Sensor Film ?

Selalu saja ada yang meminta saya menulis tentang hal ini, hiruk pikuk masalah persidangan Mahkamah Konstitusi mengenai perlu tidaknya Lembaga Sensor Film ( LSF ). Jujur saja, sebenarnya saya malas. Pertama, saya takut tulisan ini menjadi buyest karena Masyarakat Film Indonesia adalah teman teman yang dekat secara konseptual maupun personal. Kedua, meminta pembubaran lembaga bentukan Pemerintah ini sama saja dengan kita meminta pembubaran babinsa, korem, kodam atau Majelis Ulama Indonesia. Kata almarhum Asmuni, ini hil yang mustahal.
Namun perkembangannya banyak suara mereka yang tidak mengetahui permasalahan ini, akhirnya menganggap bahwa kehancuran moral bangsa didepan mata karena para pekerja film menolak filmnya disensor. Umumnya mereka melihat pekerjaan lembaga sensor ini hanya dalam urusan ciuman dan adegan ranjang saja, Padahal tidak sesederhana itu.

Khrisna Zen dalam bukunya, menulis lembaga sensor ini adalah lembaga yang diciptakan Pemerintah sebagai fungsi kontrol di bidang perfilman. Lembaga ini beranggotakan selain ulama, pekerja seni, budayawan, wartawan ( tentu saja yang bisa dikontrol Pemerintah ), juga pegawai departemen teknis, militer dan intel. Sehingga ada suatu rentang masa yang panjang ketika film film esek esek demikian mudahnya beredar, justru film seperti “ Max Havelaar “ yang menceritakan masyarakat Banten jaman era tanam paksa kolonial, dilarang beredar karena dianggap propaganda komunis mengenai pertentangan kelas.

Ketika Departemen Penerangan dibubarkan, LSF tetap tak tersentuh tangan reformasi. Tidak seberuntung wartawan yang tidak tidak lagi dihantui momok pembredelan oleh Laksusda atau Dewan Pers.
Dalam perjalanannya, kini LSF sudah menjadi superbody yang menentukan hitam putihnya, lolos atau tidaknya sebuah film. Tanpa mengindahkan kaidah kaidah demokrasi dan seni itu sendiri. Tentu saja para pembuat film di Indonesia tidak sebodoh dan serta merta membuat adegan ciuman seenak udelnya sendiri, kalau bakalan berakhir di meja sensor. Inilah permasalahannya. Selalu tidak ada standar dalam penentuan sensor menyensor. Apa yang boleh apa yang tidak. Kriteria tidak bertentangan dengan susila, norma norma masyarakat, tidak mengangggu stabilitas nasional, tidak bersinggungan dengan suku ras agama pada akhirnya menjadi area abu abu yang ujung ujungnya dilihat menurut selera penguasa.

LSF juga tak perlu reaktif dengan meminta Front Pembela Islam untuk mendukung keberadaan lembaga ini. Tentu saja menyandingkan urusan agama dengan kebebasan seni bukan hal yang menarik. Ada kecenderungan LSF berusaha membungkus issue issue sensor di area syahwat dan moral saja. Sehingga gara gara Aa Gym mengomentari kalimat judul sebuah film “ Buruan Cium Gue “, mendadak sontak lembaga sensor meminta kalimat ini diganti.
Lebih jauh lagi, LSF menjadi sebuah lembaga bisnis. Bisa seperti skandal skandal bisnis stempel halal untuk barang barang makanan atau minuman. Ketika sinetron kejar tayang baru selesai diedit pagi harinya untuk tayangan malam ini. Fotocopy surat sensor sudah diterima oleh stasiun TV, padahal hampir tidak mungkin badan sensor memeriksa isi sinetron itu.
Banyak film film iklan di televisi yang dibuat oleh perusahaan perusahaan yang tidak mempunyai klasifikasi ijin pembuatan film, dapat dengan mudahnya mendapatkan surat lulus sensor, yakni dengan menggunakan nama perusahaan film yang hampir dimiliki oleh para mafia mafia di Lembaga ini.

