Saya sudah tidak mungkin membawa anak lanangku merasakan mudik lebaran. Wong, eyang putrinya sekarang tinggal di Jakarta. Sementara dulu saya berhimpitan dengan tumpukan tas, rantang makanan, bantal, serta keluarga dalam mobil yang membawa menuju Jogyakarta dan Solo. Kadang juga naik kereta api. Tujuannya satu. Mudik ke rumah ndalem simbah.
Pengalaman kultural ini yang mungkin tak terjadi pada generasi anak saya.
Baginya lebaran hanya berkumpul dirumah neneknya, makan ketupat dan ujung ujungnya menjelang sore, mengajak ke Pondok Indah Mall. Setelah seharian bosan pada acara keluarga. Tidak ada perjuangan menembus jalanan pantura. Tertawa tawa melihat becak becak di Jawa Tengah yang gemuk mlenuk. Karena becak di Jakarta β waktu itu β masih kurus kurus. Mata kami juga was was sewaktu melewati hutan alas roban yang dulu begitu angker dan wingit.
Di rumah simbah, kami semua cucu tidur ramai ramai sambil menggelar kasur, karena kamar kamar utama dipakai orang tua kami masing masing. Jadilah lebaran bukan saja prosesi agama, tetapi juga prosesi liburan yang selalu ditunggu setiap tahun.
Perjalanan mudik bisa merefleksikan seperti perjalanan puasa. Berat dan penuh godaan. Macet, berhimpit himpitan merupakan perjuangan untuk bisa sampai di kampung halaman. Mudik menjadi hakiki bagi terutama orang Jawa. Namun bisa jadi tak berarti apa apa, karena perjuangan itu masih dalam taraf ana insan β aku manusia β . Hiruk pikuk rebutan tiket bersaing dengan calo dan copet. Kesibukan oleh ego eksistensi sebagai manusia yang bagaimana caranya harus pulang kampung.
Barangkali mudik memang lebih kepada pemindahan asset ekonomi. Membawa uang juga menularkan konsumerisme untuk kampung halaman. Benar benar prosesi liburan yang selalu sama dari tahun ke tahun, sebagaimana masa kecil saya.
Saya yang tak begitu paham ajaran agama, setidaknya pernah tahu bahwa selain ana insan, juga ada pemahaman khalifatullah yang bersifat demokratis terhadap seluruh alam semesta, sesama manusia, gunung, tanah bahkan hewan. Seorang khalifatullah menerjemahkan komitmen sosial tidak hanya dunia kehidupan manusia.
Orang orang beriman kini makin diuji untuk memilih mengumpulkan pahala pribadi atau menyumbangkan pada proses sosial. Jika dalam perjalanan mudik kita melihat orang tertabrak. Apakah kita akan menolong dan menunggui di rumah sakit, dengan kemungkinan kita terlambat sampai di kampung untuk shalat ied bersama.
Demikianlah saya tak begitu menyesal tak bisa menularkan pengalaman mudik pulang kampung kepada anak saya. Momentum konteks yang berbeda. Biarlah dia menemukannya sendiri.
Allahu Akbar. Idul Fitri menjadi puncak ketakjuban. Kata Emha Ainun Najib, Puncak pencucian diri adalah Ramadhan. Puncak ketakjuban itu adalah Allahu Akbar Hari Raya. Maka suara imam imam yang megimami shalat ied, suara bergetar. Menjadi lain. Kita menjadi demam panggung di hadapan Allah yang Maha kita kagumi. Grogi dan salah tingkah, sehingga kita menutupi dengan bergembira. Tidak salah juga, karena memang Idul Fitri menjadi sifat kultural. Kita menyebutnya Hari Raya. Tiap hari kita begitu sibuk dan lari dari Nya. Justru itu kita bergetar dalam hari Raya, pulang kembali ke fitri. Apalagi fitrah manusia itu tidak ada. Hanya Allah yang Maha Akbar. Selamat Hari raya Idul Fitri.
25 Comments
Sarah
September 9, 2010 at 12:10 amMinal Aidin Wal Faidzin Mas Iman yang baik…
Maaf lahir bathin
ihsan
September 9, 2010 at 5:04 amSelamat idul fitri..
Taqobalallohu minna waminkum
DV
September 9, 2010 at 10:17 amSuka paragraf terakhir.
Selamat Idul Fitri, Mas..
Ad Maiorem Dei Gloriam!
edratna
September 9, 2010 at 10:23 amSaya mulai latihan dan membayangkan alm ibu, saat anak-anaknya tak bisa pulang mudik karena terjebak macet, atau ada ujian dua hari sebelum Lebaran. Dan baru bisa datang setelah Lebaran.
Lebaran kali ini, anak-anak yang sudah mandiri tak bisa pulang kampung (ke Jakarta). Tugas yang berbeda pulau dan negara membuat sulit ketemu di hari yang penuh bahagia ini.
