Internet Bebas untuk siapa ?

The internet is a “ plaza publica ‘ – a public place where we can all participate
( Frank La Rue )

Visioner sejak awal membayangkan internet sebagai dunia tanpa batas, di mana aturan hukum dan norma-norma sehari hari tidak berlaku. Kebebasan berekspresi telah dibayangkan sebagai hak, sebuah fitur dari dunia maya. Konsep idealis itu dengan cepat berganti bahwa internet pada akhirnya dikuasai oleh orang-orang, sehingga dapat dikontrol juga : perusahaan, para pembuat kebijakan, atau pemerintah.
Elemen terakhir ini mulai menegaskan berhak memliki kontrol atas internet, memberlakukan batas untuk dunia maya dan mencegah arus informasi yang bebas, tidak berbeda dengan penjaga di perbatasan negara yang mencegah masuknya orang orang tanpa permit visa.

Penggunaan internet dalam pemberontakan di Timur Tengah dan Afrika Utara – dengan mengambil contoh bagaimana aktivis di Tunisia dan di Mesir mengorganisir revolusi menggunakan social media serta pembatasan oleh pemerintah mereka, telah menginspirasi publik tentang wacana kebebasan berinternet.

Tidak seperti majalah misalnya dapat dibatasi untuk dijual kepada anak di bawah umur. Atau program televisi atau film yang dbisa dibungkus dengan kemasan mozaik, atau dibatasi dengan usia peringatan. Konten online tidak begitu mudah dibatasi. Sebaliknya, metode yang paling sering digunakan adalah dengan penyaringan atau block, sehingga tidak bisa membedakan antara siapa siapa yang membukanya.

Demikian pula, di Tunisia, sekelompok hakim berhasil mengajukan petisi pengadilan untuk memerintahkan Badan Internet negara itu untuk memblokir akses untuk peta besar situs porno.
Memblokir situs-situs tidak satu-satunya alat membatasi akses. Seperti di Iran dan di Suriah, misalnya, negara telah memperlambat bandwidth sehingga kecepatan merangkak untuk membatasi kemampuan upload atau download konten seperti video atau gambar.
Beberapa negara, termasuk Korea Selatan, telah berusaha untuk mengontrol akses ke konten tertentu, atau mengharuskan identifikasi pemerintah untuk menggunakan situs-situs tertentu.
Bahkan yang lebih buruk, negara bisa menangkap blogger atau mematikan internet sepenuhnya seperti yang terjadi di Mesir, Libya dan Suriah.

The Charter oh human rights and principles for the internet yang dikembangkan oleh Internet Rights and Principles Coalition, pertama tama mendefinisikan kebebasan online untuk berekspresi termasuk kebebasan untuk menyatakan protes, kebebasan dari penyensoran, hak atas informasi, kebebasan media, dan kebebasan dari kebencian ( hate speech ).
Piagam ini juga membingkai kebebasan berkumpul, termasuk definisi “ to form, join, meet or visit the website or network of an assembly, group, or association for any reason” and noting that “access to assemblies and associations using ICTs [information and communications technologies] must not be blocked or filtered.”

Kedua. definisi tersebut secara komprehensif mengakui hak secara online seperti yang disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Tetapi sementara kebebasan berekspresi dan berasosiasi yang dijamin oleh Pasal 19 dan 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, kadang terbukti sering kali menyusahkan bagi Pemerintahan penguasa. Bahkan negara negara yang demokratis.

Dalam buku laporan “ Global Society Watch 2011 – Internet Right and Democratitation , Focus on freedom of expression and association online “. Tidak hanya negara negara Africa, Arab atau Cina yang terkenal represif terhadap kebebasan berinternet. Tapi juga negara demokratis. Sebut saja Australia yang juga melakukan blocking content, belum sikapnya yang mendukung Amerika menuntut pelaku Wikileaks, Julian Assange.

