Selalu saja ada yang meminta saya menulis tentang hal ini, hiruk pikuk masalah persidangan Mahkamah Konstitusi mengenai perlu tidaknya Lembaga Sensor Film ( LSF ). Jujur saja, sebenarnya saya malas. Pertama, saya takut tulisan ini menjadi buyest karena Masyarakat Film Indonesia adalah teman teman yang dekat secara konseptual maupun personal. Kedua, meminta pembubaran lembaga bentukan Pemerintah ini sama saja dengan kita meminta pembubaran babinsa, korem, kodam atau Majelis Ulama Indonesia. Kata almarhum Asmuni, ini hil yang mustahal.
Namun perkembangannya banyak suara mereka yang tidak mengetahui permasalahan ini, akhirnya menganggap bahwa kehancuran moral bangsa didepan mata karena para pekerja film menolak filmnya disensor. Umumnya mereka melihat pekerjaan lembaga sensor ini hanya dalam urusan ciuman dan adegan ranjang saja, Padahal tidak sesederhana itu.
Khrisna Zen dalam bukunya, menulis lembaga sensor ini adalah lembaga yang diciptakan Pemerintah sebagai fungsi kontrol di bidang perfilman. Lembaga ini beranggotakan selain ulama, pekerja seni, budayawan, wartawan ( tentu saja yang bisa dikontrol Pemerintah ), juga pegawai departemen teknis, militer dan intel. Sehingga ada suatu rentang masa yang panjang ketika film film esek esek demikian mudahnya beredar, justru film seperti “ Max Havelaar “ yang menceritakan masyarakat Banten jaman era tanam paksa kolonial, dilarang beredar karena dianggap propaganda komunis mengenai pertentangan kelas.
Ketika Departemen Penerangan dibubarkan, LSF tetap tak tersentuh tangan reformasi. Tidak seberuntung wartawan yang tidak tidak lagi dihantui momok pembredelan oleh Laksusda atau Dewan Pers.
Dalam perjalanannya, kini LSF sudah menjadi superbody yang menentukan hitam putihnya, lolos atau tidaknya sebuah film. Tanpa mengindahkan kaidah kaidah demokrasi dan seni itu sendiri. Tentu saja para pembuat film di Indonesia tidak sebodoh dan serta merta membuat adegan ciuman seenak udelnya sendiri, kalau bakalan berakhir di meja sensor. Inilah permasalahannya. Selalu tidak ada standar dalam penentuan sensor menyensor. Apa yang boleh apa yang tidak. Kriteria tidak bertentangan dengan susila, norma norma masyarakat, tidak mengangggu stabilitas nasional, tidak bersinggungan dengan suku ras agama pada akhirnya menjadi area abu abu yang ujung ujungnya dilihat menurut selera penguasa.
LSF juga tak perlu reaktif dengan meminta Front Pembela Islam untuk mendukung keberadaan lembaga ini. Tentu saja menyandingkan urusan agama dengan kebebasan seni bukan hal yang menarik. Ada kecenderungan LSF berusaha membungkus issue issue sensor di area syahwat dan moral saja. Sehingga gara gara Aa Gym mengomentari kalimat judul sebuah film “ Buruan Cium Gue “, mendadak sontak lembaga sensor meminta kalimat ini diganti.
Lebih jauh lagi, LSF menjadi sebuah lembaga bisnis. Bisa seperti skandal skandal bisnis stempel halal untuk barang barang makanan atau minuman. Ketika sinetron kejar tayang baru selesai diedit pagi harinya untuk tayangan malam ini. Fotocopy surat sensor sudah diterima oleh stasiun TV, padahal hampir tidak mungkin badan sensor memeriksa isi sinetron itu.
Banyak film film iklan di televisi yang dibuat oleh perusahaan perusahaan yang tidak mempunyai klasifikasi ijin pembuatan film, dapat dengan mudahnya mendapatkan surat lulus sensor, yakni dengan menggunakan nama perusahaan film yang hampir dimiliki oleh para mafia mafia di Lembaga ini.
