Harian Kompas, tanggal 8 Desember 1978 menulis reportasenya.
Rendra, 43 tahun kembali berpentas setelah sekian lama menghilang dari masyarakat. Dan sekitar 2500 penggemarnya memadati dan mendengarkan Rendra membacakan puluhan puisinya, sejak jam 19.30 sampai mendekati 22.00. Di pentas, terlihat Rendra seorang diri, bercelana hitam dan baju biru. Ia Nampak anggun dengan dua kancing baju dilepas. Satu tangannya menggenggam kertas kertas puisi, tangan lainnya berkacak pinggang, matanya tajam menatap penonton.
Mas Willy, Wilibrodus Surendra – kelak setelah masuk Islam, menjadi Wahyu Sulaiman Surendra – seperti Vaclav Havel. Presiden Ceko yang pertama itu, seorang penyair yang dulu sering menyuarakan kritik terhadap sistem komunis yang totaliter.
Dengar sajak Rendra yang berjudul ‘ Kesaksian ‘
aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka
ada orang memanah rembulan
ada anak burung jatuh dari sangkarnya.
orang-orang harus dibangunkan
kesaksian harus diberikan
agar kehidupan dapat terjaga ..
Rendra adalah momok orde baru. Ia dianggap penyebar kebencian sehingga harus mendekam penjara. Tak sampai setahun ia dibebaskan, dan sambil wajahnya berseri seri ia melambaikan surat pembebasannya di depan teman temannya di Taman Ismail Marzuki. Bebas tanpa syarat, teriaknya.
Ia terkesan tak peduli, bahkan ingin mencari sponsor untuk pementasan sajak yang dibuatnya di penjara. Gugurnya Kumbakarna, jawabnya lantang ketika ditanya apa judul sajaknya.
Harian Kompas meneruskan.
Para penonton ini membayar karcis Rp 500,- atau Rp 300,- . Sebagian terpaksa membayar lebih karena membeli dari tukang catut. Sambutan paling hangat justru dari Danrem 072/Pamungkas. Kolonel CZI Sarwono. Perwira menengah ini menyalami Rendra. – “ Very good ! Saudara membaca puisi sangat bagus. Tetapi yang penting bagi saya, bagaimana jalan keluarnya ? “ katanya.
Suaranya yang memberontak adalah cermin dari pribadinya yang bebas.
Jauh beberapa tahun sebelumnya pada tahun 1969. Di Hari Sumpah Pemuda ia berbicara di depan halaman rumahnya, di hadapan murid muridnya, kawan kawannya, dan anak anak tetangga yang membawa bendera merah putih dari kertas krep. Bahwa di Indonesia, individu bagaikan sekrup dan mur yang ditentukan peranannya oleh semacam mesin lain, yakni alam.
Individu tidak bisa merdeka karena seluruh hidupnya ditentukan oleh sesuatu yang dinamakan tradisi. Panggilan jaman untuk melawannya.
Sejak itu polisi dan intel mulai sibuk mengawasi pementasan Bengkel Teater. Sebuah komunitas yang kelak menjadi kerajaannya. Disana pula ia tak peduli apa kata orang ketika tinggal serumah bersama dua orang istrinya, Sunarti dan Sitoresmi.
Kelak suatu hari saya bertemu dengannya, dalam sebuah rangkaian kolaborasi dokumenter Kantata Takwa tahun 1990. Di Depok dan rumah Setiawan Jodi di bilangan Kemanggisan. Matanya jernih dan dalam. Ia berbicara tentang sutradara film yang dikagumi. Akira Kurosawa dan Trufaut. Ia ingin menjadi rajawali seperti para samurai yang membela rakyat.
Ia memang seperti burung Merak yang elegan dan mempesona. Sajak ‘ Surat Cinta ‘ adalah sajak yang pertama mengilhami saya tentang apa artinya cinta. Saya masih SMP waktu itu dengan jalan pikiran yang terlalu sempit untuk memahami gairah dan deru nafasnya.