Ketika Masyarakat Film Indonesia menawarkan sebuah lembaga klasifikasi untuk menggantikan fungsi LSF. Ini tidak mudah, karena harus mendobrak sebuah tembok kekuasaan dan profit centre yang sudah sekian generasi. Kita memang harus sepakat bahwa harus ada aturan main tentang bagaimana sebuah karya seni film bisa dihargai seutuhnya. Tidak asal babat. Di Amerika sanapun – sepertinya kita harus menoleh ke negara yang konon kebebasan berekspresinya paling maju – film Malena yang seutuhnya tidak bisa ditayangkan di bioskop. Karena ada adegan imajinasi si anak kecil bersenggama dengan Malena. Jadi kita memang harus sepakat fungsi kontrol ini mutlak selalu ada.
Lembaga Sensor menjadi potret keterasingan sebuah lembaga stempel moral bangsa. Disisi lain banyak acara TV menayangkan adegan perkosaan, kekerasan, serta sinetron hidayah yang banyak kleniknya. Juga video video porno dengan mudahnya ditemui di lapak lapak pinggiran jalan. Kesan ambivalen ini muncul karena LSF tidak sinergi dengan law enforcement di sisi lain. Jadi memang suatu hil yang mustahal.

You Might Also Like

80 Comments

  • didut
    February 17, 2008 at 8:22 pm

    komennya udah seru nih mas udah kayak forum hehehe~

    aduh gak tahan gak komen kalo udah di blognya mas iman…kalo saya sih yg penting itu tayangan kekerasan di TV di hentikan … saking muaknya saya hanya menggantungkan TV saya kepada si christiano ronaldo … IDUP BOLA!!

  • Ahmad
    February 17, 2008 at 9:11 pm

    LSF masih diperlukan di tengah keragaman masyarakat. Teman MPI perlu memasukkan orangnya ke LSF agar bisa melakukan perundingan mengenai batas-batas yang diperdebatkan. Jika Dian Sastro ingin membebaskan seni dari tangan-tangan jahat, ia telah memosisikan diri sebagai kuasa jahat yang lain karena mengandaikan MPI telah mempunyai stempel yang bisa menyampaikan apa yang harus disampaikan kepada masyarakat di luar diri mereka.

    Saya sangat tidak menyukai komentar Mas Iman yang tampak sinis menempatkan MUI dalam setiap guratan blognya. Tampaknya, kelompok anti-MUI telah berhasil menyihir khalayak untuk meminggirkan otoritas agama ini. Padahal, mereka telah menunaikan tugasnya sesuai dengan kapasitasnya. Salah satu fatwanya adalah pembajakan itu sama dengan pencurian dan oleh karena itu haram. Tetapi, kita tak pernah memerhatikan hal ini. Selalu saja kita mencecar MUI sebagai lembaga pemasung hak asasi, sementara melupakan banyak hal yang mereka telah lakukan untuk menjaga kemanusiaan.

  • ebeSS
    February 17, 2008 at 9:16 pm

    ini diskusi panjang makin ga efektif . . . . ga ada perubahan kan . . ?
    kita ga pernah bahas ‘invisible hand’ . . yang memang ingin LSF tetap begitu . . . !!!

  • Iman Brotoseno
    February 17, 2008 at 10:15 pm

    Ahmad,
    Mohon maaf kalau pemilihan kata kata saya kurang berkenan.Bukan sengaja menjadi bola liar dalam topik ini. Namun kadangkala
    kejujuran memang pahit bukan..Saya nggak akan membahas lebih jauh mengenai MUI. Anda bisa membaca catatan kritik Majalah Tempo mengenai fatwa fatwa haram MUI. Hanya fakta lembaga lembaga bentukan pemerintah apapun itu ( LSF, MUI, BPOM dsb ) pada akhirnya berperan sebagai perpanjangan tangan penguasa.
    Sekali lagi tidak ada yang salah dengan badan badan tersebut secara ‘ ideal ‘ dan ‘ fungsinya ‘. Salahnya mereka terlanjur keblinger.
    Salam.

  • Fadli
    February 17, 2008 at 10:20 pm

    Kok jadi ke MUI..?
    Tapi benar dari sejuta fatwa yang dikeluarin MUI, anehnya tidak ada yang berpihak pada keadilan, korupsi, atau kesewenangan negara..yang diurusin natal bersama, ahmadiyah haramlah…Kok enak menjadi polisi penentu kafir dan haram…

  • rey
    February 17, 2008 at 10:54 pm

    @Prima Rusdi: Bu/Pak (maap aku ndak tau), semangat sekali, sampe komennya kayak posting 🙂 menarik sihh… 🙂

