Bang Ali mungkin salah satu gubernur yang memiliki keberpihakan terhadap penggunaan ruang publik. Jaman dulu taman rumput diantara jalur median Jl MH Thamrin sering dipakai sebagai tempat piknik kalau malam minggu. Jadilah orang orang duduk duduk sambil menggelar tikar dan makan penganan bawaan dari rumah.
Dalam rencana induk Jakarta 1965 – 1985, sistem ruang terbuka adalah 40 meter persegi per penduduk ( tidak termasuk halaman rumah ), sehingga pada akhor tahun 1985 diharapkan luas ruang terbuka meliputi 40.000 ha atau 60 % dari luas wilayah Jakarta. Sampai sekarang tidak pernah tercapai, bahkan terus menyusut ketiga gubernur gubernur lainnya mengelola Jakarta.
Hak mendapatkan ruang publik kadang menjadi dilematis karena kerap berbenturan dengan kepentingan modal dan penguasa. Bukan rahasia jika taman taman, lapangan lebih baik dijadikan lahan produktif dengan dijual hak pemakaiannya kepada pemodal untuk gedung misalnya.
Ini bertambah sempit ketika warga hanya mendapatkan sisa di trotoar, pinggiran jalan dan berebutan dengan pedagang kaki lima. Jalanan menjadi macet dan semrawut.
Menarik melihat pemaparan Walikota Solo, Joko Widodo – yang masuk dalam salah satu walikota / bupati terbaik pilihan Majalah Tempo – sewaktu meresmikan peluncuran komunitas blogger Solo, Bengawan.
Ia dinilai sukses membenahi kesemerawutan tata kota, dengan memindahkan hampir 1000 orang PKL – pedagang kaki lima – di Banjarsari. Proses negoisasi ini sangat unik. Selama 7 bulan, mereka selalu diundang makan ke rumah walikota. Hanya makan tanpa ada apa apa. Padahal sejak pertama mereka sudah datang ditemani LSM dan biro advokasi,karena curiga dengan niat menggusur dari sang walikota.
Baru setelah hampir 7 bulan, walikota baru menunjukan niatnya, hendak memindahkan lokasi pedagang yang kumuh ke tempat baru. Mereka mendapatkan kios baru dengan gratis, sebagian jalur transportasi dialihkan lewat lokasi baru sehingga orang tetap datang berbelanja. Bahkan dikucurkan kredit pengembangan usaha.
Saat boyongan pindahnya para pedagang PKL – menuju tempat baru Pasar Klithikan – dibuat arak arakan kirab dengan kawalan prajurit keraton. Mereka bergembira dalam prosesi ini, sambil membawa tumpeng sebagai simbol kemakmuran dan memakai pakaian adat. Ini membuktikan tanpa adanya paksaan dan kekerasan. Padahal hampir jamak di tiap daerah – termasuk Jakarta – bahwa penggusuran selalu identik dengan kekerasan dan paksaan.
Ia juga membenahi pasar pasar yang kumuh dan becek ,merombaknya menjadi pasar yang megah, bersih dan menarik. Sehingga orang tertarik datang berbelanja.
Paradigma yang dimiliki Walikota ini memang berbeda. Pedagang Kaki Lima atau sector informal dianggap bisa menjadi asset pemberdayaan ekonomi lokal. Sementara beberapa kepala daerah justru melihat mereka sebagai sumber problematika tata kota.
Ada yang lebih penting bahwa dengan pengaturan tata kota ini. Walikota Joko Widodo menciptakan ruang publik bagi warganya selain merevitalisasi beberapa taman kota seperti Bale Kambang serta tata ruang lainnya.
Warga bisa bercengkerama, menikmati suasana ruang publik yang nyaman dan sehat. Jalanan bersih dan teratur. Solo sekarang sungguh berbeda dengan beberapa tahun lalu, ketika kotanya semrawut dan kotor.
Penjual makanan yang terkenal enak kemudian dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo. Lokasi kuliner yang buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo tersebut sekarang menjadi tempat jajan paling banyak dikunjungi di Solo.
