Sejarah Konfrontasi

Wilayah Malaysia yang meliputi semenanjung Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara menimbulkan pro kontra di berbagai kalangan. Rakyat Malaya yang beretnis Melayu takut dengan kehadiran etnis Cina, terutama dari Singapura. Pemerintah Inggris memberikan solusi dengan cara menggabungkan wilayah Kalimantan Utara dengan Malaysia. Dengan cara ini, maka etnis Melayu sebagai penghuni asli akan bertambah banyak dari etnis Cina yang mendominasi perekonomian Malaya.

Tunku Abdul Rahman pada tanggal 27 Mei 1961 di depan The Foreign Corespondent’s association of South East di Singapura mengemukakan rencana penggabungan wilayah bekas jajahan Inggris, yakni Malaya, Singapura, Kalimantan Utara, Brunei dan Sarawak.
Gagasan Tunku mendirikan Federasi mendapat dukungan dari Lee Kuan Yew, pemimpin Singapura yang berjanji wilayahnya akan bergabung dengan Malaysia. Pembentukan Malaysia tentu saja mendapat sokongan dari Pemerintah Inggris yang memiliki kepentingan ekonomi di semua wilayah tersebut.

Namun ternyata gagasan tersebut tidak diterima dengan mulus oleh sebagian warga masyarakat. Kalimantan Utara. Pemimpin etnis Cina, Ong Kee Hui, Pemimpin Dayak Tumenggung Jugah Anak Barieng dan pemimpin Partai Rakyat Brunei, AM Azahari menolak bergabung ke Malaysia. Mereka mendirikan UNKO ( United Nationaal Kadazan Organization ). Barisan ini menyerukan penolakan penggabungan Kalimantan Utara di Kinibalu, 9 Juli 1961

Bahkan Sultan Brunei sendiri, Omar Ali Saifuddin ragu ragu bergabung, setelah Tunku mengatakan akan menarik minimal 50 % dari hasil tambang minyak yang diperoleh di Kesultanan Brunei.
Selain itu, sebagian rakyat Brunei, melalui Partai Rakyat pimpinan Azahari yang baru memenangkan pemilu, juga menuntut bentuk negara diubah menjadi Republik. Ketegangan memuncak, ketika Azahari sedang berada di Philipina, para pendukungnya – Tentara Nasional Kalimantan Utara ( TNKU ) , sebuah sayap militer dari Partai Rakyat dibawah pimpinan Yassin Effendi justru melakukan perebutan kekuasaan.

Pasukan Inggris dengan cepat menumpas pemberontakan, dan Sultan Brunei bisa dikembalikan ke tahtanya. Para pemberontak melarikan diri kedalam hutan, dan meneruskan perang gerilya dengan dukungan masyarakat setempat. Pertempuran segara meluas ke wilayah Kalimantan Utara lainnya, yakni Sabah dan Sarawak. Mereka segera merekayasa aksi perlawanan terhadap gagasan pembentukan Malaysia.

Awalnya Indonesia tidak menolak pembentukan Malaysia. Presiden Soekarno memberikan dukungannya.
“ Kami sudah tentu menyambut setiap bentuk dekolonisasi dengan gembira. Dan pada waktu bangsa yang baru di perbatasan utara dilepaskan tahun 1961, aku memberikan pangestu “

Pemerintah Indonesia tidak menentang gagasan ini. Tapi kesukaran timbul dari arah lain. Philipina menyerang politik Malaysia yang dengan sewenang wenang memasukkan Sabah ke dalam rencana Malaysia tanpa berkonsultasi dengan Philipina.
Namun dengan tidak mempertimbangkan hal hal di atas, begitu pemberontakan di Brunei meletus, Tunku Abdurahman langsung menuduh Indonesia berada di balik pemberontakan. Ia sama sekali mengabaikan kenyataan, bahwa ketika aksi kudeta di Brunei meletus. Pemimpin Partai Rakyat, Azahari justru sedang berada di Philipina, untuk melakukan pembicaraan rahasia dengan Wakil Presiden Philipina, Emmanuel Pelaez.

Soekarno menganggap tuduhan dari Tunku sebagai serangan pribadi. Ia tak pernah melupakan ketika Indonesia dirongrong pemberontakan PRRI/Permesta. Banyak tokoh pemberontak mendapat perlindungan di Semenanjung Malaya. Dari wilayah itu pula mereka mengorganisir perlawanan untuk melawan Pemerintahan resmi Indonesia.

