Perkenalan dengan klub klub bola di Inggris mungkin terbentuk secara tidak sengaja karena saya sempat tinggal di London. Terus terang, butuh nyali berani datang ke stadion untuk menonton bola di Inggris sampai awal 90an, karena praktek sepakbola Inggris identik dengan kekerasan.
Praktek praktek Hooliganisme banyak dilakukan para fans pendukung klub. Bukan saja klub besar tapi juga klub klub kecil. Bagi saya dengan postur tubuh ras Asia yang tidak sebesar ras kaukasus tentu malas berdesak desakan dengan resiko kena hajar pendukung lawannya yang umumnya ‘ teler ‘. Jaman itu lazim, menonton bola sambil bermabuk mabukan. Sebelum pertandingan dimulai, bar bar dekat stadion sudah dipenuhi fans yang bernyanyi nyanyi mengejek rivalnya. Saat efek alkohol sudah sampai ubun ubun, mereka bergegas masuk ke stadion.
Sebelum tahun 1990an sebagian besar stadion sepak bola di Inggris tidak memiliki tempat duduk. Hanya teras beton yang luas dimana orang berjejal jejal berdiri menonton bola. Para petugas karcis terus membiarkan gelombang manusia sampai benar benar saling berhimpit. Tidak heran, bibit hooliganisme terbentuk dari situasi seperti ini. Para fans mudah terprovokasi ketika berdesak desakan, apalagi mekanisme pengaturan wilayah pendukung team tuan rumah dan tamu belum ada.
Totenham dan Arsenal selalu berebut hegemoni kampiun London utara. Kelompok Hooligans “ Yid Army “ dari Tottenham bersaing dengan “ The Herd “ dari Arsenal. Rivalitas ini membentuk fanatisme yang absurd. Fans Arsenal dikenal dengan dua kelompok. The Gooners yang cenderung non violent dan The Herd yang garis keras. Kadang disebut The Herd EIE. Mereka menyebut EIE berasal dari singkatan “ Every Idiot Enjoys “.
Kisah turun temurun, juga menceritakan arti lain dari EIE. Konon ketika supporters klub lawan menyerbu ke arah mereka. Para fans Arsenal sedang mengunyah roti atau pie. Mereka mencoba mengatakan ‘ mereka ( lawan ) ada disini “. Tapi karena mulut penuh, yang terdengar suara seperti EIE.
Dua bentrokan paling terkenal Herd ini adalah dengan fans Millwall di salah satu tribun Highbury tahun 1988. Lalu dengan fans Galatasaray di City Hall Square, Copenhagen pada tahun 2000.
Salah satu punggawa Herd adalah Denton Connell (alias Denton ‘The Bear’) yang dianggap pahlawan oleh sebagian besar fans Arsenal. Ketika ia meninggal karena kecelakaan mobil tahun 2007. Sebanyak 3000 orang hadir dalam pemakamannya.
Secara ganjil para supporter Tottenham menjuluki diri mereka sendiri dengan sebutan khas Yahudi. ‘ Yid ‘ atau ‘ Yiddo ‘. Ini berawal ketika masa masa sebelum perang dunia II, dimana kaum fasis London sering berpawai melewati kampung kampung Yahudi dan berteriak, “ Mampus kau orang Yid “. Sepanjang sejarah, banyak kelompok anti Yahudi memakai makian kasar ini . Tapi justru oleh supporter Tottenham, sebutan ini dipakai dengan penuh kebanggaan.
Ketika kiper Tottenham bisa menyelamatkan gawangnya dari tembakan penyerang lawan. Fans klub yang memenuhi stadio akan berteriak “ Yiddo, Yiddo “. Saat pemain kesayangannya – yang bukan Yahudi – ditarik keluar oleh pelatih, maka fans akan menyanyikan lagu “ siapa siapa yang menarik Yahudi ini keluar ? “
Ketika Jurgen Klinsmann memperkuat klub itu awal 90an, para supoorter menghormati dengan bernyanyi :
Chim-chiminee, chim- chiminee
Chim-chim churoo
Jurgen dulunya Jerman
Tapi sekarang ia Yahudi
Stigma Yahudi membuat Totenham sering dibully. Banyak kelompok imigran dari Asia di London yang akhirnya memilih Arsenal atau Chelsea, karena keengganan dianggap bagian dari balatentara Yahudi. Bahkan klub luar kota seperti Liverpool sering menghujat dengan lagu yang berbunyi :
Malam ini kami berlarian di sekitar Tottenham dengan biji pelir yang bergelantungan,
Sambil menyanyikan aku punya kulup, aku punya kulup, aku punya kulup dan kamu tidak.