Penggusuran pedagang kaki lima, di Jakarta karena memang mereka tidak difasilitasi konsep lokasi yang seiring dengan tata ruang yang baik. Setidaknya Walikota Jakarta Pusat sudah mencoba membenahi deretan pedagang makanan kaki lima di sepanjang Jl HOS Cokroaminto dan memindahkan disepanjang jalan yang membelah dari arah Taman Kodok ke jalan utama.
Selain itu yang paling terasa adalah keangkuhan kapitalisme gedung gedung bertingkat yang tidak akrab dengan dunia sekelilingnya.
Gedung House of Sampoerna ( dulu – Bank Danamon ) di Jalan Jend Sudirman, pernah membuka ruang publik di terasnya sebagai taman tanpa pagar berhadapan langsung dengan jalan protocol.
Namun mungkin pemilik gedung risih, karena kotor dan banyak orang duduk duduk serta pedagang makanan tumpah ruah. Sehingga akhirnya tempat itu ditutup dan dipagari tinggi. Angkuh dan terasing sepertinya.
Hal yang sama ketika Pemkot DKI Jakarta memilih memagari sekeliling Monas demi alasan kebersihan dan keindahan.
Hotel Mulia malah lebih kejam. Trotoar pedestrian di depannya yang milik publik justru ditutup oleh taman, sehingga orang tidak bisa menggunakan fasilitas umum ini. Setelah diprotes, barulah taman itu ‘ agak ‘ di pangkas sehingga menyisakan ruang jalan sedikit saja.
Kabar yang beredar, tempat berkumpul Komunitas Blogger Bunderan Hotel Indonesia – BHI – terancam digusur. Pemilik lahan tidak mengijinkan dan memasang satpam untuk mengusir siapa yang berkeliaran dan duduk duduk di sekitar trotoar di depan Hotel Grand Hyatt. Termasuk pedagang yang berjualan disana.
Ini sekaligus kabar buruk bagi nama brand BHI sendiri. Agak aneh jika kelak mengusung nama BHI tetapi berkumpulnya di Pasar Minggu misalnya.
”Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan,” kata Joko. Menurut Wali kota Solo ini, membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. ”Gampang. Pokoknya, pimpin dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah,” katanya.
Tidak sia-sia Joko mengurusi pedagang kecil. Mereka paling banyak merekrut tenaga kerja. Mereka juga penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Tahun ini nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar. Jauh lebih besar dibanding hotel, Rp 4 miliar, atau terminal, yang hanya Rp 3 miliar.
Joko Widodo membalikan asumsi bahwa disiplin, hak warga mendapat ruang publik, ketertiban dan kebersihan kota tak bisa berjalan seiring sejajar. Semuanya bisa mendapatkan haknya tanpa ada yang harus dikorbankan.
Ruang publik bisa menjadi terapi bagi jiwa jiwa yang terkungkung dalam belantara ibu kota.
Jakarta memang harus memperlihatkan keberpihakannya. Tanpa itu tak akan ada rasa memiliki dari warga terhadap kota tempat mereka hidup. Pagar tinggi dan pembatas hanya membuat rasa keterasingan, serta melahirkan jiwa jiwa yang apatis.
50 Comments
Setiaji
February 23, 2009 at 10:10 pmPemimpin seperti Pak Joko Widodo itulah sebenarnya yang kita butuhkan saat ini. Pemimpin ayng merakyat dan sensitif akan kebutuhan ruang untuk ajang berkumpul masyarakat. Semakin banyak ruang publik diharapkan menjadi semacam awal terbentuknya solidaritas masyarakat. Logikanya, semakin intens komunikasi antar warga di ruang publik semakin erat pula hubungan diantara mereka (kita).
abdee
February 24, 2009 at 12:28 ampersoalannya memang memanusiakan manusia…
padahal dalam falsafah jawa, secara simbolik dalam huruf jawa diterangkan bahwa huruf jawa akan mati kalau dipangku. pangku adalah huruf jawa yang berfungsi sebagai tanda baca mematikan vokal dlm huruf jawa. sehingga huruf ha jika dipangku menjadi h, huruf na jika dipangku menjadi n, dst.