Namun doa ibu akan selalu untuk anak-anaknya..dan biarkan mereka mengalami “rasa” Lebaran di tempat lain…dengan suasana dan budaya yang berbeda.
Selamat Idul Fitri
1 Syawal 1431 H
Mohon maaf lahir batin
pinkina
September 9, 2010 at 10:52 amMaap lahir batin yho mas
mbakDos
September 9, 2010 at 11:22 amselamat idul fitri ya mas.. titip salam juga buat junior π
ajengkol
September 9, 2010 at 12:25 pmTaqobalallahu Mina Wa minkum
Taqobalallahu ya Karim
Siamana wasiamakum
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
1 Syawal 1431 Hijriah
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Sorry kalau sering nyusahin mas Iman hehehe
zammy
September 9, 2010 at 2:14 pmtaqabalallahu mina wa minkum, shiyaamana wa shiyaa makum. π
met idul fitri. mohon maaf lahir batin, mas iman. π
anggrapz
September 9, 2010 at 9:02 pmselamat hari raya ied fitri, maaf lahir dan batin
maria
September 9, 2010 at 11:10 pmselamat menikmati saat 2 bahagia dan bergetar hati menghadapkan wajahmu kehadapan ilahi robbi , salam putihnya iman melebur dalam jiwa menyongsong hari esok yang makin indah.
Sugeng
September 12, 2010 at 10:41 pmAKu sendiri juga belum bisa membawa fantasi anakku untuk mudik dengan prosesi yang capek dan terkanal dengan macetnya π karena mbah uti dan mbah kakung nya sudah di tanah Bali dwipa π
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
Fadly Muin
September 12, 2010 at 11:59 pmminal aidin walfaidzin..
pengalaman masa mudiknya seru yah, sungguh sayang tahun ini tak terlalui lagi..
mungkin bisa dalam konteks atau situasi yang berbeda kali..
lilliperry
September 13, 2010 at 2:01 amsukan paragraf terakhirnya dan semoga si Imanbr jr menemukan cerita lebarannya sendiri, beda masa tapi tetap akan menyenangkan.
maaf lahir batin mas.. π
soulharmony
September 13, 2010 at 12:34 pmmudik juga ya
Huda
September 14, 2010 at 6:45 pmMinal aidin wal faidzin mohon maaf lahir dan batin ,
didut
September 15, 2010 at 2:00 pmMohon maaf lahir & batin Mas Iman π
sibair
September 16, 2010 at 12:11 pmwah minal aidin walfaidin ya mas π
amriltg
September 17, 2010 at 10:32 amMinal Aidin Wal Faidzin Mas Iman
hanny
September 17, 2010 at 6:02 pmsudah sampai lebaran ini yang mau masakin nasi goreng belum-belum juga… *rolls eyes*
hihihihi *sungkeman*
max
September 18, 2010 at 1:07 ammohon maaf lahir bathin mas
imoe
September 20, 2010 at 9:12 pmMaaf Lahir Bathin Pak, saya dari Komunitas Blogger Palanta Padang
Alris
September 22, 2010 at 12:38 amSelamat idul fitri 1431 H, Minal Aidin Walfaidzin Mas Imanβ¦
Maaf lahir dan batin.
jaya
October 7, 2010 at 4:49 amassalammu’alikum wr wb.
salam kenal mas iman. saya jaya. sekarang sedang domisili di Korea selatan. Saya menemukan nama mas iman ketika searching dengan key word “dokter ptt di banda naira” di internet. Salah satu laman yang direkomendasi terkait dengan key word tersebut adalah komen mas pada sebuah blog yang berbunyi : saya punya kenalan dokter ptt di banda naira yang menjadi driver setelah kerja karena dont know what to do after work. kebetulan saya sedang mencari seorang teman saya yang saya kenal ketika berkunjung ke banda naira pada tahun 2007 dahulu. dan sepertinya dokter yang mas maksud dalam komen mas tersebut adalah teman saya tersebut, tepatnya seorang senior saya. klo mas iman berkenan dan memiliki kontak beliau (email atau nomor telepon) bolehkah saya memilikinya saya sangat berterima kasih sekali jika diperkenankan. wasalammu’alikum wr wb
x
August 18, 2012 at 8:51 am“Kita menjadi demam panggung di hadapan Allah yang Maha kita kagumi.”
Wah.. sepertinya nama mas Iman sudah masuk daftar blogger fave saya. π
Nazly purihati
June 25, 2017 at 5:39 pmTaqabbalallahu minna wa minkum…barakallahu fiikum…mudik adalah moment yang saya mimpikan ketika saya masih remaja…sepertinya ada sensasi sendiri…dan ternyata memang ada kebahagiaan tersendiri saat mudik tiba…seakan akan ada suara gaib yang mengajak pulang…karena arah mudik saya menuju jakarta membuat tidak merasakan suasana kemacetan seperti berita di koran koran…hanya saja mudik akhir akhir ini seperti membereskan potongan potongan puzzle yang selama ini tercecer…