  • wieda
    February 18, 2008 at 2:27 am

    mas Imam pernah nonton serial tv disini yg judulnya “sin city”? nah pernah nee ttg : “sin city” Indonesia….wuahhhhhh……gawat aku sampai marah2 saking neg nya…abisss mosok adegan pertama adalah 2 gadis kulitnya kusam mangkak, make jarit tapi dadanya bebas terbuka, kaya orang2 Bali kuno bawa bunga model Bali juga, senyam senyum genit trus mbuka pintu (jelas2 bangunan Bali), trus tabur bunga di bath tub…dan lepas2 pakaian trus njebur ke aer….
    nah……..abis itu adengan di gunung kemukus……wuihhhhhh kumuh…..tapi mesum.

    klo gunung kemukus kan realita yah?
    pasti serial tv ini ndak bakal masuk ke Indonesia….ditanggung deh

  • maknyak
    February 18, 2008 at 4:17 am

    sek sek oot disik.
    iki iman brontoseno seng mbiyen sok neng teater ESka karo Thoriq, japrak, afnan, kaji, dudu sih?

  • lita
    February 18, 2008 at 8:42 am

    “Kita memang harus sepakat bahwa harus ada aturan main tentang bagaimana sebuah karya seni film bisa dihargai seutuhnya”

    betul, mas…
    semoga ada solusi terbaik buat semua. tks for sharing, mas Iman.

  • Dew
    February 18, 2008 at 9:35 am

    Moga2 para pihak bisa duduk bareng, ngopi bareng, ngrembug bareng.
    Mencari jalan tengah memang tidak mudah.

  • detnot
    February 18, 2008 at 9:55 am

    yg namanya status Quo, emang ngeyel2 orangnya bro 😀

  • olangbiaca
    February 18, 2008 at 10:00 am

    Asl..satu sisi LSF dibutuhkan, satu sisi LSF terlalu mengekang.

    oke deh mungkin harus proporsi ajah ya.
    mudah2an insan perfilm-an pun tahu akan batas-batas norma dan etika masyarakat kita,
    hingga diharapkan bangsa ini akan maju karena generasinya adalah generasi yg menjunjung tinggi nilai2 moralitas.

    thanks mas Iman, sy nggak nyangka mas mo bertandang ke kemah reot sy, sy betul2 merasakan indahnya persaudaraan sesama blogger, dari latar belakang manapun mereka datang. thanks banget mas. sy link yah mas ?

  • sapto
    February 18, 2008 at 11:02 am

    LSF masih diperlukan, tinggal batasannya aja yang diperjelas,
    dan ada transparansi dalam proses sensornya,
    akan lebih baik lagi ada dialog dengan si pembuat film sehingga jalinan ceritanya tetap terjaga.

    Kalo cuma diklasifikasi, akan jauh lebih susah dalam implementasinya,
    apa bisa pihak bioskop memeriksa & membatasi penontonnya??

    Akan lebih mudah kalo dari produknya sudah dibenerin
    daripada cuma klasifikasi kemudian masih harus mengatur konsumen yang jumlahnya jauh lebih banyak.

    Bokep masih gampang beredar?? biar ini jadi pekerjaan yang berwenang untuk mengurusinya,
    tapi setidaknya kita bisa mengurangi sumber2 lain yang bisa menghancurkan moral anak bangsa.

    Dulu banyak film ‘gairah’/’ranjang’?? Semoga tidak ada lagi yang seperti itu.
    Dan itu bisa dilakukan jika LSF diberdayakan dengan benar,bukan malah membubarkannya.

  • Nazieb
    February 18, 2008 at 11:58 am

    Hmmm… saya lebih setuju dengan beberapa komentator, yaitu adanya semacam klasifikasi. Tapi bukannya dulu sudah ada rating-rating itu? sekarang pada kemana?

  • mitra w
    February 18, 2008 at 12:51 pm

    hehehe…dpd mnegacu pada LSF, mendingan diadain SUCK FILM/SINETRON AWARD…

  • mikow
    February 18, 2008 at 3:12 pm

    mending bikin Lembaga Sensor Sinetron aja kali yah? Tau sendiri kan sinetron kita udah kyk apa?

