Apakah Bung Karno seorang marxis ?

Apakah Bung Karno seorang Marxis ? Dari karangan karangannya jelas dia sangat terpesona dengan ajaran Marxis. Jika kita melihatnya berdasarkan perspektif sejarah pada masa sebelum kemerdekaan, khususnya uraian Sukarno tentang ekploatasi negara negara jajahan oleh Pemerintahan kolonial, Bung Karno dapat dikatakan seorang marxis.

Era tahun 1920an, hampir semua tokoh pergerakan saat itu, termasuk Tjokroaminoto, sangat terpengaruh marxisme. Banyak ulama dan pemuka agama juga menjadi marxis, seperti Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib, Natar Zainuddin, dan lain-lain.
Fenomena ini juga dikatakan oleh Dawam Raharjo dalam sebuah diskusi tentang Marxisme, bahwa pertautan Islam dan Marxis tersebut sebagai “ pertemuan di jalan “. Islam dan Marxis bergandeng tangan untuk satu tujuan. Kemerdekaan. Jadi memang para ulama memakai marxis sebagai ideologi perjuangan, karena di Islam sendiri tidak ada ideologi yang dibutuhkan seperti bagaimana melepaskan penjajahan.

Bung Karno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun, saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto. Awalnya, ia mempelajari marxisme dari para penafsir marxisme seperti Semaun, Alimin, Muso atau Sneevliet. Setelah itu, ia mulai membaca karya-karya Marx dan Engels. “Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.

Dalam artikel berjudul ‘ Menjadi Pembantu “Pemandangan”. Sukarno, oleh…Sukarno sendiri’ di Surat Kabar Pemandangan tahun 1941, Bung Karno menganggap marxisme sebagai teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah, politik, dan sosial-kemasyarakatan. Dengan menjadikan marxisme sebagai alat analisanya, Bung Karno berusaha menganalisa situasi dan perkembangan masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah penemuan : Marhaenisme.

Bung Karno bukan seorang marxis yang seratus persen berkiblat pada ajaran Karl Marx dan Lenin, sebagai seorang pemikir, ia mengadopsi mana yang cocok dengan situasi di tanah airnya. Karena tidak semua ajaran Marx bisa diterapkan di Indonesia. Berbeda dengan Mao Ze Dong atau Ho Chi Minh yang menyesuaikan ajaran Marx dengan kondisi pertanian negaranya, Bung Karno sama sekali tidak tertarik pada tahap tersebut. Yang diinginkan adalah jiwa ajaran tersebut, tentang hubungan yang eksploatatif antara pemilik dan pekerja.
Tipe manusia Indonesia dilihatnya dalam diri Marhaen, seorang petani di Jawa Barat. Bung Karno tidak mau melangkah lebih jauh dengan mengacu pada penggolongan dalam masyarakat sesuai ajaran marxis tentang perjuangan kelas, karena ini justru bertentangan dengan ide persatuan yang digandrungi Bung Karno.

Berbeda dengan kaum buruh di luar yang bekerja pada industrialis, justru Marhaen tidak bekerja untuk orang lain, tapi bekerja untuk diri sendiri. Ia memiliki modal sedikit sebagai alat produksi. Tanah sepetak, atau alat pacul milik sendiri.

Bung Karno sadar, sebuah ajaran atau pemikiran tidak terlepas dari sociaal economische verhoudingen (relasi sosial ekonomi). Bung Karno mencontohkan, marxisme tidak akan pernah bisa dihilangkan kalau sociaal economische verhoudingen masih sangat buruk. Sebab, marxisme adalah senjatanya kaum tertindas untuk membebaskan diri dari segala bentuk penghisapan.

Marxisme juga mempengaruhi ajaran Bung Karno yang lain, terutama Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Bung Karno juga mengakui, berkat kontribusi marxisme, ajaran nasionalismenya tidak tergelincir ke chauvinisme dan fasisme. Bahkan, kalau mau jujur, Pancasila sendiri sangat kental dengan pengaruh marxisme. Bahkan versi Pancasila asli dari pidatonya Bung Karno, menyebutkan Internasionalisme. Kita paham istilah itu menjadi sokoguru marxisme.

Ketika terjadi perdebatan antara Sajuti Malik bersama Badan Pendukung Soekarno dengan PKI dan PNI, akibat tulisan Sajuti Malik berjudul ‘ Belajar memahami Soekarno-isme di harian Berita Indonesia. Tulisan ini disetujui juga oleh Bung Karno dan tidak disenangi oleh PKI.
Akibatnya PKI menyerang BPS melalui Harian Rakyat, kemudian memakai tangan PNI melalui sekjendnya Surachman yang berhaluan komunis.