Dari huruf jawa tersebut bisa disimbolkan bahwa orang jawa akan mati jika dipangku, dihargai, dimanusiakan. Itulah kenapa Diponegoro tak terkalahkan di medan pertempuran. Mangkubumi tak menyerah di medan perang. Karena mereka ingin dimanusiakan.
meong
February 24, 2009 at 12:39 amruang publik sejatinya sangat dibutuhkan oleh warganya… *selalu terngimpi-ngimpi kapan jogja
punya taman seperti central park-nya NY ato city walk-nya Perth*
idiiiih kek seperti pernah ke sono ajeeee….
ruang publik yg nyaman adl salah satu indikator kota yag ramah bagi ibu, anak, dan keluarga *ngimpi lagi, kapan jogja menjadi kota yg ramah thd ibu dan anak*
salut utk pak jokowi. visi beliau didukung juga oleh eksekusi yang ‘mulus’ dan memahami psikologi massa + psikologi sosial.
*siap2 didapuk jadi tim konsultan psikolog sosial*
nika
February 24, 2009 at 4:37 amah jadi bangga jadi alumnus fakultas dan univ yg sama dgn pak Jokowi..
*sotoy, gak nyambung*
DV
February 24, 2009 at 4:54 amJoko beserta wakilnya memang sekarang sedang moncer-moncernya di Solo.
Entah ini karena memang begitu baiknya mereka berdua atau redupnya pamor keraton Solo.
Tulisan yang baik!
Fajar GM
February 24, 2009 at 6:29 amSalut terhadap kepemimpinan bpk Joko Widodo. Memang seperti itulah karakter pemimpin yang baik, merakyat dan berpihak kepada rakyat. Bukan menjunjung tinggi kepentingan diri sendiri kemudian sedikit-sedikit bilang “ini juga kan demi rakyat…”.
*semoga ada yang tersindir*
gagahput3ra
February 24, 2009 at 7:32 amGak usah taman piknik yg gede2 deh….trotoar yang standar ukurannya nyaman aja udah cukup minimal…setres kalo jalan di Jakarta harus turun2 ke Jalan raya 🙁
ichanx
February 24, 2009 at 7:51 amkalo udah berbenturan dengan kepentingan… apalagi didukung kenyataan jumlah penduduk yang makin banyak dan bikin kepadatan tingkat tinggi… ya emang susah juga ya… hehe
rackoen
February 24, 2009 at 8:34 amthanks mas, tulisane membikin clear, kenapa di madiun ada carefur sedang di solo enggak ada 🙂
gde sebayu
February 24, 2009 at 8:36 amakur deh , keangkuhan kapitalisme melahirkan jiwa-jiwa apatis dan keterasingan.
mas iman, bersediakah memimpin jakarta? saya dukung sepenuh hati…
dony
February 24, 2009 at 9:12 amdan akhirnya penguasa selalu berpihak kepada keangkuhan kapitalisme dan modal bukan ?
salut dengan pak walikota yang melakukan hal sama tapi dengan cara berbeda 🙂
memanusiakan yah mas ? gampang mengucapkan susah sekali untuk dilaksanakan
semoga indonesia masih mempunyai orang2 seperti pak joko ini
edratna
February 24, 2009 at 9:30 amTulisan menarik mas Iman.
Bagi umum, adanya tempat makan yang disatukan juga memudahkan kita mencari makanan, apalagi jika jalanan macet. Dan juga menjadi tempat wisata kuliner.
Di satu sisi, ruang taman terbuka, memerlukan kedisiplinan warganya, kadang orang membuang sampah seadanya. Perlu kerjasama antara pimpinan, pengelola dan warga masyarakat.
Kebijakan walikota yang setiap kali mengajak diskusi sambil makan sangat menarik, mereka mendukung karena mereka memahami alasannya.
