NASIONALISME PERFILMAN

Bulan Desember ini memang sepertinya jadi hajatan orang orang film. Dari hiruk pikuk Jiffest sampai menjelang Festival Film Indonesia yang konon akan dibuka oleh Presiden SBY sendiri. Seorang teman yang suka nonton film sudah kasak kusuk untuk mencari tiket undangan buat pembukaan Jiffest. Mungkin menurutnya ada gengsi tersendiri bisa berada dalam antrian penonton yang merupakan undangan saja, untuk menonton filmnya Alejandro Gonzales Innaritu, “ Babel “ sebagai film pembukaan Jakarta Internasional Film Festival 2006 di Djakarta Theater. Sementara kolega saya, produser senior yang sudah banyak makan asam garang di film layar lebar maupun iklan, sudah sejak sore buru buru meninggalkan kantor. “…ntar mau ke undangan Jiffest “. Perasaan saya sih dia ke Salon dahulu, bersolek agar malam ini terlihat pantas bersama insan insan perfilman nasional. Dari cerita di atas menunjukan dunia film selalu menjadi magnet yang tidak ada habis habisnya bagi siapa saja yang memujanya, entah itu teman saya yang hanya suka menonton atau partner saya yang memang hidup matinya bekerja di dunia film.

Film sudah menjadi globalisasi industri hiburan di seluruh dunia. Khusus di Indonesia sejak film bioskop pertama “ Loetoeng Kasaroeng “ dibuat tahun 1938, mungkin tak ada yang mengira bahwa perkembangannya demikian pesat. Definisi film sudah tidak hanya layar lebar saja, sudah melebar ke video klip, iklan, televisi dan dokumenter. Mungkin nantinya merambah ke multimedia internet juga. Pembuat film sudah melewati lintas batas Negara. Film film Holywood bisa dengan mudahnya masuk sampai ke pelosok pelosok negeri. Dibidang pertelevisian , banyak pekerja film dari India, Malaysia dan Hongkong lalu lalang disini. Apa lagi bidang film iklan, banyak sutradara, produser dan juru kamera dari Australia, Singapore, Malaysia, Thailand, Hongkong, Cina sampai Eropa yang mencari nafkah di sini. Namun tidak ada yang tahu bahwa rambu koridor kegiatan perfilman Indonesia sebenarnya sangat nasionalistik. Lihat saja UU No 8 Tahun 1992 mengenai Perfilman Nasional dan PP tahun 6 tahun 1994 tentang penyelenggaraan usaha perfilman Disana jelas jelas tertulis industri film nasional tertutup bagi orang asing atau badan hukum asing. Para pembuat undang undang dan peraturan ini menganggap film sebagai budaya bukan industri. Karena sebagai budaya maka sudah sewajibnya di lindungi dari pengaruh asing. Masuk akal, karena film bisa secara tidak langsung mempengaruhi sikap perilaku masyarakat atau bisa sebagai alat ‘ brain wash ‘ propaganda sebuah gagasan. Lihat saja model rambut Demi Moore dalam film “ Ghost “ diikuti oleh para gadis gadis seluruh dunia pada era awal 90an. Atau mendadak sontak banyak remaja ikut ikutan suka puisi gara gara tokoh Rangga yang doyan puisi dalam film “ Ada Apa dengan Cinta “. Ini pula yang menyebabkan tiba tiba saja banyak artis artis Indonesia menjadi caleg, walau otaknya kosong tapi popularitasnya bisa mendulang suara suara para pemujanya.


