Ketika Bang Ali selesai dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, hal pertama tama yang dilihat adalah kampung kampung kumuh berantakan di tengah tengah kota dan lalu lintas yang semrawut. Ia mengingat, anak anak bermata merah, perut buncit keleleran di jalan jalan karena tidak sekolah. Keluar dari kampungnya yang jorok. WC di depan rumah, saluran air tergenang dan kalau hujan becek kemana mana.
Bicara lalu lintas, bus bus tua peninggalan orde lama yang sedikit, Tidak punya terminal bus, sehingga ngetem berhenti dimana dia suka. Juga tidak ada jembatan penyeberangan, halte bus atau lampu merah. Jadi jadilah jalanan Jakarta seperti taman bermain. Dimana mana orang boleh menyeberang atau memberhentikan bus dan di setiap perempatan mobil atau becak saling mendahului karena tidak ada lampu merah. Semrawut sekali.
Bagaimana mungkin mengatasi semua permasalahan. Sementara masih banyak hal yang perlu diperbaiki untuk warga ibu kota. Duit di kas hanya 66 juta ( 44 juta dari subsidi Pemerintah pusat dan 22 juta dari pendapatan sendiri ). Ali Sadikin datang ke Bapenas, minta uang untuk perbaikan kampung. Ia ditolak karena prioritas Bapenas menekan inflasi.
Ia memutar otak, akhirnya membiayai sendiri proyek ini – kelak disebut proyek Muhammad Husni Thamrin – dari APBD. Selanjutnya ia melobby Bank Dunia yang membantu 50 % biaya proyek. Pemerintah pusat hanya diam saja.
Demikian pula urusan lalu lintas. Bang Ali sekali lagi menekan Bapenas untuk mengijinkan memasukan bus bus dari Amerika. Kali ini berhasil.
Ia juga membangun sistem lalu lintas. Halte bus, jembatan penyebrangan sampai lampu merah. Juga terminal Pulo Gadung, Grogol, Blok M dan Cililitan di bangun saat itu.
Sisa cerita diatas tinggal sejarah yang ditulis. Pemprov DKI membangun 2400 sekolah, 1200 kilometer jalan raya, memperbaiki kampung, puskesmas, rumah sakit, masjid dan penghijauan dengan uang sendiri. Ketika Ali Sadikin diganti oleh Gubernur Cokropranolo, ia meninggalkan uang kas untuk pemprov DKI, sebesar 116 milyar ( kurs 1 dollar ke rupiah, sekitar Rp 425,- )
Dari mana uang itu ? semua tahu bahwa uang dari judi yang dilegalkan Gubernur. Walau kontroversial, Ali Sadikin jalan terus. Ia punya landasan hukum Undang Undang yang memang mengizinkan Gubernur memungut pajak judi.
Ali Sadikin mengatakan. “ Tidak baik dari segi agama. Saya akui. Tetapi Tuhan mengatakan dari dua yang tidak baik, ambilah yang terbaik. Saya hadapi 4,4 juta penduduk. Tidak ada sekolah, jalan, kampung brengsek. Uang tidak ada. Pinjam tidak boleh “.
Jelas disini Ali Sadikin bisa memberi ilham kepada para penerusnya tentang bagaimana mengelola ibu kota tanpa harus membebani Pemerintah Pusat. Tentu tidak harus lewat judi, karena jaman berbeda. Dulu memang tidak ada pilihan, tapi jaman sekarang sebagai sentral bisnis, dan dekatnya dengan pusat keuangan. Jakarta mestinya dengan mudah bisa mengumpulkan dana.
Pekerjaan besar membangun sistem transportasi baik MRT, monorail – yang selama 8 tahun masih mangkrak tiangnya, bussway dan lain lain pasti membutuhkan dana luar biasa.
Ketika proposal Ali Sadikin ditolak Emil Salim, dia bisa melobby Bank Dunia untuk membiayai proyek MHT dengan gratis. Sekarang kenapa para Gubernur gubernur tidak bisa melobby institusi keuangan lain untuk proyek Monorai itu, ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani (waktu itu ) menolak memberi jaminan Pemerintah terhadap Dubai Islamic Bank yang akan membiayai proyek.
Secara hitungan bisnis. Banyak investor yang antri membiayai proyek proyek seperti jalan tol, atau sistem transportasi seperti MRT atau monorail yang memiliki captive market.
Bagi saya hal hal ini simpel saja. Jakarta membutuhkan pemimpin yang mampu mengelola sebuah proses manajerial. Seorang CEO seperti di perusahaan besar yang tahu tentang perencanaan, restrukturisasi modal, punya sense of business dan menjalankan perusahaan untuk keuntungan pemegang saham.
Disini warga Jakarta adalah pemegang saham. Saya mengandaikan Jakarta sebuah perusahaan. Pemegang saham bisa mencari direkturnya dari luar, tidak perlu pejabat karier atau orang dalam sendiri.