Semoga yang lainnya juga berpikir seperti itu, bukan melalui kekerasan, namun dengan diskusi mencari titik temu.
kian
February 24, 2009 at 10:02 amtulisannya keren mas iman. Banyak info yg didapet, keadaan jakarta, keadaan solo, ttg siapa itu Pak Joko, juga keadaan BHI…kereeen..
salut buat Pak Joko, semoga solo semakin asri , ramah dan ngangeni tur jaya raya.
Iman Brotoseno
February 24, 2009 at 10:16 amRackoen,
saya rasa masalah carefour adalah salah satu contoh ketidakperpihakan terhadap ekonomi pasar tradisional.. Di negeri asalnya Perancis, Carefour tidak ada di tengah kota Paris, harus agak keluar kota untuk menemukannya. Sehingga toko toko tradisional dan pasar kecil tidak berbenturan langsung. Lihat saja di Jakarta. carefour bisa ditemukan hampir setiap 5 kilometer di tengah tengah kota..
Fenty
February 24, 2009 at 10:48 amTapi kan jakarta lebih besar dari solo, dan orang di solo sabar2, hehehe …
dan terlalu banyak orang di jakarta … fiuuhh
boyin
February 24, 2009 at 11:29 amsekarang kalo mau wisata murah ama anak2..hanya monas saja satu 2nya..
zam
February 24, 2009 at 11:48 amJokowi adalah salah satu walikota yang konsisten dengan misi kampanye beliau. sejak awal masa kampanye, beliau memang mengusung visi utk menata PKL, suatu hal yang saat itu dianggap mustahil, dan beliau membuktikan visinya.
saya sendiri juga sampai tidak percaya, para PKL di pasar Klithikan Banjarsari yang sudah mengoyot (mengakar) itu kini bisa dipindahkan dan taman di seputaran Monumen 45 Banjarsari menjadi bersih. demikian juga dengan lapak-lapak kumuh di depan terminal Tirtonadi yang dulu kerap digunakan sebagai tempat mangkal PSK menjadi taman yang boleh diduduki siapapun utk menikmati pemandangan kali Pepe.
Jokowi juga termasuk walikota yang sangat menerima masukan dari warganya. kemarin saya sempet mengeluh langsung kepada beliau mengenai transportasi publik Solo yang sangat kurang. dengan tersenyum penuh arti, beliau menjawab bahwa dia ndak mau tergesa-gesa. dia sudah memikirkan hal ini dan dia ingin menyelesaikan apa yg sudah dilakukannya sebelum melangkah ke masalah yang lain.
sungguh walikota yang keren.
zam
February 24, 2009 at 11:50 am@ Fenty: lah.. orang Solo itu banyak yang ada dan hidup di Jakarta! memang, faktor budaya bisa menjadi suatu faktor penghambat, namun sebenernya intinya adalh metode bagaimana melakukan penataan. pendekatan personal kemanusiaan saya rasa menjadi penghapus batas budaya ini. semua suku pasti suka dan mau dimanusiakan, bukan?
leksa
February 24, 2009 at 12:14 pmmudah2an Pak Joko Widodo bisa bertahan dengan “HATI” nya..
Ingat Syaukani, si Bupati Kutai,.. sangat dicintai warganya dengan semua program2nya yg merakyat..