Jadilah sekarang saya berada di Swedia – yang masih dingin dinginnya dengan suhu 1 sampai 5 derajat Celicius – untuk mengikuti Stockholm Internet Forum dengan topik Internet Freedom for Global Development. Forum yang di sponsori SIDA , semacam lembaga US Aid dari negara Swedia ini, dihadiri kurang lebih 300 peserta dari seluruh dunia. Mulai praktisi online, penggiat hak asasi manusia, jurnalis, blogger, korporasi komunikasi, Facebook, Google, sampai Unesco dan NATO. Sedemikian pentingnya kah bahwa Pakta Pertahanan Atlantik Utara juga menjadi slaah satu panelis ? Sebagai salah satu negara yang paling makmur di Eropa. Kini Swedia tampaknya berusaha menempatkan dirinya sebagai salah satu inisiator hak asasi manusia. Termasuk didalamnya bagaimana mengatur hak hak ini dalam internet.

Beberapa poster “Swedia For UN Human Right Council “ tampak dipasang dipojokan pojokan hotel Blue Radisson, komplek dimana konperensi ini dilakukan. Bisa diartikan hajatan ini juga merupakan bagian dari proses dukungan Swedia terhadap pembentukan badan hak asasi manusia di PBB. Swedia yang kini tidak lagi memikirkan perut karena sudah makmur, kini sangat concern dengan urusan hak asasi manusia.

Lars Tallert – International Project Manager – dari Fojo Media Instutite, yang banyak melakukan pelatihan jurnalisme di negara negara berkembang, mengatakan. Sebagai Swedia, kami lebih netral. Bisa masuk kemana saja, tidak seperti Amerika yang dengan mudah dicurigai. Tiba tiba saja saya teringat Pesta Blogger.

Dalam konperensi selama 2 hari , telah dipilih topik topik sebagai berikut :
Internet freedom for global development.
Pentingnya kebebasan internet dalam pembangunan negara negara dunia. Teknologi komunikasi dalam berbagai bentuknya – baik itu misalnya pertumbuhan ekonomi atau partisipasi politik – juga tergantung pada aliran bebas informasi dan komunikasi terbuka jaringan.

The connectivity of the future
Internet bebas hari ini, tapi bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan konektivitas komunikasi? Sesi membahas perkembangan teknologi terakhir, seperti solusi komunikasi mobile dan meningkatnya penggunaan cloud, komputasi awan, dan peluang peluang lain. Apakah kebebasan internet masih relevan dalam dekade yang akan datang?

Social media is fast – social change is slow
Apa yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan sosial yang berkelanjutan dan ICT paling efektif sebagai katalis untuk perubahan? Dalam sesi ini membahas peluang dan tantangan bagaimana ICT dapat digunakan untuk mencapai pembangunan negara berkembang dan pengurangan kemiskinan.

Freedom supporting human rights
Dalam sesi ini didiskusikan perkembangan internasional terutama tentang penerapan hukum hak asasi manusia di Internet. Apakah inisiatif ini cukup? Apakah model multi-stakeholder saat ini optimal ? Sesi ini membahas bagaimana negara dapat membangun koalisi baru untuk mendukung kebebasan di Internet dan apa tindakan nyatanya.

Enhancing Internet freedom and human rights through responsible business practice

Sesi ini membahas tantangan dan peluang ke depan untuk implementasi praktis perusahaan ‘prinsip-prinsip yang disepakati secara internasional dan kode etik. Sebuah aspek penting adalah bagaimana industri ICT dapat melakukan uji tuntas dan apa alat yang diperlukan perusahaan untuk memastikan bahwa kegiatan mereka konsisten dengan standar hak asasi manusia dan tidak merusak HAM.

Managing the balance of freedom and security in a digital world

Bagian ini berubah menjadi tantangan untuk menjaga Internet bebas sekaligus mempertahankan lingkungan yang aman untuk individu, bisnis dan negara. Masalah penting dibahas adalah kemungkinan konflik kepentingan serta implikasinya dalam mempertahankan kebebasan dan keamanan online.