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !
Sangat tidak mudah bagi Rendra untuk menjawab semua panggilan hidupnya menjadi seorang seniman dengan segala karunia yang diterimanya. Memiliki kepekaan perasaan, kelembutan tatapan, halusnya jiwa, gairah hidup, kepalan pemberontakan dan nalurinya untuk bercinta.
Ini penting. Ia seperti Soekarno yang selalu mempesona wanita, dan mengganggap wanita sumber segala inspirasinya.
Dulu pernah ditanya oleh pengarang Mayon Soetrisno tentang siapa wanita yang dikagumi. Rendra menjawab, “ Duilah ! Ada segudang, kok lu mau tau aja …”
Pertemuan berikutnya tahun 2003 dalam sebuah premiere film dokumenter ‘ Gerakan Mahasiswa 1998 ‘ di Pusat Perfilman Usmar Ismail. Ia semakin tua namun suaranya masih lugas. Ia membacakan puisi sebelum pemutaran film. Dibelakang panggung, ia berbicara sebentar tentang ketakutannya bahwa militer masih akan berkuasa, walau rezim telah berganti.
Barang kali Rendra tak pernah bisa merasa berhenti dalam berjuang. Namun mungkin ia juga bingung tentang apa yang harus disuarakan sekarang. Tapi ia tetap memegang janji itu ketika orang tak peduli. Saya ingat waktu ia membacakan puisinya di dalam gedung bioskop itu. Banyak orang cekikikan dan hilir mudik sambil makan penganan.
KIni sang Burung Merak telah pergi menuju panggung keabadian. Mas Willy telah menunaikan janjinya.
Selamat jalan orang besar.
foto by vivanews
m4xzk2hrud
33 Comments
bintang
August 7, 2009 at 10:58 amRest in Peace
Indonesia, kehilangan orang besar lagi…
Iman Brotoseno
August 7, 2009 at 11:05 amdan saya selalu teringat malam malam di bengkel Teater, sehabis syuting…menghisap ganja yang ditawarkan seniman seniman besar itu
-may-
August 7, 2009 at 12:19 pm“Tapi ia tetap memegang janji itu ketika orang tak peduli. Saya ingat waktu ia membacakan puisinya di dalam gedung bioskop itu. Banyak orang cekikikan dan hilir mudik sambil makan penganan.”
Buat banyak orang yang diajar untuk “meminggirkan” sastra, mungkin pembacaan puisi ini cuma suatu background noise yang masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Sayang sekali, padahal puisi2 Rendra selalu penuh dengan suatu kedalaman, yang tak henti “mematuki” keburukan2 sekitar.
Kematiannya adalah kehilangan besar, walau mungkin banyak yang tidak menyadari.
DV
August 7, 2009 at 1:34 pmIni adalah big lost setelah Pramoedya Ananta Toer barangkali…
Tunduk haru namun penuh syukur untuk kesempatan mengenal sosok Rendra…
hedi
August 7, 2009 at 3:09 pmaku suka puisinya yang dikutip Kompas hari ini, mas….hebat memang Rendra itu
rotyyu
August 7, 2009 at 3:50 pmIndonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaik bangsa…
Selamat jalan W.S Rendra
Rest In Peace…
anduknya budi
August 7, 2009 at 4:35 pmsekarang saatnya muncul seniman besar lagi pengganti rendra, ya mas iman layak menggantikannya..
masoglek
August 7, 2009 at 5:19 pmKita kehilangan 1 tokoh besar lagi. Selamat jalan “sang pemberontak”, selamat jalan Rendra
kekeskuya
August 7, 2009 at 8:05 pmJadi inget waktu aku sma, beliau datang ke sekolahku bertiga dengan sutardji calzoum B, dan Ken Zuraida. Lalu saat sutardji mau membacakan sajak di depan dia request bir ke kepala sekolah, rendra dan ken senyam-senyum mendengar request sutardji.
