Browsing Tag

Idul Fitri

Tradisi XL, Tradisi Mudik

“ Lebaran sebagai perayaan budaya memiliki paralisme makna, yang pertama adalah perjalanan pulang ke dalam hakikat diri ( inner journey ) setelah nyaris setahun kita semua asyik merantau dengan kehidupan duniawi kita sebagai mahluk sosial ( outer journey ). Adapun lebaran dengan tradisi mudiknya juga merupakan perjalanan pulang. Pulang yang patut dirayakan karena kembali ke akar budaya, ke awal kita memperoleh sosialisasi yang membentuk jati diri “ Komaruddin Hidayat

Ketika saya kecil, tak ada saat saat yang lebih mendebarkan ketika ikut bapak ibu pulang mudik ke Solo dan Jogja dengan menggunakan mobil atau kadang kereta api. Setiap tahun dengan ritual yang selalu sama. Saat itu bola mata saya melompat lompat mencari jawaban. Ada apa di rumah eyang nanti ? Bagaimana kabar saudara saudara saya saat nanti kami bertemu ? Persis seperti kutipan diatas. Mudik lebaran merupakan pengalaman dan tradisi budaya yang hanya ada di Indonesia.
Dari dulu selalu saja kami mengalami pengalaman yang sama. Jika naik mobil, pasti melewati pasar tumpah di beberapa kota, yang membuat arus tersendat. Jika menggunakan kereta api, pasti akan berjuang melawan hiruk pikuk dan desakan gelombang manusia yang berebutan masuk kereta.

Sejak eyang meninggal, dan banyak keluarga yang pindah ke ibu kota. Saya sudah tak pernah lagi mengalamai ritual mudik . Sementara sekarang jika harus bepergian, tentu saya akan memilih kereta api atau pesawat terbang. Masalah kepraktisan saja.

Kali ini saya kembali mudik. Walau tidak dalam arti sesungguhnya, karena saya menggunakan kereta api atas undangan XL Axiata untuk mengikuti ‘ XL Network Rally 2011 ‘. Keistimewaannya, gerbong kereta jenis ini khusus didisain untuk kelas VIP dan konon sering disewa tokoh pasangan selibritis untuk pulang kampung ke Purwokerto.
Jadilah saya bersama 12 orang blogger lainnya diundang untuk menikmati perjalanan menuju Semarang. Ini bukan sembarangan perjalanan, karena sekaligus bisa menguji kesiapan peta sinyal XL sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Untuk memastikan kesiapan jaringan tersebut, XL melakukan uji jaringan (drive test). Sebuah program tahunan sebagai antisipasi lonjakan traffic komunikasi sms, voice dan data menjelang mudik lebaran.

Continue Reading

Lebaran

Saya sudah tidak mungkin membawa anak lanangku merasakan mudik lebaran. Wong, eyang putrinya sekarang tinggal di Jakarta. Sementara dulu saya berhimpitan dengan tumpukan tas, rantang makanan, bantal, serta keluarga dalam mobil yang membawa menuju Jogyakarta dan Solo. Kadang juga naik kereta api. Tujuannya satu. Mudik ke rumah ndalem simbah.
Pengalaman kultural ini yang mungkin tak terjadi pada generasi anak saya.
Baginya lebaran hanya berkumpul dirumah neneknya, makan ketupat dan ujung ujungnya menjelang sore, mengajak ke Pondok Indah Mall. Setelah seharian bosan pada acara keluarga. Tidak ada perjuangan menembus jalanan pantura. Tertawa tawa melihat becak becak di Jawa Tengah yang gemuk mlenuk. Karena becak di Jakarta – waktu itu – masih kurus kurus. Mata kami juga was was sewaktu melewati hutan alas roban yang dulu begitu angker dan wingit.

Di rumah simbah, kami semua cucu tidur ramai ramai sambil menggelar kasur, karena kamar kamar utama dipakai orang tua kami masing masing. Jadilah lebaran bukan saja prosesi agama, tetapi juga prosesi liburan yang selalu ditunggu setiap tahun.

Perjalanan mudik bisa merefleksikan seperti perjalanan puasa. Berat dan penuh godaan. Macet, berhimpit himpitan merupakan perjuangan untuk bisa sampai di kampung halaman. Mudik menjadi hakiki bagi terutama orang Jawa. Namun bisa jadi tak berarti apa apa, karena perjuangan itu masih dalam taraf ana insan ‘ aku manusia ‘ . Hiruk pikuk rebutan tiket bersaing dengan calo dan copet. Kesibukan oleh ego eksistensi sebagai manusia yang bagaimana caranya harus pulang kampung.
Barangkali mudik memang lebih kepada pemindahan asset ekonomi. Membawa uang juga menularkan konsumerisme untuk kampung halaman. Benar benar prosesi liburan yang selalu sama dari tahun ke tahun, sebagaimana masa kecil saya.

Continue Reading

Pembebasan Idul Fitri

Idul Fitri menjadi cultural dan festive, karena itu kita menyebutnya hari Raya. Bahasa arabnya Yaummul Haflah, hari pesta. Setelah sebulan berpuasa, menahan lapar dan godaan. Puncaknya adalah Ramadhan, Allahu Akbar Hari Raya. Kotbah di masjid menjadi tidak penting, karena ibu ibu harus pulang lebih dulu memanaskan opor ayamnya serta harus membelah belah ketupatnya. Sementara ia semobil dengan sang bapak, anaknya. Mau tidak mau mereka juga harus permisi lebih dulu.
Kini saatnya balas dendam di hari kemenangan. Menyantap aneka ragam gulai dan penganan selama seminggu. Walhasil kolesterol, dan penyempitan jantung menunggu di ruang tunggu dokter bulan depan.

Menarik, menurut Radea Juli A Hambali, idul fitri tidak hanya sarat makna spiritual , tetapi menjadi locus dari semangat pembebasan berdimensi sosial. Tentang bagaimana membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan, ketidakberdayaan, kesewenangan dan perilaku zalim yang dapat merusak tatanan masyarakat madani.

Continue Reading