Emerging threats to online freedom and prospective opportunities to transnational commitment – are we prepared for the evolving future?

Sesi ini berbicara tentang langkah-langkah dalam rangka memenuhi tantangan masa depan. Tantangan-tantangan ini termasuk diskusi tentang perlunya tindakan untuk transfer internasional data dan penanganan meta-data. Bagaimana pengalaman kebebasan Internet untuk pembangunan global dibagi secara lokal dan dalam pertemuan internasional masa depan

Berbagai pertanyaan muncul dari teman teman negara berkembang. Kebebasan internet yang bagaimana, untuk siapa dan dilakukan oleh siapa. Ini menjadi menarik perkembangan diskusinya, karena banyaknya standar ganda sendiri yang dilakukan negara negara maju yang memposisikan sebagai pembela kebebasan berinternet atas nama hak asasi manusia.

Menarik Ericsson sebagai salah satu sponsor untuk hajatan ini, juga menciptakan teknologi mata mata, surveillance untuk negara negara yang dapat digunakan untuk melawan ide besar tentang kebebasan hak warga.
Secara online kebebasan berekspresi ditantang tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh entitas swasta. Apakah penyensoran dengan kemauan sendiri atau atas perintah dari pemerintah ? seperti dalam kasus Korea Selatan, dimana Komisi Komunikasi Korea – sebuah perusahaan semi-swasta – telah dikembangkan untuk mengatur konten onlinee. Juga di Inggris di mana Internet Watch Foundation, sebuah lembaga non-pemerintah, menentukan daftar hitam website pelecehan anak secara seksual.

Perusahaanpun diwajibkan untuk mematuhi aturan negara tuan rumah. Seperti Google yang akhirnya menyerah pada Pemerinah Cina. Karena mereka mengesampingkan ide kebebasan berinternet dan menukarnya dengan transaksi bisnis. Siapa yang bisa menolak potensi populasi Cina sebagai target pemasaran yang besar ?
Yang paling umum tentu saja perusahaan ISP atau penyedia jaringan yang dipaksa negara untuk menutup konten.

Sepertinya memang tidak mudah merumuskan hal hal tentang definisi internet bebas. Sebelum saya terbang ke Swedia. Sempat melakukan Focus Group Discussion terbatas di Bogor atas undangan Kementrian Kominfo. Ujung ujungnya memang terbentuk dua polarisasi, sebagian besar peserta FGD untuk tidak memblokir semua konten. Termasuk didalamnya konten porno, serta mendorong warga untuk mengisi konten positif. Alasannya dengan memberikan ruang pilihan yang banyak, akan membuang jauh pikiran negatif.
Disatu pihak pihak Kominfo tetap bersikukuh untuk memblokir. Apakah sesimpel itu ?

Disatu sisi saya bisa memahami kegundahan para penggiat media. Tapi disisi lain, pornografi di Indonesia menjadi ancaman serius terutama bagi mereka yang di bawah umur.
Ini tidak semata urusan Kominfo, tapi juga tanggung jawab lintas sektoral lainnya.

Di Swedia sebagai salah satu penghasil konten pornografi terbesar agaknya berhasil menciptakan warga yang bertanggung jawab. Generasi mudanya tidak lantas jadi generasi bejat. Angka kejahatan termasuk pemerkosaan salah satu yang terendah di dunia. Selain human development index salah satu tertinggi di dunia, Swedia justru menjadi salah satu negara yang paling mengusung hak hak manusia. Negara itu paling banyak menerima pengungsi atau pencari suaka baik dari Somalia, Ethria, Srilangka, Irak, Syria dan tentu saja Aceh.

