Selesai sebuah seminar, saat saya menjadi salah satu pembicara beberapa waktu yang lalu, seorang ketua partai ‘ gurem ‘ mendekati saya. Ia menyodorkan kartu namanya.
“ Jika anda tertarik dengan perubahan di negeri ini, mari kita ngobrol ngobrol “
Saya hanya tersenyum dan menerima kartu itu dengan sopan.
Belum lama, seorang petinggi partai besar menelpon saya. Dulu saya pernah membuat film iklan kampanye pilpres buat bossnya. Saat itu calon calon Presiden, mau dan sukarela disuruh diatur oleh seorang sutradara. Kali ini ia meminta saya datang untuk bincang bincang di kantornya.
“ Biasa boss, kita butuh dukungan suara suara pekerja film “
Lain waktu ketika menghadap salah seorang ketua fraksi di DPR sehubungan dengan masalah kebijakan Pemerintah di dunia film iklan. Sang ketua menggoda dengan pertanyaan menggelitik.
“ Nggak tertarik ke politik ? “
DALAMNEGERI
Tangan Intelejen
Posted on January 30, 2008Dahulu ada seorang sakti dan ahli pengobatan alternatif yang tinggal di sekitar Ungaran. Namanya Pak Budi Santoso. Profesor Budi, demikian orang orang sekitarnya menyebutnya. Saya tidak tahu apakah dia professor medis sungguhan. Yang jelas dia membuka praktek pengobatan di rumahnya. Pasien pasiennya banyak sekali, sampai dari luar kota termasuk Jakarta. Saya mengetahui karena sempat mengantar almarhum ayahanda berobat disini periode tahun 1990.
Yang unik, setiap malam satu suro, Profesor Budi membuat satu atraksi ‘nyeleneh’. Dia membuat pagelaran wayang kulit, dan pada jam dua belas malam ia mengambil keris lalu menusuk perutnya sehingga ususnya terburai keluar. Berdarah darah dan menyeramkan. Setelah ‘ mati ‘ ia dikuburkan di halaman rumahnya saat itu juga.
Setengah jam kemudian, kuburan digali lagi dan mak jenggring sang professor hidup kembali dan segar bugar lagi.
Saya bingung, demikian juga sebagian penonton yang baru pertama kali menonton atraksi itu. Ini sulap atau apa ? Cuma saya tidak berani mempertanyakan secara langsung.
Bukan karena saya takut ditusuk keris, tapi karena saya terkondisikan harus mempercayai apa yang saya lihat. Tentu sekarang kita tidak bisa melihat atraksi itu lagi, karena sudah bertahun tahun yang lalu Profesor ini meninggal. Mati beneran.
Bangsa Tempe
Posted on January 18, 2008Orang Jawa ( termasuk Sunda ) memang egois. Mentang mentang jumlah populasinya mayoritas di negeri ini. Betapa tidak ? begitu salah satu elemen makanan utamanya mendadak sontak hilang di pasar, seolah olah stabilitas nasional terganggu. Kebutuhan tempe tahu harus menjadi skala prioritas. Padahal orang orang Papua, Maluku mungkin tidak begitu peduli.
Kitorang punya sagu dan ikan laut. Begitu katanya.
Sejak dulu tempe dianggap remeh tapi dibutuhkan. Kesan murahan dan pinggiran. Lha Bung karno aja pernah bilang, “ Jangan jadi bangsa tempe ! “ . Maksudnya bangsa yang klemar klemer, pasrah dan tertindas.
Memang begitu padi atau nasi menjadi primadona. Selama berpuluh puluh tahun konsentrasi komoditi pangan nasional selalu mengacu pada stock beras. Juga lahan gambut di Kalimantan harus disulap menjadi sejuta sawah. Padahal belum tentu cocok.
KITORANG INGIN MERDEKA ?
Posted on November 8, 2007Ketika Bung Karno pertama kali berpidato di papua, setelah penyerahan dari Belanda ke UNTEA tahun 1962. Ia mencoba mengambil hati penduduk asli papua dengan membawa ajudannya, Kolonel Bambang Wijanarko yang beragama Katolik. Sambil menunjuk kepada sang ajudan yang berdiri tegak disisinya, Bung Karno mengatakan bahwa Indonesia tidak melulu beragama Islam, bahkan ada yang beragama Kristen dan menjadi perwira TNI.
Selanjutnya, sejarah Papua adalah potret buram kekerasan Pemerintah pusat terhadap penduduknya. Pemerintahan orde baru selanjutnya tidak berusaha mengambil hati penduduk asli papua. Sebagian besar penduduk mengganggap Pepera ( Penentuan Pendapat Rakyat ) tahun 1969 hanya merupakan manipulasi pihak Indonesia. Amerika Serikat tentu saja menutup mata – karena sudah mencium aroma milyaran dollar dari perut pegunungan Jayawijaya – begitu UU Penanaman Modal Asing dikeluarkan tahun 1967.