Lalu apa yang sebenarnya salah dengan memproteksi seperti ini ? Dengan globalisasi dunia saat ini serta era perdagangan bebas 2010, kita sudah tidak bisa membendung arus globalisasi industri film. Ironisnya Malaysia justru menjipak UU perfilman kita dan mengimplikasikan dalam kebijakan “ Made in Malaysia “, atau popular dengan MIM. Suatu kebijakan untuk melindungi industri film nasionalnya dan menumbuhkan pekerja pekerja film bumiputera, untuk suatu saat nanti bisa bersaing sewaktu arus kran perdagangan bebas dibuka. Bedanya dengan kita, yang tak peduli dengan penerapan sebuah undang undang. Malaysia justru sangat ketat dan benar benar diawasi, sehingga film iklan Marlboro yang mendunia dengan koboi koboinya tidak bisa tayang di televisi Malaysia. Alhasil pihak produsen rokokpun harus membuat film iklan di Malaysia dengan konten dan isinya yang mencerminkan budaya Malaysia. Memang salah satu isi dari program MIM adalah film iklan yang bisa tayang di Malaysia harus dikerjakan di Malaysia, dengan tenaga warganegara Malaysia pula. Khusus untuk film iklan di Indonesia memang paling banyak menyerap expat expat yang umumnya illegal. Rasa kebangsaan kita bisa terusik melihat tidak hanya porsi sutradara, juru kamera dan produser yang banyak diduduki pekerja film asing, tapi untuk posisi seperti art director, penata busana sampai make up artis. Demikian pula kasus beberapa sutradara asal India yang tidak bisa berbahasa Indonesia tetapi mengerjakan sinetron sinetron di Indonesia.

Sudah sepatutnya pemerintah memperhatikan masalah ini, bukan hanya terpesona dengan glamournya festival festival film. Perdagangan bebas AFTA sebentar lagi akan dibuka, dan pekerja film Indonesia akan tergilas dengan sendirinya, kalau sejak dini tidak dilindungi. Jangan jangan nanti sequelnya “ Ada apa dengan Cinta Jilid 2 “ akan dibesut oleh Ang Lee, who knows ? Lagi pula siapa yang peduli, toh orang lebih suka melihat prestisenya daripada urusan urusan teknis belakang layar ini. Sampai sore itu teman sayapun masih tetap menelpon kalau ada kelebihan undangan Jiffest.

You Might Also Like

10 Comments

  • Anonymous
    December 10, 2006 at 12:19 am

    fotona bagus2 mas… kereen…

    makasih udah leave comment di blog saya… kok bisa tau blog sy?

    betewe…salam kenal ya….

    o ya…. saya belum baca lengkap gimana blognya mas… tapi secara garis besar, menurut saya…mas kritis… hehe…

  • landy
    December 12, 2006 at 2:57 pm

    iya juga ya, walaupun nanti ada globalisasi industri film, saya yakin seyakin – yakinnya : ) mas iman pasti tak akan tergeser. : )

  • Anonymous
    December 15, 2006 at 1:00 pm

    yah… gak telpon za kl ada klebihan undangan…:(( za mao tuuuh….

    *manyuun*

  • rani
    December 18, 2006 at 8:44 am

    Waduh! kemarin waktu berhasil menyelundup ke premier opera jawa, boro2 nyalon dulu. tampang aja kucel kyk mahasiswa (padahal ga semua mahasiswa kucel yak ;P), abis kirain jiffest proletar kyk taon kemarin.

    kalo soal proteksi dan outsourcing itu emang ga ada aturannya atau emang karena gak pede sih mas? kebetulan baru baca tulisan pak BR

  • Iman Brotoseno
    December 21, 2006 at 12:42 am

    mungkin mental orang kita sendiri yang nggak begitu pede dengan SDM dalam negeri, kita khan tidak bicara teknologi canggih atau hal hal yang ngejelimet,,kita hanya bicara budaya, art dan daya seni yang sangat universal, dan bahkan mungkin kita lebih kreative serta lebih mengerti denyut nadi dan nafas budaya setempat..

  • Anonymous
    May 23, 2007 at 2:03 pm

    world of warcraft gold

  • ButtBarfagept
    January 4, 2008 at 3:29 pm

    Hello everybody,
    I’m new! How are you?

    ——————
    shopping

  • ButtBarfagept
    February 15, 2008 at 12:27 pm

    Hi there,
    Is everything fine? Any news?

    ——————
    Restaurante en El Salvador

  • ButtBarfagept
    February 22, 2008 at 3:07 pm

    Hi there,
    Is everything fine? How are you?

    ——————
    internet marketing

  • XXLKlintonLobby
    March 20, 2008 at 7:35 pm

    H. Klinton vs. Obama. How you think who will win elections in USA?

Leave a Reply

*