Ketika Masyarakat Film Indonesia menawarkan sebuah lembaga klasifikasi untuk menggantikan fungsi LSF. Ini tidak mudah, karena harus mendobrak sebuah tembok kekuasaan dan profit centre yang sudah sekian generasi. Kita memang harus sepakat bahwa harus ada aturan main tentang bagaimana sebuah karya seni film bisa dihargai seutuhnya. Tidak asal babat. Di Amerika sanapun – sepertinya kita harus menoleh ke negara yang konon kebebasan berekspresinya paling maju – film Malena yang seutuhnya tidak bisa ditayangkan di bioskop. Karena ada adegan imajinasi si anak kecil bersenggama dengan Malena. Jadi kita memang harus sepakat fungsi kontrol ini mutlak selalu ada.
Lembaga Sensor menjadi potret keterasingan sebuah lembaga stempel moral bangsa. Disisi lain banyak acara TV menayangkan adegan perkosaan, kekerasan, serta sinetron hidayah yang banyak kleniknya. Juga video video porno dengan mudahnya ditemui di lapak lapak pinggiran jalan. Kesan ambivalen ini muncul karena LSF tidak sinergi dengan law enforcement di sisi lain. Jadi memang suatu hil yang mustahal.
80 Comments
Agus
February 15, 2008 at 5:34 pmKalau saja judul film ” Buruan Kawinin Gue “, pasti Aa Gym nggak bakal protes…
fahmi!
February 15, 2008 at 6:10 pmhehe, lembaga sensor film itu nggak perlu. tapi kalo moderasi komen di blog itu perlu. huhuhuuuu… 😀
venus
February 15, 2008 at 6:11 pmsaya lebih suka mereka dibubarin lhoh. dont know why…kayak yg ga guna gitu deh 😀
siska
February 15, 2008 at 6:34 pmummm mungkin kalo mustahil dibubarkan, yah direformasi saja, tapi….mustahil juga kah?
jadi inget komentar di infotainment beberapa waktu yg lalu, pihak yang pro LSF bilang: anak-anak MFI itu gak bermoral. dan di lain waktu si cantik pendukung MFI bilang: kita bukannya mau bikin film porno. kita mau bikin film BAGUS!! (diucapkan penuh emosi) hihihi…
tebak-tebakan, siapakah dua tokoh yang dimaksud itu? huehehehehehehe….
Goen
February 15, 2008 at 6:47 pmDibubarin terus buat yang baru ya mbok?
kw
February 15, 2008 at 6:53 pmkasian loh para anggota lsf itu…
nyaris semuanya sinis pada mereka, kecuali mereka yang merasa paling beriman. kekekekkekek
aya electro
February 15, 2008 at 7:08 pmgak perlu dibubarin, peraturan2 nya aja dirubah sedikit. di amandemen, haha!
ronggur
February 15, 2008 at 8:32 pmMungkin petingginya yang diganti..eh tapi gak tau juga sih..yang pasti jangan dibubarkan kali ya..
Ina
February 15, 2008 at 8:37 pmwah..kl dibubarin apa dah siap ama resiko yg ada.
semuanya bebas dan tanpa aturan.
nico
February 15, 2008 at 9:53 pmwah mas, sebagai penikmat film, saya ga tau permainan didalam LSF indonesia. kalau ada yang tak sesuai, sewajarnya untuk di rapikan kembali. begitu juga saya masih tak paham seberapa batasan antara seni dan pornografi. ketika orang biasa mengangap itu mengandung konten pornografi, sang seniman ato sutradara menganggap itu hanya ekspresi seni yang tak boleh dibatasi.
ada ego diantara kedua belah pihak. relakah masing2 duduk bersama tuk kepentingan bangsa?
aLe
February 15, 2008 at 10:19 pmnamanya juga proyek *halah*
mbakDos
February 15, 2008 at 10:43 pmya iya sih, buat apa ada LSF kalo masih ada anak2 di bawah umur yang bisa mengkonsumsi film2 yang sebenernya tidak layak untuk mereka tonton? toh tetep aja anak2 SMP bisa masuk ke dalam teater yang sedang memutar film untuk dewasa. bahkan melalui dvd bajakan, mereka bisa2 aja nonton film yang sama.
mungkin memang bukan LSF yang dibutuhkan, tapi pengamanan yang fungsinya menyeleksi kalo anak2 dengan batas umur tertentu ya belum diperkenankan nontn film yang gak layak untuk seumuran mereka.
tapi… siapa yang mau nyediain pengamanan model begini ya?! 😛
ekowanz
February 15, 2008 at 11:09 pmah saya ini cuman penikmat film….sumonggo buat para pelaku saja yang membicarakannya
Dee
February 15, 2008 at 11:14 pmgak mudeng saya mas, lha wong saya bukan termasuk golongan sufi (suka film) atau salafi (sangat gila film)
Doohan
February 16, 2008 at 12:09 amsaya gak pernah tw gimana prosedurnya sampai sebuah film masuk ke meja LSF dan dipotong seenaknya.