Soekarno selalu mengkritik cara dagang Singapura dengan wilayah sekitar Sumatera. Di depan para pedagang Sumatera ia berkata
“Lebih lima puluh persen dari kekayaan Singapura berasal dari kerja keras yang saudara-saudara lakukan. Saudara-saudara membarter barang-barang dengan Singapura, dan dengan itu gedung-gedung pencakar langit bermunculan di negeri itu seperti cendawan tumbuh,”

Setelah beberapa bukan mendiamkan kecaman yang dilakukan Kuala Lumpur, maka April 1963, di depan Konperensi Wartawan Asia Afrika, Soekarno secara terbuka menegaskan “ Perjuangan rakyat Sarawak, Brunei dan Sabah adalah bagian dari perjuangan negara negara yang baru muncul, The New Emerging Forces, yang membenci penghisapan manusia oleh manusia “.
Kemudian secara diam diam, Indonesia mendukung gerakan rakyat Kalimantan Utara dengan memasukan para sukarelawan sukarelawan. Mayor LB Moerdani juga mendapat perintah dari Panglima AD, Yani untuk menyusup ke perbatasan Kalimantan.

Bung Karno mengemukakan
“ Perdana Menteri dari pemerintahan pemberontakan, Azahari, pernah menjadi kapten pada Tentara Nasional Indonesia. Ia memulai dinas militernya di Jogja. Apakah aku tidak punya kewajiban moral terhadapnya dan rakyatnya ? Dan kewahijan moral terhadap bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan ? Aku mengirim lima juta dollar guna menyokong perjuangan kemerdekaan Aljasair, sedangkan negeri mereka tidak satu jengkalpun berbatasan dengan kami “

Selama konflik belum meluas, berbagai macam upaya perdamaian telah dilakukan. Mei 1963, Soekarno dan Tunku Abdul Rahman melakukan pertemuan rahasia di Tokyo. Lalu dilanjutkan pertemuan di Manila oleh Menteri Luar Negeri Dr Subandrio, Wapres Filipina Emmanuel Pelaez dan Menlu Malaysia Tun Abdul Razak yang menghasilkan Manila Accord.
Isinya, adalah Pemerintah Filipina dan Indonesia tidak menentang pembentukan Federasi Malaysia, asalkan rakyat setempat memang menerima.
Sebuah langkah dibentuk dengan meminta jasa PBB , termasuk team pencari fakta untuk memantau persetujuan Rakyat di Kalimantan Utara.

Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman yang tadinya sudah memutuskan akan memproklamirkan Malaysia pada tgl 31 Agustus 1963, bersedia menunda sambil menunggu jajak pendapat yang diselenggarakan PBB. Bahkan untuk memperkuat persaudaraan. Presiden Macapagal dari Philipina mengajukan usul pembentukan federasi antar bangsa bangsa rumpun Melayu yang di kenal dengan Maphilindo, yang disambut oleh tiga negara tersebut. Ironisnya, Inggris dan Amerika menolak ide Maphilindo tersebut.

Pemerintah Inggris merasa, sebagai pemilik wilayah yang disengketakan merasa kecewa karena tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan antar negara tersebut. Menteri Kerjasama Persemakmuran, Duncan Sandy merasa tersinggung. Dia berpendapat urusan di sana merupakan kewenangan pemerintahnya, bukan peserta Manila Accord. Ia tak ingin menunda penentuan tanggal bagi pembentukan Malaysia dan dia juga tidak ingin PBB ikut campur tangan dalam urusan koloni Inggris.

Tanggal 29 September 1964 secara mengejutkan diumumkan serentak dari London dan Kuala Lumpur, pembentukan Malaysia telah ditetapkan pada tanggal 16 September 1964.
Pengumuman ini mengejutkan semua pihak. Tim pencari fakta dari PBB yang beranggotakan 9 orang dan dipimpin diplomat Amerika, Laurence Michaelmore. masih belum menyelesasikan tugasnya, karena mereka baru tiba pertengahan Agustus 1964. Bagaimana mungkin tanggal kepastian pembentukan Malaysia sudah diumumkan terlebih dahulu ?.

Pengumuman tersebut dianggap Presiden Soekarno sebagai penghinaan, karena bukan saja melanggar kesepakatan Manila Accord, tetapi juga mengabaikan pengumpulan pendapat yang sedang berlangsung, untuk mendengarkan keinginan rakyat Kalimantan Utara.
Jajak pendapat inilah yang menurut Presiden Indonesia penuh akal akalan. Inggris mempersulut visa peninjau Indonesia, sehingga mereka terlambat tiba. Jumlah petugas PBB dibatasi, tak sebanding dengan luas daerah yang harus diawasi.

“ Pemerintah Indonesia telah dikentuti bulat bulat dan diperlakukan seperti patung “. Sergah Soekarno.

Tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno di depan rapat raksasa di Jakara, mengumumkan perintah DWIKORA – Dwi Komando Rakyat. Pertama, pertinggi kekuatan revolusi Indonesia. Kedua, bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia.

Massa Rakyat di Jakarta menudingkan amarah mereka kepada Inggris yang dianggap bertanggugjawab karena memaksa kehendak pembentukan Malaysia tanpa memperhatikan pendapat rakyat setempat. Tanggal 16 September berlangsung unjuk rasa ke Kedutaan Besar Malaysia dan Inggris.
Demo di Kedubes Malaysia berlangsung tertib. Sementara demo di Kedubes Inggris bertambah parah, karena demonstran tidak diterima dengan ramah. Seorang staff Kedubes Inggris, Mayor Roderick Walker memancing kemarahan, dengan memainkan peralatan music Skotlandia bag pipe dengan suara melengking yang memekikan telinga. Ia seperti meledek demonstran, hillir mudik meniup alat music di depan demonstran.
Akibatnya rakyat marah, lalu menjebol pintu gerbang Kedutaan serta membalikan mobil mobil kedutaan dan membakarnya.

Tanggal 17 September 1964, Pemerintah Malaysia memutuskan hubungan diplomatic dengan Indonesia dan Philipina. Bersamaan itu juga terjadi aksi demo di depan Kedutaan Besar Indonesia. Massa mencopot lambang Garuda dari dinding kedutaan. Lambang itu diarak massa dan diserahkan ke Tunku Abdul Rahman dan memintanya untuk menginjak Garuda.
Lambang negara tadi langsung dicampakan ke tanah dan diinjak injak sendiri oleh Tunku. Hal ini membuat Bung Karno bertambah murka karena Tunku telah menginjak nginjak lambang negara Indonesia.

Keesokan harinya, berita tentang insiden ini terdengar di Jakarta. Ratusan demonstran membakar habis bangunan kedutaan Inggris. Banyak orang termasuk penentang Soekarno berpendapat, aksi masa itu tidak akan terjadi andaikata para diplomat Inggris lebih santun menghadapi massa dan tidak bertindak provokatif. Apalagi aksi massa sudah disusupi orang orang Komunis yang memanfaatkan keadaan.

Howard Jones, Duta Besar Amerika Serikat saat itu melaporkan ke Washington bahwa ia bertemu Soekarno yang marah besar. Tidak ada pertukaran salam atau basa basi. Sang Dubes bertanya apakah keadaan terkendali ?
Soekarno meledak “ Sejak kapan seorang kepala negara menginjak injak lambang negara lain “
Howard Jones mengenang ucapan Soekarno
“Rakyat Indonesia sudah murka ! ini Asia, tahun 1963. Saya juga amat emosi ! “

Nasi telah menjadi bubur. Dampaknya segera tampak. Indonesia bukan lagi sekedar merestui aksi penyusupan para sukarelawan masuk ke perbatasan. Secaera terbuka pasukan ABRI sudah menampakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara.
Sejarahpun mencatat konfrontasi menggempur Malaysia tidak bisa dihentikan.

*photo : LB Moerdani sebagai sukarelawan dengan kartu anggota Tentara Nasional Kalimantan Utara

You Might Also Like

5 Comments

  • Koen
    February 12, 2014 at 11:06 pm

    Thanks, Mas Iman. Makin cinta negeriku yang selalu hangat dan membenci ketidakadilan.
    Tapi agak bingung dengan tanggal-tanggal. Februari 63 LB Moerdani dibuatkan Kartu TNKU. Agustus 63 rencana pembentukan Malays yang ditunda. Mei 64 Perintah Dwikora. September 64 Malays dideklarasikan sepihak.

  • Iman Brotoseno
    February 12, 2014 at 11:32 pm

    Koencoro,
    Sebelum Dwikora secara resmi, Indonesia hanya mendukung aspirasi Partai Rakyat Brunei secara tidak resmi. Sehingga hanya memasukan ” sukarelawan ” seperti LB Moerdani misalnya, sambil melakukan perundingan perundingan. Setelah Dwikora dikumandangkan, pasukan reguler baru resmi diterjunkan. Tidak perlu menyamar sebagai sukarelawan.

  • Mohd Fazli Abdullah
    February 26, 2014 at 4:27 pm

    Anehnya, sejarah tulisan Indonesia sering beda dengan sejarah yang sama ditulis di Malaysia, Brunei, Singapura, Australia malah Inggeris sendiri. Jadi gak tau ni, siapa yang benar.

  • Goop
    March 6, 2014 at 9:13 am

    Presiden Indonesia waktu itu membuat bangga dan tentu tak sungkan-sungkan untuk mendukung, berdiri di belakangnya, menuruti apa pun perintahnya.

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:48 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*