Dalam rapat pekerja Kongres PNI di Lembang, diambil keputusan menyalahkan tulisan Sayuti Malik itu serta digulirkan perumusan bahwa Marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. Walau tidak pernah menolak di depan publik, Bung Karno juga tidak mau mengindentifikasikan dirinya dengan perumusan ini. Artinya Bung Karno juga menahan diri untuk tidak berlanjut pada kerangka operasional marxis, khususnya pembagian golongan dalam masyarakat. Kesan yang diperoleh dari Bung Karno, bahwa ia mengakui sebagai marxis, tapi dengan analisa marxis struktur masyarakat Indonesia yang dilihatnya dalam sosok Marhaen.

Analisa marxis banyak dipakai tidak saja oleh penganut marxis yang terang terangan seperti Sukarno, Tan Malaka atau Sutan Syahrir, bahkan Hatta sendiri mengakui dalam pidatonya di Universitas Hasanudin, bahwa ia juga memakai analisa marx dalam masalah perekonomian.

Kadar marxismenya Bung Karno cukup diuji dengan 3 unsur mutlak yang dinamakan sistem marxisisme, yakni pertama. Menerima paham sosialisme tentang masyarakat dan ekonomi yang secara mutlak meletakan pemilikan di tangan negara, dimana tidak ada pertentangan kelas. Kedua. Menerima diktaktor proletariat dengan kepemimpinan partai komunis sebagai intinya. Kekuasaan negara adalah kekuasaan diktaktor. Ketiga, menerima falsafah historis materialisme sebagai satu satunya dasar penelaahan politik, sosial ekonomi dan kebudayaan.

Ternyata kalau kita melihat Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno baik ide dan penjabaran dalam Manipol/ Usdek, Rencana Pembangunan Semesta dan Dekon ) maka terlihat deviasi yang jauh dari ciri ciri marxisme.

Cap yang paling tepat, mungkin sebagai Marxis revisionis. Ini terlihat dari uraian Sukarno tentang masyarakat sosialis Indonesia sebagai masyarakat Pancasila. Juga tulisan Sukarno tentang siapa proletar Indonesia ( Marhaen ), dan pendapat Sukarno tentang falsafah historis materialisme dan liberalisme. Ini yang membuat PKI tidak nyaman walau secara formal mereka mendukung, namun di tingkat daerah mereka menghasut dan mensabotase pemikiran marxis ala Bung Karno

Ketika kelompok Soeharto berusaha menyeret Bung Karno ke dalam peristiwa G30s, dengan propaganda poster dan famplet, yang didalamnya menyebut Bung Karno seorang marxis, disebar dan ditempel dimana-mana.

Bung Karno justru tidak gentar. Tanggal 28 Februari 1966, di hadapan peserta Sapta Warsa Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Bung Karno terang-terangan mengakui dirinya seorang marxis. “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku marxis,” kata Bung Karno. Bahkan, menurut pengakuannya, sejak tahun 1928, Ia sudah menjadi marxis, sekaligus nasionalis dan Islam. “Marxisme adalah isi dada saya,” ujar Bung Karno.

Bagi Bung Karno, sebuah ideologi atau ajaran tidak boleh dilarang. Yang harus dilarang, katanya, adalah kegiatan marxisme yang merugikan negara. Bung Karno menyindir ilmuwan yang mengabaikan Marxisme. Dalam pidatonya di Istana Bogor, 12 Februari 1966, Bung Karno menyindir professor ekonomi yang hanya mengajarkan liberalisme ekonomi kepada mahasiswa tetapi mengabaikan teori marxisme.

Namun Bung Karno selalu menegaskan dia bukanlah komunis. Dia seorang muslim, meskipun menjadi marxis. Bung Karno membangun Istiqlal sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara, juga merestorasi masjid masjid yang terbengkalai di Uni Sovyet ( St Peterburg atau Usbekistan ). Bung Karno selalu menyelenggarakan perayaan maulid Nabi di Istana. Ia melakukan sholat lima waktu dan mewasiatkan agar kelak jika meninggal, kerandanya diselimuti bendera Muhammadiyah. Bagaimana seorang komunis bisa melakukan hal ini.

Bung Karno menyukai sikap egaliter yang bertumpu pada kata ‘ komune ‘ berarti masyarakat kecil, yang dulu melahirkan apa yang dinamakan oer communism, masyarakat kekeluargaan di zaman purba sebelum ada perbudakan sampai feodalisme dan kapitalisme.
Marxisme dengan berbagai variannya – komunis, sosial demokrat maupun nasionalis kiri – sangat berkontribusi dalam perjuangan nasional Indonesia.
Para pendiri bangsa juga banyak dipengaruhi oleh marxisme, Mereka memakai sebagai alat perjuangan, karena konteks saat itu dalam melepaskan penjajahan kolonial. Karena itu, sesuatu yang tak bisa disangkal bahwa berdirinya republik ini tidak lepas dari kontribusi marxisme.