sayangnya 2 periode kepemimpinan membuat beliau lupa memimpin dengan HATI…
didut
February 24, 2009 at 12:26 pmmemang paparan beliau kemarin membuat bertanya tanya kapan semarang bisa tentrem kek gitu 😀
snydez
February 24, 2009 at 1:03 pmseperti yg saya bilang
[oot] kalo pak Joko Widodo ini nyalonin jadi capres, kemungkinan besar dapet vote dari saya 🙂
kenny
February 24, 2009 at 2:09 pm“pimpin dengan hati…” emang sepatutnya beliau jadi walikota teladan
Sharon
February 24, 2009 at 4:06 pmWah, inspiratif banget ya caranya. Daripada ribut-ribut kepanasan keringetan, ya mending diajak nongkrong bersama dulu 😀
bahtiar
February 24, 2009 at 4:39 pmsolo, ai lop yu ful
walaupun aku aseli sukarjo
🙂
mr.bambang
February 24, 2009 at 4:42 pmJadi, mari besok Jumat Malam kita rame-rame menyerbu BHI 😀
mr.bambang
February 24, 2009 at 5:34 pmeh besok Rabu ada wawancara BHI dengan Kompas di Sarinah, salah satunya menyoal ruang publik itu
jono
February 24, 2009 at 9:52 pmseru juga tuh si widodo caranya mindahin PKL, yang lain mau niru2 gak y
hedi
February 25, 2009 at 1:53 amPak Joko pantas jadi capres, kalau iya mungkin aku ga golput
tukang nggunem
February 25, 2009 at 2:59 amPanjenengan kalo sering ketemu Jokowi dalam acara2 resmi yang memberi dia kesempatan bicara lebih dari 10 menit, pastilah itu yang akan diceritakan, hahaha… Tapi tidak salah sih, karena hal itu memang merupakan sebuah sukses yang luar biasa dalam hal tata kota. Ada wong jowo yang bilang weteng wareg utek karep, kalo dalam keadaan kenyang, pasti orang akan gampang diajak berbicara jernih, jadi sedikit banyak bisa diarahkan.
Semoga dalam pilpres nanti bakal muncul pemimpin yang nguwongke rakyat yang dipimpinnya, Imaaaann..eh amiiinn…hehehehe
Maturnuwun pak Iman sudah kerso rawuh ke Solo, salam hangat selalu….
Dony Alfan
February 25, 2009 at 3:57 amAda gosip bahwa pak Jokowi ogah nyalon jadi walikota lagi. Hmmm, kita tunggu saja kebenaran gosip itu.
Sampeyan kapan budhal Solo lagi? 😀
@rackoen, semenjak Alfa dibeli oleh Carefour, di Solo sekarang ada 2 Carefour. Tapi keduanya terletak di pinggiran, Solo Baru dan Pabelan. Sedangkan tengah kota dikuasai oleh Hypermart
escoret
February 25, 2009 at 12:15 pmjadi? anak2 BHI pada kumpul dimana ntar..??
tik..pitik.???pitik mana ya..??
aprikot
February 25, 2009 at 2:53 pmtrotoar juga lbh sring dihabiskan untuk tenda2 makanan, lha bwt para pejalan kaki trpaksa mlipir lha wong trotoarnya dah ilang
auliahazza
February 25, 2009 at 8:30 pmSaya setuju dengan tulisan mas iman.
Dengar2 kakilima itu penghasilannya lebih besar dari pegawai kantoran. Alangkah bijaksananya jika pemerintah DKI Jakarta memberi jalan keluar yang adil. Saya setuju cara bapak yang di solo.
Masih untung warga Indonesia ga ngemis2 minta pekerjaan.
Untuk gedung2 yang magerin tamannya, ga bisa disalahin juga sih, di Danamon itu memang lama2 jadi jorok karena kita selalu buang sampah sembarangan, padahal tong sampahnya ada lho.
Nyante Aza Lae
February 25, 2009 at 11:24 pmhmmm, trotoar khan buat pejalan kaki…eh malah buat narok pot bunga!
Enade
February 26, 2009 at 5:15 amJadi ingat tokoh Ketua Karmun dalam novel “Maryamah Karpov”-nya Andrea …
Yoga
February 26, 2009 at 9:12 amTulisan yang bagus Mas Iman, saya bermimpi lebih banyak Jokowi di Indonesia ini yang bisa nguwongke manusia dan nggak cuma memandang manusia sebagai komoditi, human capital atau apa lah.
