Suara gemuruh isi Stadion Gelora Bung Karno terlalu keras malam itu. Sorak sorai 88,000 manusia membahana bercampur dengan dentum kembang api dan bunyi pengeras yang memekakan telinga. Apa yang saya rasakan dan lihat dalam Piala AFF antara timnas melawan Philipina memang bukan sekadar pertandingan bola. Ini perwujudan sentimen kebangsaan yang menyeruak begitu saja setelah sekian lama terpendam.
Stadion kebanggaan ini sudah biasa menjadi saksi pertandingan pertandingan besar. Tapi terus terang tak ada yang begitu se-emosional seperti sekarang. Tiba tiba saya sadar bahwa kita masih memiliki sebuah entity yang dinamakan Indonesia.
Sudah lama kita merindukan kebanggaan kolektif atas bangsa ini, setelah terus menerus dianggap bangsa paria. Kita tak bisa apa apa melihat rakyat kita disiksa, dibunuh di negeri orang. Sekian lama kita cemas kalau bangsa kita terancam tak memiliki identitas lagi, setelah batik, lagu, makanan, tarian di klaim bangsa lain. Kita juga merintih sedih melihat pemimpin yang ragu ragu membela kepentingan rakyatnya.
Perjalanan bangsa ini semakin lama semakin mengalami pergulatan yang intens tentang penentuan jati dirinya sendiri. Barang kali para pendiri Republik ini tidak akan percaya bahwa kebinekaan yang sudah diusung sejak negeri ini didirikan terus tergerus. Orang orang yang diserbu dan diusir ketika sedang berdoa dalam gerejanya, dengan alasan tak memiliki izin administrasi. Issue dan simbol sebuah keyakinan minoritas terus dipertentangkan, sehingga pohon natal atau atribut sinterklas di mall mall dianggap sebagai ancaman.
Lembaga Agama atau organisasi massa tersebut mungkin melihat surga yang berbeda, dan keyakinannya yang kokoh membuat makna kemajemukan ini terasa getir. rapuh dan menyesakan.