Tapi dari apa yang saya lihat selama ini, LSF sudah kelewatan menilai sebuah unsur seni yang terkandung dalam film sebagai hal tabu. Adegan yang di penggal terkadang adalah adalah unsur penting yang justru akan membuat penonton makin tak mengerti jalan cerita sebuah film. Lalu bagaimana dengan sinetron sekaraang yang justru tidak pernah lagi mendidik penontonnya untuk jadi baik. cerita misteri yang lebih banyak omongkosongnya dari pada yang terjadi sebenarnya. saya sering protes ketika sinetron seprti ini tayang dan bertanya dalam hati di mana LSF ketika sinetron ini akan tayang. apakah tugasnya hanya mengkater adegan hot dan kekerasan sedangkan yg berbau omongkosng dan malah menjerumuskan dibiarkan?
Saya sependapat dengan sekian banyak orang di Negeri ini yang lebih memilih LSF DIBUBARKAN.
elly.s
February 16, 2008 at 12:15 amaq nggak setuju kalo dibubarkan begitu saja karena emosi dan ikut2an…
dimana2 kita masih perlu badan kontrol..
jangan takabur..nanti kalau bangsa ini semakin hancur siapa yg bertanggung jawab..
memang film bukan penentu moral bangsa..
tapi jujur sajalah bahwa banyak yg terobsesi setelah melihat flm2 yg mereka tonton…
jangan emosi dulu…fikir dulu…
eriek[at]unila
February 16, 2008 at 12:43 amDi zaman seperti sekarang (pasca reformasi), menurut saya, keberadaan LSF menjadi dilematis Mas Iman. Mengapa? di satu sisi, para pekerja film menginginkan agar hasil jerih payahnya menghasilkan sebuah film yang terbaik dan lekas ditonton publik. Namun, di sisi lain adanya LSF yang mempunyai kewenangan dalam menentukan mana saja tayangan yang tidak layak (menurut mereka, red) untuk dihilangkan.
Tapi, saya yakin, mana ada sih pekerja film yang ingin hasil karyanya ‘dipotong’ sekehendak LSF. Yang pasti keinginan dari pekerja film adalah karya dengan mengeskpresikan di dalam film yang dibuatnya.
Sementara, ketika film muncul dan telah ditayangkan, terkadang ada saja yang menimbulkan reaksi di tengah masyarakat. Mulai dari film yang ditayangkan mempertontonkan aurat secara berlebih-lebihan hingga tayangan hantu-hantuan. Ya, itulah mungkin kebebasan ekspresi yang dimiliki bagi pekerja film.
Jika membandingkan RUU Pornografi yang sempat merebak dan menjadi wacana di tengah masyarakat, pun masih banyak penilaian di sana-sini. Reaksi dari berbagai kalangan. Saya kira, sama halnya seperti menyikapi persoalan LSF ini. Apakah tetap dipertahankan atau dihilangkan?
iphan
February 16, 2008 at 12:58 amkapasitas mereka terlalu berlebihan jeh… kalopun mereka harus ada, tugas utama yang penting adalah mem filter kebudayaan luar yang gak sesuai dengan negara kita (walopun bakal useless karena ada internet ini). Bukan mematikan kreativitas seniman negeri sendiri.
Totok Sugianto
February 16, 2008 at 2:40 amlha jadi posisi mas iman masih di wilayah abu-abu juga ya, mengecam LSF tetapi tetap menginginkan adanya fungsi kontrol.. kalau gitu bener juga kata asmuni suatu hil yang mustahal 😀
Anang
February 16, 2008 at 7:38 amsensor terbaik adalah pada hati nurani… titik…
astrid
February 16, 2008 at 7:47 amMgkn sy yg kurang up to date tp setelah – misalnya – LSF bubar..lalu apa? Sy harap gak berputar2 dlm lingkaran hamster yg sama atau nasibnya bakal kayak reformasi.
annots
February 16, 2008 at 9:50 amkalo untuk LSF ada istilah poco-poco ndak mas?