Membaca balasan komentar tantang Carefour saya setuju sekali dengan pendapat mas Iman. Carefour dan hyper-hyper mart lainnya benar-benar jadi simbol nyata kepentingan siapa yang dibela oleh pemerintah.
biro292
February 26, 2009 at 9:37 amPerbuatan yang dapat dijadikan taulan bagi pejabat pemerintah, betul2 sudah langka seorang pejabat seperti Pak Walikota. Cak mano Pak Ir.Eddy S Putera (Walikota Kito)?
denologis
February 26, 2009 at 12:38 pmbenar-benar pelajaran berharga dari solo ya Mas, terlepas dari karena tidak adanya “senjata” lain yang bisa digunakan oleh pak Jokowi. 😀
Abihaha
February 26, 2009 at 2:51 pmLha kalo ini laporan dari Bandung, walikotanya mau buat SUBWAY!! Pertama di Indonesia katanya. Mungkin sekaligus untuk pembuangan air hujan yang selalu membanjiri jalanan -tak tertampung drainase tersumbat-.
Lendi
February 27, 2009 at 9:12 amSalut ama Pak Jokowi… Langkah beliau dlm menanta ruang publik patut diacungi jempol namun yg paling penting adalah niat Pak Jokowi untuk membuat kota yang beradab bagi warganya.
* uh jd pengen maen kesolo…
suprie
February 27, 2009 at 3:48 pmberharap walikota jakarta membaca tulisann ini dan terinspiriasi dari walikota solo
lady
February 27, 2009 at 4:54 pmpengen tau pak joko Wi dari partai apa yah? secara saya org baru di solo 😀
DG
March 4, 2009 at 9:29 pmpq jokwi tu dari PDIP…. ada juga yang bikin kesengesem
dalam 3 tahun da ada 9 pasar yang uda dibangun…
taman 45 hektar deket stadion juga uda ada and dibuka buat publik
trans solo kayak trans jogja uda mo dibikin
Carrefour ga bakal dibangun di tengah kota
mo ada 3 apartemen 20+ lantai tahun ini
Juliach
March 5, 2009 at 4:30 amKayaknya para walikota/gubernur di Indonesia harus belajar di Perancis di mana ruang publik masih dihargai sekali.
Walaupun di sini sudah banyak supermarket/hipermarket, namun pasar tradisional masih di adakan di tempat parkir ti tengah kota atau dengan menutup jalan. Di Le Creusot ada 3X dalam seminggu.
Hari minggu/libur, sering pula di adakan “brocante” (=pasar loak). Ya tempatnya di halaman parkir Supermarket/di tengah kota tanpa/denganmenutup jalan pula.
Bagi-bagi rejeki lah!
kyai slamet
March 5, 2009 at 10:49 pmsetalah jokowi, kelak ada sigit wiiiiiii
😀
Reza Fauzi
March 7, 2009 at 9:43 ambener banget…. semuanya bisa berjalan sejajar tanpa ada yang dikorbankan
widi
March 7, 2009 at 2:14 pmwah salut banget mas..
bener banget postingane..
saya asli jogja, namun udah 3 tahunan pindah jadi warga solo..
emang dari kejadian pemindahan dan relokasi itu, banyak rakyat solo, terutama wong cilik jadi semakin dekat dengan walikotanya.. panggilan akrabnya pak Jokowi..
dan yang paling bikin saya terharu.. dari postingan ini adalah..
menjadi pemimimpin dengan hati, memanusiakan manusia… maka semua akan menjadi lebih baik,.
ijin ambil sebagai inspirasi yah mas..
ga aku copas semuanya..
tapi aku post dan tambahin juga…
terutama menyangkut BHI, tadi malam kami sempat digusur ama satpamnya…
hupf…
semoga Jakarta bisa menjadi semakim memanusiakan manusia…
ijin juga nambahin di blogroll..
terima kasih..
the tukang nggedeblues
March 17, 2009 at 5:47 pm10 tahun lebih hidup di solo, saya jadi bisa merasakan perbedaan penataan kota dulu dan sekarang …
sungguh, bukan memuja, saya sampai sekarang harus angkat topi tinggi-tinggi buat jokowi atas konsep penataan kotanya ….
ID-mrbambang - Surat Cinta untuk Plaza Indonesia
April 3, 2009 at 2:15 pm[…] Iman Brotoseno : Hak Ruang Publik Warga […]
dafhy
April 4, 2009 at 9:06 amsebuah pelajaran yang berharga mas dari solo