Garuda Indonesia semakin moncer justru dipegang CEO asal Bank Niaga. Erik Meijer, expat dari Belanda pindah dari Telkomsel, Esia sampai ke Indosat. Karena memang dia mampu dan perusahaan seluler yang membajaknya tertarik mencoba ‘resep’ marketingnya.
Karakter Jakarta yang terus bergerak memang tidak cocok dipegang tipikal birokrat, peragu, tidak kreatif menciptakan terobosan terobosan dan tergantung Pemerintah Pusat.
Jika dulu Suwardi Suryaningrat pada tahun 1913 menulis artikel bernada sarkastis yang berjudul Als ik een Nederlander was (Andaikan aku seorang Belanda). Sudah semestinya saya memberi judul postingan ini ‘ Seandainya aku seorang warga Jakarta ‘.
Sudah sekian lama kita dijejali janji janji perbaikan kota. Hampir setiap hari kita mendengar sumpah serapah mereka yang terjebak macet, dan hilangnya waktu berjam jam di jalan saja.
Kita membutuhkan jalanan yang lancar. Bukan membatasi penggunaan jalan raya atau kendaraan bermotor. Tapi membuat warga meninggalkan kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi karena sistem transportasi yang nyaman dan cepat.
Sesederhana itu juga, kita mengimpikan banjir yang bisa diatur, fasilitas publik dan ruang terbuka yang bisa dinikmati. Pasar pasar tradisional yang tidak tergerus mall mall dan hypermarket. Pemberdayaan ekonomi seluruh warga.
Seandainya saya seorang warga Jakarta. Sepantasnya kita memberi kesempatan kepada pejabat yang mampu. Kita harus melihat kemampuan CEO Jakarta ini bukan dari neraca Islam atau bukan, Betawi atau bukan. Bukan pula pertimbangan berita berita fitnah, gosip di social media atau bisik bisik di pojokan. Satu satunya pertimbangan adalah jujur atau tidak. Mampu atau tidak. Paling mudah melihat track record yang telah di buat selama ini. Apa yang telah dia lakukan lalu bandingkan. Sesimpel itu.
Seandainya saya warga Jakarta, saya tidak akan membuang waktu 5 tahun ke depan dengan sumpah serapah penyesalan terhadap kota yang masih semrawut.
Barang kali ide besar Jakarta dari Bung Karno masih relevan. Ingin membangun ibu kota yang sejajar dengan kota kota besar di dunia. Bagaimana mau bersaing jika Jakarta masih berkutat dengan problem klasik rauwis uwis.
Kutanamkan ideku tentang Jakarta kedalam sanubarimu, pelaut Ali. Demikian Bung Karno menunjuk nunjuk Ali Sadikin yang termangu mangu ketika mendengarkan pidato Bung Karno pada pelantikannya.
Kelak sebelas tahun kemudian, Ali Sadikin mengerti ucapan itu. Benar kata Bung Karno. Semua orang akan selalu mengingatnya. Inilah yang telah dilakukan Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan “.
Kali ini saya ingin mengingatkan seluruh warga. Bahwa lima tahun lagi, kita semua akan mengingatnya dalam sumpah serapah atau penghargaan tulus. Inilah yang telah dilakukan si Gubernur.
Selamat menentukan nuranimu wahai warga Jakarta.
19 Comments
Snydez
September 12, 2012 at 9:56 pmWah menarik.
Jakarta ga butuh gubernur, yg dibutuhkan adalah CEO.
Bagaimana kalau sekalian privatisasi jakarta? 😉
Eka
September 12, 2012 at 10:05 pmBalik lagi ajak kaya dulu, gubernur ditunjuk presiden.
Selain biaya pilkada mahal, kampanye berlebihan bahkan berpotensi bikin rakyat saling bermusuhan.
Demokrasi kebablasan.
Antyo Rentjoko
September 12, 2012 at 10:09 pmSeperti umumnya ibu kota negara yang merdeka setelah PD II, Jakarta terpaksa dan kadung tamak mengemban aneka fungsi; tidak hanya pusat pemerintahan tapi juga lainnya. Repotnya dalam perjalanannya, secara fisik dan praktik DKI itu menyatu dengan wilayah tetangga. Saya rasa ide ada menko khusus Jabodetabekser itu masih layak dipertimbangkan.
Saya setuju, tentu kita butuh pemimpin bervisi seperti Bang Ali yang kata Bung Karno “koppig” itu. 😀 Bang Ali tahu bahwa Jakarta harus menjadi ruang kehidupan yang beradab.
Makin ke sini Jakarta seperti kehilangan orientasi.
Adham Somantrie
September 12, 2012 at 10:22 pmJakarta itu ibukota negara, Jakarta itu pusat bisnis nasional, Jakarta itu kota pelabuhan. Jadi, tidak bisa kalau hanya mementingkan kepentingan natives. Kecuali, Jakarta rela melepas atribut sebagai ibukota, pusat bisnis, dan kota pelabuhan.
Jadi, bagaimana kalau manajemen kota Jakarta dikontrakkan saja ke Singapura? Managed services, gitu.