Bukan Siapa-siapa
February 16, 2008 at 9:56 amBukan lembaganya mungkin yg salah, tapi orang-orang didalamnya yg gak beres. Harusnya lembaga publik berisi mereka-mereka yg berkompeten di bidangnya tanpa ada ikatan dengan pabrik dari film itu sendiri. Urusannya menjadi lain bila anggota lembaga tersebut masuk dalam lingkaran pabrik pembuat Film tersebut. Intervensi bisa dilakukan semau hati dengan pembenaran-pembenaran kesalahan ala manusia intelek yg katanya lebih berpengalaman. Lihat saja, disatu sisi [Film layar lebar] digunting sana di gunting sini seperti membuat kerajinan tangan ala anak TK, di lain pihak sinetron sinetron televisi dengan segudang pembodohan akhlak, moral, nurani bisa tayang dengan leluasa bahkan menggila.
si A: bikin film kok banyak adegan-adegan vulgarnya, giliran di sensor marah-marah.
si B: hmm… mungkin cara me-nyensor-nya gak pake aturan kali
si A: Loh yg me-nyensor-kan orang-orang pintar
si B: hmm… kalo ini saya kurang tau. tapi sinteron itu kemaren kok si **** pakaiannya seksi sekali sampe menonjolkan dada dan pahanya
si A : loh… itu kan sinetron. Sinetron lain sama Film. Saya suka lo sinetron itu…
si B: [dalam hati] udah bodo munak lagi….
Hedi
February 16, 2008 at 10:11 amMbok LSF itu maklum dan mahfum…wong kita ini masih standar “sejengkal dari perut ke syahwat”, walaupun film kita ga melulu seperti itu, e.q max havelaar tadi
la mendol
February 16, 2008 at 12:50 pmPaling enak jadi pegawai LSF… lah, kalau ada adegan gituan dia bisa liat, tapi untuk penonton disensor *menanti lowongan jadi pegawai LSF
funkshit
February 16, 2008 at 1:47 pm@anang
“sensor terbaik adalah pada hati nurani… titik…”
koma, jadi yang dimaksud adalah hati nurani nya siapa ??? masing2 kah ??
ngga jelas banget de . ..
@bukan siapa siapa
lha klo lsf nya mau neliti sinteron sebelum tayang.. bisa pecas ndahe.. lha mereka itu tayangnya nonstop tiap hari. . .
*padahal klo anak kecil lebih mungkin nonton sinetron daripada bioskop
leksa
February 16, 2008 at 1:56 pmSaya jadi teringat dulu pernah nonton film2 perintis Perfileman Indonesia Sekarang.. yang maen Kiki fatmala, Sally Marcellina..
tapi dulu saya ga mikir tentang lembaga sensor .. 😀
Tapi bener ni Mas…
saya lebih sepakat dengan Mira L ..
Kita butuh badan kasifikasi,.. bukan badan seleksi…
atau jangan2 ,.. pemerintah terlalu takut dengan kerepotan dan biaya… ??
ga masuk akal juga… soalnya makin ribet sebuah urusan, makin banyak biaya yang dibutuhkan,.. maka makin banyak juga peluang yang bisa disalahgunakan …
Kalo menurut saya intinya tetep pada kemerdekaan berekspresi, …
Dilema oh dilema…
stey
February 16, 2008 at 2:39 pmbukan dibubarkan, cuma kayaknya mereka perlu dikasih pendidikan mana yg seni dan mana yang syahwat. Kontrol itu kudu tetap ada, sehingga ga semua bisa bikin film yang beratasnama seni tapi nyata2 mengumbar syahwat..mungkin gitu y mas..
zam
February 16, 2008 at 2:47 pmlucu ini.. masyarakat teriak-teriak soal sensor-sensor, bokep malah dengan gampangnya beredar..