Malam ini kami berlarian di sekitar Tottenham dengan biji pelir yang bergelantungan,
Aku punya kulup dan kamu tidak.
Orang bilang, Arsenal adalah klub yang paling membenci Tottenham. Padahal justru Chelsea klub yang paling benci dengan Tottenham. Walau Chelsea memiliki jumlah supporter Yahudi yang hampir sama banyaknya dengan Tottenham. Chelsealah yang menggubah lagu dengan sarat kebencian dan berbau fasis. Salah satunya berbunyi :
Kami tak dapat menghentikannya , yahudi yahudi dari Tottenham.
Panggang panggang Yahudi Yahudi, masukan mereka ke dalam kuali dan masak sampai matang
Highbury juga tak lepas dari renovasi. Tribun tribun di stadion dirubah menjadi ruangan ruangan mewah yang disewakan kepada perusahaan perusahaan. Mereka genjot harga saham klub, harga tiket dinaikan dan menjual hak siar ke Televisi. Saat semua renovasi selesai pada akhir 1993, kapasitas Highbury telah berkurang menjadi hanya 39.000 seat. Akhirnya jenis supporter baru yang lebih kaya berdatangan ke stadion. Untuk pertama kalinya wanita ikut hadir menonton bola. Sangat lazim sekarang seorang banker investasi menonton bola bersama pacarnya yang cantik.
Perubahan ini meminta korban, yakni pelanggan lama dari supporter kelas buruh yang fanatik. Mereka memang penuh gemuruh dan brutal. Seorang bekas tokoh Hooligan mengatakan tentang transformasi penonton ini. Dikatakan, dari sepuluh ribu penonton yang datang ke stadion, 6 ribu diantaranya siap untuk tawuran, dan sisa menonton tawuran.
Ketika Arsene Wenger masuk menjadi manager pelatih Arsenal tahun 1996. Ia mengubah pola permainan, sebagaimana tim tim sepakbola Inggris lainnya, yang didominasi ‘ Kick and Rush ‘ yang membosankan. Pemain buru buru menendang bola sekuat kuatnya ke kotak penalti lawan. Lalu membiarkan si penyerang berlari memperebutkan bola dan meneruskan ke gawang lawan.
Kini Wenger meminta Nigel Winterburn untuk tidak terburu buru menendang bola ke depan sejauh 90 meter. Ia bisa mengoper ke David Platt, yang akan mengontrol bola, memperlambat tempo, sambil menunggu jarak yang ideal dengan Ian Wright. Kini jarak antara pemain dibuat selalu dekat. Bergkamp tidak perlu berlari menyisir lapangan mencari bola, karena kini pemain lain yang mendekatinya sambil mengoper bola. Ini bukan lagi sepak bola. Ini sebuah komposisi orchestra yang indah.
April 2004. Arsenal akan menghadapi tuan rumah Tottenham Hotspur dalam derby London utara. Arsenal hanya membutuhkan kemenangan untuk menjadi juara Liga Premier periode 2003 – 2004. Kecuali pada saat yang bersamaan Chelsea bisa dikalahkan Newcastle, maka hasil seri cukup mengantar Arsenal menjadi juara.
White Hart Lane menjadi gemuruh dengan teriakan kebencian pendukung tuan rumah terhadap Sol Campbell. Tahun 2001, sosok pahlawan yang dipuja Tottenham bergabung dengan Arsenal. Seketika ia menjadi Yudas sang pengkhianat.
Suara pengeras suara di Stadion dengan lantang mengejek Sol Campbell yang disambut fans tuan rumah berteriak teriak menuduh Campbell seorang homo.
Seluruh stadion menjadi bungkam, karena baru menit ke 5, Henry dengan cepat merebut bola dari luar kotak penalti Arsenal, lalu menggiringnya dengan cepat menyisir sayap kiri, melewati 2 pemain lawan. Ia menunggu Bergkamp.