  • mantan kyai
    February 18, 2008 at 3:26 pm

    waduh ketinggalan … ati2 disensor mas blognya 😀

  • Luigi
    February 19, 2008 at 5:20 pm

    terlepas dari pembentukan badan sensor versi baru dan lain sebagainya – kunci sensor terakhir ada pada tiap pribadi si pemirsa.. apakah dia akan hanyut pada bujuk rayu adegan2 tu dan pengaruh tontonan serta implikasi yang termuat didalamnya… kuncinya ada pada iman dan taqwa.. seiring dengan makin edan-nya jaman.. 😀

  • Moh Arif Widarto
    February 20, 2008 at 10:28 pm

    Sensor, klasifikasi, atau apalah namanya, saya kira masih perlu ada.

  • reena
    February 25, 2008 at 8:20 pm

    LSF itu perlu, tapi mungkin emang perlu sedikit dibenahi dan diluruskan.
    wong ada LSF aja, film indonesia udah pada porno2 dan ga bergizi gitu kok, apalagi ga ada, bayangkan betapa bebasnya orang bikin film.
    sebenarnya ini tantangan bagi masyarakat perfilman indonesia supaya bikin film yang benar2 meaningful, punya nilai, sehingga untuk menarik perhatian masyarakat dan meraup keuntungan tidak dengan menonjolkan adegan vulgar (yang seringkali diatasnamakan sebagai seni), sehingga juga tidak perlu khawatir akan disensor.

  • surya
    March 5, 2008 at 1:14 pm

    Wah, pembahasan yang menarik. Mengenai dunia perfilman, saya sangat awam, cuma penikmat saja. Hanya ingin tau lebih jauh Mas Iman:
    1. Apakah urusan sensor-menyensor ada juga di dalam dunia film iklan? Bagaimana prosedurnya? Ada kaitan juga dengan LSF atau Lembaga Klasifikasi yang dibicarakan?
    2. Selain mengklasifikasi, apakah dalam lembaga klasifikasi nantinya akan ada prosedur registrasi, kualifikasi bahkan sertifikasi bagi film/produser/sutradara film?
    3. Kelihatannya, lembaga kualifikasi pada saatnya juga akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengikat publik, misalnya larangan anak kecil menonton film berkualifikasi dewasa, dsb (barangkali). Apakah ini berarti pemerintah harus melepas sebagian perannya (mengatur publik) kepada lembaga ini, mengingat yang diinginkan adalah suatu lembaga non-pemerintah?
    Terima kasih

  • Prima Rusdi
    March 5, 2008 at 9:54 pm

    1. LSF juga menyensor iklan serta materi yang ditayangkan stasiun televisi. Untuk iklan masa sensor berlaku per tiga bulan dengan perpanjangan setiap tiga bulan,
    2. FTV dan sinetron JUGA melalui proses sensor,
    3. Untuk Mas Surya: Pemerintah tentu tetap berperan tapi bukan sebagai pengkontrol (controler) tapi sebagai fasilitator,
    4. Untuk Mas Surya: Lembaga klasifikasi tidak mengatur registrasi/sertifikasi karena hal ini lagi-lagi menyangkut perizinan (birokrasi). Lembaga klasifikasi memediasi film dengan masyarakat (penonton) dengan memastikan setiap film bisa diakses oleh penonton yang sesuai dengan film tersebut dan memastikan kelengkapan informasi awal dari film tersebut agar membantu calon penonton untuk memilih film yang dianggap paling cocok dengan kepentingan yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud di sini termasuk klasifikasi usia dan peringatan yang diperlukan. Misalnya, 18 tahun ke atas dengan peringatan ada konten adegan kekerasan.

    Semoga menjelaskan.

    Salam.

  • surya
    March 6, 2008 at 7:16 pm

    Terima kasih Mas Prima atas penjelasannya.

    Sepintas saja, saya jadi berpikir pada masa sekarang ini memang banyak timbul keinginan kelompok atau komunitas masyarakat yang menuntut kemandiriannya (mengatur diri sendiri). Bukan hanya di komunitas film, tapi juga lainnya. Apakah ini salah satu esensi dari reformasi atau sekedar dampak, saya rasa masih bisa menjadi bahan diskusi. Masalahnya, apakah pemerintah sudah siap “berbagi kewenangan” (yang selama ini berperan penuh sebagai pengkontrol menjadi hanya sekedar fasilitator)? Saya rasa untuk itu masih perlu proses lumayan panjang. Namun, karena itu, harus terus diperjuangkan. Saya setuju perjuangan MFI. Di sisi lain, saya juga setuju perjuangan pihak lainnya. Ini hakikat demokrasi. Seluruh proses akan berujung pada perbaikan bagi masyarakat. Saya yakin itu.