eh, jadi minjem Miyabi-nya, mas? 😀
gempur
February 16, 2008 at 2:52 pmkontrol itu memang perlu, tapi memang sulit mencari standar.. yang namanya kaidah manusia, kalau tak ada kontrol itu pasti kebablasan.. tak ada kebebasan yang absolut.. teringat syair iwan fals, kemerdekaan itu didapat dari mengekang diri.. *halah*.. tak bermaksud berpihak pada siapa.. kebebasan berseni juga perlu mendapat apresiasi.. kontrol juga perlu… namanya juga hidup.. saling mengingatkan dalam kebenaran itu khan anjuran Tuhan.. atau Tuhan gak boleh di bawa ke sini? hehehehehe… Gak perlu gontok2an.. enak2an aja.. dus, gak perlu komentar ini dianggapi.. la wong gak penting.. wakakakakakakaka…
maruria
February 16, 2008 at 3:59 pmyaaa…mau ndak mau sensor seperti ini perlu juga sih..asal masuk akal aja alesannya buat nyensor.
kenny
February 16, 2008 at 5:46 pmwah, kurang setuju klo dibubarkan(gak begitu mudeng jg apa itu badan klasifikasi). Menurutku LSF itu sejenis saringan kasar, saringan halusnya ya dari kita sendiri, pinter2 milih apalagi klo punya anak balita ato abegeh.
Iman
February 16, 2008 at 6:15 pmTotok,
Nggak juga di wilayah abu abu, intinya khan fungsi kontrol perlu ada apakah itu dalam bentuk Lembaga Klasifikasi. Yang jelas bukan dalam bentuk lembaga tukang jagal, dan menjalani pesanan penguasa.
Fungshit,
Jangan sekali kali mempertanyakan nubuat Nabi…!
Zam,
boleh ..( hi hi ) soalnya cuma tahu nama tapi nggak pernah liat ‘ in action ‘
via
February 16, 2008 at 8:17 pmsensor yang benar hanya ada pada hati nurani
jadi pada tanya nurani h masing-masing aja deh
gak usah nyalah2in
koreksi aja
ada LSF kok ya masih berani bikin film yang katanya seni tapi isinya cabul padahal dah tau kan kalau bakal di sensor jadi bingung sebenernya yang di belain beneran seni atau duit sih ????????
icha
February 16, 2008 at 8:30 pmFilm2 lokal Mesir..dr jaman dulu2 … gak ada bagian yg disensor segala…
pertama kali dateng kesini..terkaget2 dengan kultur islaminya …
Eeehhhh pas nonton film lokalnya..makin kaget aja saya … paraaahhh …adegan ranjang aja gak disensor..
yati
February 16, 2008 at 8:31 pmeh…ini soal pembubaran? *ga fokus
saya fokus ke sini: “stempel halal dari MUI yang dapat dengan mudah diperjual belikan untuk barang barang makanan atau minuman” pengen ceritanya… 🙁
landy
February 16, 2008 at 8:36 pmCuma senyum baca komentar mendol
nadia febina
February 16, 2008 at 11:07 pmoalaaah, emang begitu ya, kalo suatu lembaga dikasih sesuatu kewenangan, ujung2nya jadi bisnis… ck ck ck…
sluman slumun slamet
February 17, 2008 at 12:48 amfilm kenapa namaya film? padahal dia juga melakukan sensor terhadap sinetron, yang secara teknologi bukan film. kalaupun film, bolehlah lebih mudah pengawasannya. distribusi relatif terbatas..
yang paling krusial adalah produk sinematografi (HALAHHH….SOK) yang ditayangkan di televisi. bukan hanya pornografi tapi dari sisi muatan cerita. kita semua tahu bagaimana hancurnya sinetron di televisi tanah air…. ahhhhhh….
:d
dian
February 17, 2008 at 6:52 amhalah, bisa diperjual belikan juga ya LSF ?
jangan dibubarinlah, dibikin pintar aja dalam menyensornya. motong pilem seenaknya itu bikin pening penonton juga, kok gak nyambung ?
wigati
February 17, 2008 at 11:08 amkyknya masih rame bin heboh ya? tiap kali hearing mesti masuk infotainment sama si dian sastro kasih statement yg meledak2.
cK
February 17, 2008 at 11:17 amtapi kayaknya masih banyak adegan-adegan yang lolos sensor tuh…
saya pernah nonton di bioskop, ada top less gitu nggak disensor. tumben ajah… 🙄
kumandigital
February 17, 2008 at 11:34 amwalah dalah… orangnya aja yang diganti… tapi kalau dilhan basah, ngganti orang emang susah >)
Prima Rusdi
February 17, 2008 at 1:11 pmIman, terima kasih sekali sudah memfasilitasi diskusi soal sensor ini. Jangan takut ‘biased’ pak, ha3. Santai aja. Semua pendapat yang berdasar itu absah kok.