Aturan pertama dari Wenger, adalah selalu memberikan bola ke Bergkamp pada kesempatan pertama. Demikian pula Henry, melihat Bergkamp muncul dalam persembunyian di luar kotak penalti Tottenham.
Dengan sentuhan secepatnya, Bergkamp menyebrangkan bola ke arah Viera yang berlari sejauh 80 meter, untuk menyambut bola umpan.
Viera memanjangkan kakinya, hanya untuk memantulkan arah bola yang keras ke pojok gawang Kasey Keller . Fans Arsenal kembali bergemuruh, ketika Pires menggandakan menjadi 2- 0, sebelum babak pertama usai.
White Hart Lane menjadi panas mendidih, ketika Gooner di salah satu tribun, memasang poster bertuliskan
“ Why did Sol leave The Lane ? Arsenal Champion. 43 years and your still waiting “
Babak kedua. Defoe dan Keane makin agresif. Mereka bisa mengecilkan menjadi 1- 2. Dalam 3 menit perpanjangan waktu. Terjadi tragedi memalukan, saat Jens Lehman menggangu Keane di kotak penalti, Akibatnya Arsenal diganjar penalti.
Kini giliran fans Tottenham, berteriak teriak, “ Mampus kau antek Hitler ! “. Tiba tiba pendukung Yahudi mendapat amunisi kebencian terhadap ras arya.
Arsenal akhirnya hanya bisa memaksa seri sampai pertandingan usai. Jens Lehman yang merasa bersalah – karena kebodohannya – memutuskan tidak bergabung dalam selebrasi bersama rekan rekannya di lapangan. Ia berdiam diri di ruang ganti. Setelah itu ia baru keluar pada waktu penyerahan piala.
Lepas dari itu, membiarkan Arsenal merayakan kemenangan juara Liga Inggris di White Hart Lane, sungguh menyakitkan bagi fans Tottenham. Polisi semakin berjaga jaga, karena bau perkelahian semakin menyengat.
Akhirnya Arsenal memutuskan pindah ke arah barat. Bagi masyarakat London, stadion Highbury sangat dikenang. Dengan rancangan sederhana dan ukurannya tak terlalu besar, stadion ini dianggap sakral. Stadion ini selamat dari hantaman bom bom pesawat Jerman, dan tahun 1966 pernah dipakai sebagai tempat pertandingan tinju antara Muhammad Ali dengan Henry Cooper.
Highbury memiliki luas lapangan bola yang cenderung kecil, hanya ( 101 x 67 meter ). Namun memiliki jarak yang amat dekat antara lapangan dan penonton. Sehingga atmosphere stadion terasa menyerap energi lawan yang berhadapan dengan Arsenal. Disisi lain bagi pemain Arsenal, seakan memiliki energi tambahan. Kedekatan emosional ini yang membuat para pemain Arsenal sulit melupakan Highbury.
Perkembangan sepakbola yang semakin membutuhkan dana besar membuat Highbury menjadi tidak ‘ekonomis’ lagi untuk klub sebesar Arsenal.
Stadion baru yang dibangun senilai 430 juta pound tadinya terletak di jalan Ashburton Grove yang terletak di kawasan Highbury, London Utara. Stadion yang baru dihuni untuk musim kompetisi 2006/2007 ini, tak jauh dari lokasi bekas stadion lamanya yang kini dirubuhkan untuk menjadi kawasan bisnis. Benar benar tak jauh, hanya 500 meter. Setelah deal sponsor 100 juta pound, stadion berkapasitas 60,000 orang ini dinamakan Emirates Stadium.
Partai terakhir Highbury dijalani saat Arsenal mengalahkan Wigan 4-2. Beberapa masih mengingat adegan Thierry Henry mencium tanah lapangan Highbury setelah mencetak gol. Beberapa jam kemudian Highbury sudah diruntuhkan.
Ada dua akses utama mencapai stadion ini, yakni melalui stasiun subway Arsenal dan satu lagi stasiun Holloway Road. Jika kita keluar dari stasiun kereta bawah tanah Arsenal, maka kita akan tepat berada di mulut perumahan Highbury, yang dulu bekas stadion Highbury.