    Sekali lagi terima kasih Mas Prima, dan juga Mas Iman..

    Salam

  • Aviandra
    March 7, 2008 at 1:35 pm

    haduh, ternyata banyak pembahasan soal lembaga sensor film yg sedang saya butuhkan disini ya,
    Ternyata sangat berguna untuk bahan lomba debat saya…
    Terima kasih…

    hehehehe.

  • Fitria
    March 31, 2008 at 3:46 pm

    Waduhhhh ribet banget sihhhh,kalo gue kagak setuju seandainya LSF dibubarkan! Dan buat LSF sendiri seharusnya dapat mendahulukan atau memperiotaskan mana yang lebih berbahaya dampaknya kedalam masyarakat, tuh….VCD2 porno yang beredar,tolong donk bersatu dengan para aparat untuk memberantas peredarannya,bisa tidak mengatasinya ??? So kenapa orang2 yang sekarang duduk di LSF,malah selalu pusingkan tentang perfileman di tanah air? untuk mencari sensasional,atau hanya supaya tersorot kamera saja? bukannya seharusnya LSF juga ikut bangga dengan berkembangnya dan tumbuhnya kembali jiwa2 insan perfileman! bagaimana kalau orang2 yang duduk di LSF ikutan bermain di film,apakah kalian mau,lihat film kalian banyak mendapatkan sensor dari lembaga kalian sendiri. cobalah memahami seni per filman tanah air!

  • agus s ujung
    July 11, 2008 at 5:57 pm

    zaman gini ngomong sensor, kuno. yang penting, self cencorship. segala sesuatu yang berbau porno sll bs diakses kapan dan di manapun. so, keberadaan lembaga sensor tak ada relevansinya lagi. last but not least. semua terserah kita, mau sesat atau mau masuk surga, semua terpulang kpd pribadi masing masing. monggo mas.

  • TELEVISI CERMINAN BUDAYA BANGSA « …berbagi cerita untuk semua
    January 28, 2009 at 5:20 pm

    […] saya mendapat sedikit gambaran jawaban ketika membaca tulisan Mas Iman Brotoseno tentang sensor film ini. Mengutip isi tulisannya, Mas Iman mengatakan […]

  • Televisi, Cerminan Budaya Bangsa « Blognya Bang Fiko
    April 5, 2009 at 2:12 pm

    […] saya mendapat sedikit gambaran jawaban ketika membaca tulisan Mas Iman Brotoseno tentang sensor film ini. Mengutip isi tulisannya, Mas Iman mengatakan […]

  • koesmiadi
    April 26, 2009 at 3:47 pm

    sip..!
    spokat! sensor tidak untuk adegan porno ja. pengaruh thdp pencitraan dan efek dari film itu hrs diperhatikan juga, misal : islam selalu identik dengan azab, kutukan, setan/hantu, tukang kawin dll. fiuuuh!. kalo lmbaga sensornya sendiri dah merem tambah para pembuat filmnya juga tidak punya tanggung jwb moral thdp bangsa ini, adduuh!.(jd pengen sedih).
    film memang media yang paling efektif dalam mempengaruhi audience-nya, tanpa berlaku sebaliknya, media ini juga paling diminati dan jangkauanya sangat luas bisa menyentuh berbgai lapisan masyarakat, kadang kekuatannya ini banyak yang menganggap sepele malah cuma dianggap sbg hiburan semata.
    pernahkah kita dibuat nangis, tertawa, senang, tegang bahkan mendapat solusi setelah nonton fim? ya seperti itulah kemampuanya. ada suasana yang diberikanya seolah kita menyatu.
    sy harap kedepan media ini lbh dipantau lagi. bodohny pemerintah juga tdk memanfaatkan media ini untuk mengndalikan situasi negaranya.

    yo! kita mulai sadar media!
    suguhkan yang terbaik buat generasi brikutnya
    berikan mereka sesuatu yang bisa membangkitkan semangatnya, memberikan inspirasi, wawasan yg lbh luas dan apapun itu yang penting mendidik, bukannya dari awal juga media film ini sebagai media pendidikan, bukan media mencekok! hehe

  • eduardo
    July 11, 2013 at 6:19 am

    loh. saya sih seneng kalau mata saya dibantu dijaga oleh pemerintah.

1 2

Leave a Reply

*