Soal sensor, baiknya saya coba klarifikasi sedikit:
1. Kami tidak pernah bilang pekerja film TIDAK PERLU REGULASI atau ANTI PERATURAN,
2. Yang kita semua perlukan adalah peraturan yang lebih transparan dan demokratis,
3. Poin 2 ini yang tidak tercermin pada LSF yang sekarang, contoh: a. Total anggota mereka adalah 45 orang, kriteria pemilihan dan masa jabatan tidak jelas (di antara anggota ada yang sudah menjabat selama 23 tahun), b. Seperti yang sudah coba diuraikan oleh Iman, betul, kriteria pemotongan film juga tidak jelas,
4. Diskusi soal sensor ini menjadi penting bagi kita semua, karena ini adalah fragmen dari diskusi mengenai cara pandang terhadap film. Dalam koridor kekuasaan warisan ORBA film dilihat sebagai sesuatu yang berpotensi mengancam ketahanan negara, karenanya perlu diawasi oleh penguasa. Dalam koridor masyarakat madani, seperti Indonesia sekarang ini, yang sudah bisa memilih Presiden sendiri, film adalah sarana informasi di mana hak warganegara memperoleh informasi dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 Pasal 28 F. Sementara, informasi di era informasi seperti hari ini bukan hanya diperoleh massa melalui film, namun juga beragam media lainnya yang sama sekali tidak mungkin dibendung oleh LSF,
5. Efektifas ‘perlindungan’ a la LSF ini menjadi tidak relevan. Bahkan, bila mengikuti definisi pembagian umur sesuai dengan yang diterapkan lembaga konsumen dan WHO/UNICEF, anak-anak berarti siapapun yang berusia 0 s/d 18 tahun, remaja: 18 s/d 24 tahun, dewasa, 24 tahun ke atas. Berarti, mengutip keterangan ibu Zoemrotin di persidangan silam, LSF bahkan sudah meloloskan film bagi orang dewasa untuk ditonton anak-anak,
6. Usulan lembaga klasifikasi ini berangkat dari apa yang sudah diterapkan dan bisa berjalan dengan tolak ukur yang jelas serta transparan. Lembaga klasifikasi akan memberi ruang bagi masyarakat untuk memberdayakan diri mereka sendiri, dan bila ada pelanggaran maka pelanggaran itu bisa dituntut di jalur hukum, misalnya, bila produser/distributor tidak mencantumkan pada poster film mereka mengenai klasifikasi umur tontotan pengusaha film boleh menolak materi promosi dan pemutaran film itu, atau bila produser/distributor sudah mencantumkan klasifikasi umur pada poster dan materi promosi film lainnya, namun pengusaha bioskop tetap meloloskan penonton anak-anak di pemutaran film orang dewasa, maka pengusaha bioskop bisa dituntut. Peringatan harus diberikan sedini mungkin kepada calon penonton, bukan pada saat penonton sudah membeli karcis dan baru melihat kategori penyensoran di dalam ruang bioskop sebelum menonton film,
7. ‘Kekisruhan’ lain adalah soal cara pandang terhadap medium ‘motion picture’/film itu sendiri. Di UU Pers lebih jelas daripada di UU Film No 1/92,
8. Definisi kerja LSF, seperti dikutip oleh Nono Anwar Makarim, didasari pada penilaian, pengujian, penindakan, atau ‘summary execution’, dan ini sudah sangat perlu ditinjau kembali karena sangat tidak relevan dan kontra demokrasi,
9. Ibu Zoemrotin mempertanyakan adakah data atau penelitian yang bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan publik untuk bisa menilai adanya kaitan antara tindak kejahatan/amoral (termasuk korupsi) dengan peran keberadaan LSF? Data ini tidak bisa dipresentasikan karena memang tidak ada,
10. LSF seperti banyak lembaga bermental warisan ORBA lainnya melupakan peran terpenting soal pendidikan moral individu yang merupakan kawasan prerogatif para orang tua (ayah-ibu). Pendidikan soal nilai ini bahkan sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum seseorang berinteraksi dengan orang lain dan memulai pendidikan formal mereka. Di era informasi seperti hari ini, peran keluarga jadinya lebih krusial dalam mendampingi anak dan membuka jalur komunikasi guna bisa mengkonsumsi informasi yang memang diperlukan oleh siapapun.
