaiannya kepada pemodal untuk gedung misalnya.
Ini bertambah sempit ketika warga hanya mendapatkan sisa di trotoar, pinggiran jalan dan berebutan dengan pedagang kaki lima. Jalanan menjadi macet dan semrawut.

Continue Reading

Ke Jakarta !

Bung Karno dulu pernah mempunyai ide menarik, memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Baginya Jakarta hanya untuk kota perdagangan. Sementara kota Pemerintahan di pindah ke tengah tengah hutan Kalimantan. Sayang ide ini tidak pernah terwujud. Mungkin beliau sudah kerepotan dengan ide ide besarnya yang lain.
Tapi dengan fenomena arus balik saat ini, memang sudah selayaknya Jakarta menjadi lelah dan kelebihan beban. Selalu yang datang lebih banyak dari yang pergi.
Angka pertumbuhan sekitar 200,000 – 250,000 penduduk baru setiap tahun membuat hidup tambah sesak.

Gubernur Fauzi Bowo sudah jauh jauh hari akan menggelar operasi Justisi. Siapa yang tidak memiliki KTP Jakarta, hanya luntang lantung harus kembali ke daerahnya. Tramtib berwajah garang akan menyambut pemudik di terminal bus, stasiun kereta dan merazia pemukiman pemukiman. Ia juga memerintahkan setiap kelurahan, tidak gampang mengeluarkan KTP Jakarta. Harus ada bukti bekerja dan jaminan hidup di Jakarta.

Continue Reading

Tentang Jakarta

Ali Sadikin adalah orang Sunda kelahiran Sumedang. Namun selama ia menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta, sama sekali tak penah memperlihatkan atribut keSundaannya. Ia bangga dengan sebutan Bang Ali. Panggilan akrab orang Betawi. Ia juga menjadi gubernur pertama yang berbaris memimpin kontingen Jakarta dalam defile pembukaan PON 1973 di Surabaya, Ini ada ceritanya, karena sebelumnya para atlet atlet Jakarta –yang bukan asli Betawi – tidak pernah menunjukan kebanggaannya terhadap kontingen DKi Jakarta. Mereka selalu berkumpul di asrama atau mess kontingen daerah lain yang memiliki kesamaan suku.
Ali Sadikin marah. Ia memerintahkan seluruh atlet Jakarta dikonsinyir – diasingkan – di dalam kompleks KKO / Marinir di Surabaya selama berlangsungnya PON. Ia meninggalkan Jakarta dan mengawasi langsung kontingennya. Setiap hari ia memotivasi dan memberi pemahaman tentang kebanggaan sebagai kontingen Jakarta. Hasilnya saat itu DKI Jakarta merebut medali emas terbanyak.

Continue Reading

Ali Sadikin

Dipenghujung kekuasaannya, Bung Karno kebingungan untuk memilih Gubernur Jakarta yang baru. Dari beberapa nama yang disodorkan – termasuk beberapa jendral angkatan darat – tak seorangpun yang cocok. Saat itu dr. J. Leimena, waperdam menyebut nama Jenderal KKO itu kepada Bung Karno.
“ Ali Sadikin, orang menyebutnya een koppig heid. Keras kepala “.
Namun justru dia yang dipilih Bung Karno. Pada 28 April 1966, Mayor Jendral KKO Ali Sadikin dilantik sebagai Gubernur Jakarta diusianya ke 37 tahun.
Dalam sambutannya Presiden pertama Republik Indonesia itu menyebutkan, bahwa Jakarta membutuhkan seorang yang keras kepala untuk menertibkan para ndoro ayu dan tuan tuan yang suka seenak perutnya saja. Lebih lanjut ia mengatakan kelak suatu hari, orang akan mengenang apa yang telah dikerjakan oleh Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan ‘. Inilah yang telah dilakukan oleh Ali Sadikin. Pidato Bung Karno telah memacu Gubernur baru ini untuk membawa perubahan pada Jakarta.

Continue Reading