Yaserace
September 12, 2012 at 10:27 pmYang tidak hadir di Jakarta selama ini adalah kepemimpinan. Rakyat hidup dalam dunianya sendiri. Eh, tahu2 ada pilkada.
Jakarta, memang tak layak hidup sendiri. Menjadi besar karena kekuatan yang dibangunnya sendiri, namun saat sakit coba menyalahkan yang lain.
Bila pemimpin itu hadir kembali, saya mengharapkan Jakarta menjadi kota yang lebih manusiawi.
Selamat menikmati pilihan mas…
DV
September 13, 2012 at 7:25 amPokokmen hidup kotak-kotak, Mas! 🙂
waterbomm
September 13, 2012 at 8:10 amada gak ya outsource yang khusus menangani ibukota atau kota-kota yang semrawut? biayanya berapa ya kira? 😀
gurukecil
September 13, 2012 at 8:22 amMemang susah Mas, kalau ibukota negara disatukan dengan pusat semua kegiatan manusia. Di negara-negara maju, kota pusat pemerintahan (ibukota) berada di lokasi berbeda dengan kota pusat bisnis. Bagi kita, yang terdengar hanya wacana (lebih tepat mungkin gosip) memindahkan ibukota negara. Para petinggi negara kita pasti takut berada jauh dari pebisnis, siapa tahu mereka punya hutang pemilukada yang harus diselesaikan. Soal CEO atau bukan, itu hanya soal nama, bergantung pada mentalitas orangnya. Kalau CEO-nya seperti CEO Bank Century ya sama saja. Kita butuh pemimpin yang jujur, tidak pilih kasih, mau mendengar dan melihat penderitaan rakyat, dan menjaga harkat dan jati diri bangsa.
wennyaulia
September 13, 2012 at 9:44 am“Seandainya saya seorang warga Jakarta. Sepantasnya kita memberi kesempatan kepada pejabat yang mampu. Kita harus melihat kemampuan CEO Jakarta ini bukan dari neraca Islam atau bukan, Betawi atau bukan.”
This! di era boundaryless kok ya masih mengkotak-kotakkan diri 😀
jakober
September 13, 2012 at 1:18 pmJakarta ga butuh gubernur, jakarta butuh lebaran tiap hari
edratna
September 13, 2012 at 6:57 pmLha tinggal milih satu dari dua yang ada.
Mas Iman udah bisa menebak pilihan saya…..
Berharap semoga siapapun yang terpilih membuat Jakarta lebih nyaman bagi warganya.
gerry
September 13, 2012 at 11:31 pmduh tadinya bingung ketika waktunya nanti, akan memilih siapa, tapi untung mas Iman sudah nulis ungkapan bang Ali Sadikin “..Tetapi Tuhan mengatakan dari dua yang tidak baik, ambilah yang terbaik”.
*siap memilih yg sedikit lebih baik*
Ivan Prakasa
September 14, 2012 at 2:47 amWah mas Iman ide nya bagus…
Kunjungan pertama ke blog mas Iman suka dgn 2 tulisannya…
slain itu jujur aja aku orang yg sebel dgn sejarah, but setelah baca sedikit dari banyaknya postingan sedikit banyak jadi melek sejarah dan kok menarik ya belajar sejarah dari mas iman 😀
Baca profil mas Iman yang mengisi lubang2 sejarah so far I said it awesome.
Jadi penasaran adalah gimana caranya mas Iman menambal lubang2 sejarah tersebut? *penasaran 😀
Ceritaeka
September 14, 2012 at 9:31 amSiapapun gubernurnya, berat tugasnya 🙂
Aku ndak bis nyoblos, ndak kedaftar -_- bhiks
rere
September 14, 2012 at 11:55 pmJadi, mas iman nyoblos atau ndak?
Hanna
September 17, 2012 at 8:50 amMenurut sy yg terpenting kt harus berpartisipasi dalam pilgub kali ini, jangan golput aja, Ok.
slametmega
September 19, 2012 at 2:53 pmMau mengubah Jakarta ? Ubah dulu mental org2 (yg datang ke dan tinggal di) Jakarta… Percuma ngerubah birokrasi klo mental warganya, pendatang maupun pemukim, masih hedonis duniawi mikirin diri sendiri. Contoh kecil aja, semua org yg menuju Jakarta kan orientasinya punya rumah sendiri n mobil pribadi. Jd gimana ngk makin macet Jakarta ? Tiap thn kendaraan makin banyak. Liat aja klo pas Lebaran, yg pd pulang mudik bikin macet total di pantura. Oiya, saya setuju idenya “guru kecil”. Jakarta memang udh kebanyakan fungsi, sbg ibukota negara jg pusat bisnis. Mestinya dipisah tu klo mau ngerubah Jakarta secara komprehensif.
adam
November 30, 2022 at 7:03 pmsiapapun yang jadi, kita dukung sebagai warga negara yang baik,
ibas
October 10, 2023 at 11:06 amgood article, thank you