11. Poin terakhir, secara pribadi, saya sebagai pembuat film pemula enggak ada niat bekerja di dunia tanpa nilai dan tanpa peraturan apalagi bikin film porno, karena bekerja di jalur film ‘biasa’ seperti hari ini saja sudah sulit, industri porno hanya bisa hidup dan berkembang kalau didukung oleh negara (contoh, Belanda dan Jepang). Jadi, tidak senaif itulah cara pikir dalam memandang soal relevansi sensor ini tadi. Sebelum berkembang menjadi kelewat serius, salah satu joke yang pernah dilontarkan oleh seorang tokoh yang berulang-kali mempertanyakan sensor adalah, “Sudahlah, masak urusan ketawa dan nangis saja musti diatur sama negara?”
Penjelasan ini mudah-mudahan membantu. Soal sulitnya menjalankan gagasan mengenai lembaga klasifikasi ini memang betul sekali, dan ini akan menjadi proses yang amat sangat panjang. Tapi, setiap hal yang menyangkut kepentingan banyak pihak harusnya boleh-boleh saja dijadikan bahan diskusi untuk pemikiran bersama. Seperti yang sudah terjadi di blog ini. Sekali lagi terima kasih sudah membuka forum ini.
Salam,
Prima Rusdi-Penulis Skenario/ salah satu penanda-tangan MFI
jeng endang
February 17, 2008 at 3:41 pmmungkin yg harus dikaji memang batasan2nya aja yg harus jelas mana yg harus dipotong dan mana yang tidak, lalu seberapa jauh kewenangan badan ini, independen atau tidak, dan kepandaian orang2 yg bekerja di dalamnya baik secara intelektual dan mentalitasnya……pembubaran kan bukan satu2nya cara, karena belum tentu juga bahwa dengan dibubarkan lalu tidak melahirkan persoalan baru.
aad
February 17, 2008 at 3:51 pmmnrutku lembaga sendor jangan dibubarkan, tapi perlu dibuat aturan2 yang menegaskan batasan2 adegan yang layak ditonton, tentunya pembuatan aturan tsb harus melibatkan pihak2 yang berkompeten
Iman
February 17, 2008 at 4:06 pmprima,
semoga penjelasan yang sangat komprehensif ini bisa memberi penjelasan lebih akurat kepada mereka yang terjejali dengan pemikiran bahwa pekerja film selalu ada pretensi membuat film cabul saja.
Kapan ngopi ngopi dan chit chat..really missed those years
nico
February 17, 2008 at 5:45 pm@prima: brarti sy msh remaja:D*merujuk who/unicef*
@iman: ga diajak ndoyok sekalian mas. Biar nambah padat job para ndoyoker trainee*lg kbanjiran kopdar minggu2 ini*
Prima Rusdi
February 17, 2008 at 7:17 pmIman: Kopi-kopi aja maah yokk mari!
Sedikit klarifikasi aja, tentunya pemilihan anggota Lembaga Klasifikasi itu harus jelas baik kriteria, luas lingkup keahlian, dan siapa yang memilih, kemana pertanggung-jawaban mereka, dan lamanya batas waktu tugas. Yang jelas bukan pekerja film yang harusnya ada di sini, tapi lebih ke ahli soal hukum, pendidikan, dan semacam itu yang punya pemahaman media/film. Lembaga ini tak seharusnya menjadi ekstensi kekuasaan tapi ekstensi kepentingan publik. Karena tanpa peran publik, lembaga kontrol apapun, lagi-lagi bisa menjadi ekstensi kekuasaan.
Salam,
Prima Rusdi
Prima Rusdi
February 17, 2008 at 7:30 pmNico: Selamat, memang betul resminya Anda masih remaja, ha3
Lain-lain: Sekedar trivia aja, bagi teman-teman yang punya Katalog Film Indonesia 1932-2006, JB Kristanto, silakan periksa judul-judul film sekitar tahun 1995-1996, di tahun 1996 sejumlah film menggunakan kata “Gairah” di dalam judul-judulnya, selebihnya “Ranjang”. Pertanyaannya, di mana LSF saat itu?
Selamat Minggu malam. Salam, Prima