Stasiun Arsenal itu dulunya bernama Gillespie Road. Namun pada tahun 1932 perusahaan kereta api kota London, tunduk dengan tekanan pengurus Arsenal untuk mengubah namanya menjadi stasiun Arsenal. Kini, hanya ada mural bertuliskan Gilespie Road di dalam peron stasiun, hanya sebagai catatan sejarah.
Dengan berjalan sekitar 200 meter melalui pemukiman itu, kita akan mencapai sisi selatan Emirates Stadium. Sementara jika kita keluar melalui stasiun Holloway Road. Kita akan berjalan – menyebrangi jalan raya – tak jauh juga untuk mencapai sisi utara stadion ini.
Stadion kebanggaan the gunners – sebutan fans pendukung Arsenal –lebih terlihat seperti Mall daripada stadion olahraga. Ini tidak salah. Bayangan stadion sepakbola yang pesing dan kotor – seperti yang biasa ditemui di Indonesia – tiba tiba saja lenyap melihat desain dan penampakan modern stadion Emirates ini.
Dibawah stadion, tepat berhadapan dengan pintu utama, ada ruangan satu lantai yang luas untuk jualan merchandise dan segala macam pernak pernik Arsenal. Mulai dari kaos jersey, sweater, celana dalam, sampai coklat atau botol susu bayi bermerk Arsenal.
Ketika saya kembali ke London, selalu menyempatkan menonton Arsenal. Biasanya sejam sebelum pertandingan saya sudah berada bersama ribuan pendukung Arsenal lainnya di muka stadion. Untuk mencapai ke sini, saya menggunakan kereta subway London Bridge dan harus berganti kereta dua kali. Suasana di kereta api sudah riuh dipenuhi pendukung the Gunners, terutama ketika dari stasiun Holborn.
Rupa rupanya kereta tidak berhenti di Holloway Road dan baru berhenti di stasiun Arsenal. Ternyata ini untuk menghindari bentrokan dengan supporter lain yang datang melalui stasiun Holloway Road. Sebuah kerja sama yang padu dengan dinas tata kota setempat. Kelak ketika pulang, ada beberapa stasiun yang tidak bisa dilewati karena digunakan sebagai tempat persinggahan team supporter tamu.
Sistem jalan menuju pintu masuk stadion dari jalan raya dibuat berkelok kelok, sehingga tidak langsung masuk ke stadion. Ini juga menjadi ‘ barrier ‘ agar arus penonton – keluar masuk – tidak langsung tumpah ruah. Selain itu pembukaan pintu stadion Emirates meliputi hampir semua titik lingkar stadion.
Dari pintu A, B, C, D dan seterusnya sesuai abjad. Jadi hampir tidak ada desakan desakan ‘ bottle neck ‘ arus penonton.
Karcis ticket masuk sudah ditambahi sensor magnet , yang harus kita gesekan agar sensor pintu bekerja dan membuka secara otomatis.
Menonton di Emirates Stadium merupakan pengalaman menakjubkan. Salah satu highlight perjalanan jika di London. Satu hal, tidak ada penonton yang membawa motor, mobil atau rombongan bus metromini. Semua puluhan ribu orang menggunakan angkutan kereta bawah tanah. Sangat efisien dan tidak mengganggu arus lalu lintas yang sudah padat di sore hari.
Kapan di Jakarta punya seperti ini ?
2 Comments
Prayudha Gatra
September 24, 2017 at 11:06 pmArtikel yang sangat menarik. Saya adalah seorang fan Arsenal. Tapi baru kali ini (setelah membaca artikel anda), saya tahu kalau ada firma Arsenal selain “The Gooners” bernama “The Herd EIE”. Hal ini mungkin disebabkan media tv ataupun cetak di Indonesia yang selama ini menjadi sumber referensi juga tidak semuanya memiliki kapasitas dalam mengulas berita sepak bola. Sama halnya kekeliruan fan Liverpool di Indonesia yang selalu menyebut diri mereka sebagai Liverpudlian. Sementara sebutan yang tepat untuk fan Liverpool adalah “The Kop” atau “Kopites”. Sedangkan Liverpudlian sendiri berarti warga kota Liverpool. Kesalahan literatur ini memang harus diperbaiki dari artikel bermanfaat seperti yang anda tulis. Terima kasih telah menulis sesuatu yang bermanfaat. VICTORIA CONCORDIA CRESCIT
ibas
October 10, 2023 at 8:33 amgood article, thank you