Dalam sebuah perjalanan kunjungan ke Wina , Austria. Suatu malam, Presiden Soekarno memanggil ajudannya, Letnan Kolonel Bambang Wijanarko. Ia perintahkan agar sang ajudan pergi keluar menuju klub klub malam yang bertebaran di kota itu. “ Pilihlah wanita lokal “ demikian pesannya, sambil tak lupa memberi bekal 150 dollar. Uang itupun bukan dari Bung Karno semuanya. Presiden Republik Indonesia itu hanya punya 50 dollar, lalu meminjam 100 dolar lagi dari M Dasaad, seorang pengusaha yang ikut dalam perjalanan itu.
Tentu saja saran memilih wanita lokal hanya gurauan. Walau disisi lain, bisa dijadikan saran sesungguhnya. Intinya bahwa Bung Karno ingin agar ajudannya yang baru pertama kali keluar negeri, bisa lebih terbuka wawasannya tentang dunia barat termasuk wanita wanitanya.
Sejak muda, memang Soekarno kagum dengan barat, khususnya modernisasi yang bisa membawa bangsa bangsa barat menguasai dunia. Dalam majalah “ Panji Islam “ tahun 1940 , ia menulis artikel berjudul ‘ Memudakan Islam ‘ yang memuji langkah sekuler yang dilakukan pemimpin Turki, Kemal Ataturk.
Bung Karno menyebut pemisahan agama dari negara yang dilakukan Ataturk sebagai langkah berani dan radikal.
Katanya, “Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan ke manusia manusia Turki sendiri. Tidak kepada negara. Maka salahlah kita, kalau menyebut Turki itu anti agama, anti Islam. Salahlah kita kalau menyebut Turki seperti misalnya, Russia “.
Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan apa yang dilakukan negara negara barat dimana agama diserahkan kepada individu pemeluknya, bukan menjadi urusan negara. Ia percaya tidak saja di Turki, tapi dimana saja, jika Pemerintah campur tangan dalam urusan agama, akan menjadi halangan besar dalam kesuburan agama itu sendiri.
Kini Istambul berbeda dengan Karachi. Istambul menampakan sebagai kota modern yang bergerak terbuka sementara Karachi tidak modern dan memberikan kesan lingkungan yang tertutup. Suatu masyarakat tertutup disebut ethnocentris. Bangsa, suku, agama dilihat menjadi sebagai pusat segala galanya. Misalnya, orang Yahudi yang melihat dirinya sebagai bangsa terpilih – the chosen people.