Di Seven Eleven mereka, ada sebuah pojokan tempat dijual DVD atau majalah porno. Dan saya sama sekali tidak melihat kerumunan orang yang melihat lihat.
Apa yang terjadi jika ini ada di pojokan Sevel Jakarta ? Ludes pastinya.
Jalan masih panjang. Tapi satu hal saya harus sepakat. Bahwa pikiran porno itu sebenarnya muncul dari otak kita sendiri.

You Might Also Like

11 Comments

  • uni lubis
    April 23, 2012 at 5:14 am

    Nice and komprehensif post..

  • didut
    April 23, 2012 at 7:49 am

    yg jelas pendidikan internet sehat di negara ini msh sanget rendah, pemerintahnya sibuk memblokir konten yg gak sehat kanan dan kiri, melupakan salah 1 tugas yg esensial mnrt saya yaitu edukasi masyarakat 🙂

  • Sam Ardi
    April 23, 2012 at 9:37 am

    Mas Iman, saya ingin tanya, bagaimana bentuk konkrit dari pemerintah Swedia dalam melakukan edukasi terhadap masyarakat negara itu terkait dengan hal pornografi? Apakah melakukan sosialisasi atau bagaimana?

  • travel murah
    April 23, 2012 at 9:57 am

    internet bebas and bablassss…. konten porno bbablassss sampai ke anak2…

  • Iman Brotoseno
    April 23, 2012 at 1:42 pm

    Sam Ardi,
    sempat bincng bincang dengan teman Swedia. Ada beberapa hal, yang jelas Law enforcement mereka jelas dan tegas. Bagaimana di Indonesia. Penjualan konten porno dirak rak juga harus di taruh ditempat paling tinggi sehingga tdk mudah dilihat atau dijangkau anak anak. Kalau di Indonesia justru di gelar di jalanan. Di lapak lapak pinggiran jalan. Jadi yang lewat malah bisa liat..he he. Bahkan di Russia yang negaranya tukang minum alkoholpun. Anak dibawah 17 tahun dilarang beli. Sementara anak anak kita dengan mudah beli dimana mana.
    Kemudian ada pendidikan keluarga dan sekolah. Sex bukan hal tabu tapi didiskusikan dibicarakan secara proposional. Ini blum bisa diterapkan di Indonesia sepertinya, ketika seks dilihat dari kaca mata haram halal atau sebagai bagian budaya barat. Orang tua masih malu malu utuk bicara seks pada anaknya.

    Yang jelas peran sekolah sejak dini utk membentuk generasi yang bertanggung jawab. Di Swedia dan juga di Russia saya lihat anak anak sekolah sampai sore, dengan materi pendidikan yang tdk memungkinkan mereka kluyuran habis sekolah. Baru Sabtu Minggu mereka bisa bermain.

  • Raynia
    April 23, 2012 at 6:51 pm

    law enforcement tegas dan jelas, itu pe er besarnya..kalo Geng motor bekingan aparat masih bisa bunuh orang, rasanya jalannya masih panjang ya.. Nice Post Mas, tku udah share 🙂

  • Antyo Rentjoko
    April 23, 2012 at 9:09 pm

    Dari sisi ide, saya setuju masyarakatlah yang mengatur diri sendiri sebagai bagian dari merawat kebebasan. Sebagian hasilnya adalah UU dan peraturan pemerintah. Dan tentu berikut law enforcement, bukan “low enforcement”. Kelas menengah Indonesia — eh siapa ya mereka itu, hehehe — mestinya terus memperjuangkan hal-hal tadi.

  • DV
    April 24, 2012 at 7:08 am

    Jalan-jalan ya? Makan-makan!

  • edratna
    May 16, 2012 at 5:30 pm

    Yup….setuju…
    pikiran porno sering muncul dari otak kita sendiri, bagaimana cara kita memandang porno tersebut.

  • Coach Factory Store
    May 22, 2012 at 8:04 am

    Always hesitate. Is done great things.

  • ibas
    October 10, 2023 at 11:10 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*