Kepala sekolah-ku cuma berani bilang “maaf pak, ini lingkungan sekolah jadi tidak boleh ada minuman keras” 😀
Dana
August 7, 2009 at 8:18 pmYah, beliau memang salah satu orang hebat yang pernah lahir di Indonesia ini.
Imuz Corner
August 7, 2009 at 9:02 pmBeliau adalah pioneer teater modern di Indonesia
kanglurik
August 7, 2009 at 9:29 pmSelamat jalan burung merak… Engkau akan terbang tinggi di angkasa,,,,
karya mu akan abadi…
zam
August 8, 2009 at 4:59 amorang baik, dipanggil duluan.. yang jahat, belakangan..
selamat jalan bung Rendra!
Lance
August 8, 2009 at 9:42 amSajak buat orang Rangkas Bitung..
menggetarkan…dan semua sajaknya,
Sajak orang Kepanasan..
…” karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu “
iman brotoseno
August 8, 2009 at 9:44 amce,
…karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
karena kami bersandal
dan kami bebas memakai senapan
karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
Agus
August 8, 2009 at 10:04 ammatanya tajam sekali kalau menatap penonton di panggung..
the stage is his soul
elmoudy
August 8, 2009 at 9:19 pmsi burung merak terbang tinggi
meninggalkan belantar hutan
yang masih remang-remang
Sarah
August 9, 2009 at 12:54 pmmemang bagus puisi rendra yang cinta cintanya…serasa….woowww
kombor
August 9, 2009 at 4:08 pmSelamat jalan, Si Burung Merak. Aku koleksi semua buku puisimu yang sudah pernah terbit.
Ismawan
August 9, 2009 at 5:05 pmSaya nggak terlalu ngerti sastra, tapi saya termasuk pengagum Rendra karena kekonsistenannya dalam berkarya dan bersikap…
Selamat jalan WS Rendra…
Amim
August 9, 2009 at 6:43 pmBurung merak telah tiada…Indonesai pasti akan mengenang karya-karya fenomenalnya..
anderson
August 10, 2009 at 10:14 amSaya ikut berduka atas berpulangnya toko besar dunia sastra Indonesia. Jasadnya boleh tiada, tapi karyanya akan selalu abadi…
Epat
August 10, 2009 at 12:32 pmselamat jalan bung rendra… terimakasih untuk warnamu
-GoenRock-
August 10, 2009 at 1:04 pmSelamat jalan si Burung Merak! Karya2mu akan terus kami ingat dan kami apresiasi setinggi-tingginya
Omiyan
August 10, 2009 at 2:37 pmBerjuang dan kemudian dikenang bisa berbagai cara yang penting caranya itu benar dan jelas tanpa harus merugikan yang lain, seorang WS Rendra telah membuktikannya..
Semoga Almarhum diterima segala Amal Ibadahnya..Amin
javanese
August 10, 2009 at 6:03 pmberkunjung…..
4 jempol untuk bung willy,
selamat jalan
arham blogpreneur
August 10, 2009 at 8:16 pmselamat jalan pak merak 🙂
belum bisa berkomentar, masih takjub dengan puisi dan lantunan posting pak Iman Brotoseno
Silly
August 10, 2009 at 8:59 pmaku suka puisi yang ini mas… puisi kehidupan… gile keren banget 🙂
Silly
August 10, 2009 at 8:59 pmtuhhhhh, khannnnnnnnnnnn dimoderasi lagiii… ah, sebel… *tendang2 kursi lagi* 🙁
iman brotoseno
August 10, 2009 at 9:33 pmMaaf silly,
ini mbah askimet memang gatel untuk ngedorasi begitu ada tautan link dalam komen..he he
wieda
August 12, 2009 at 2:34 amhehehe di mana2 askimet sukanya gitu yah..mbikin orang misuh2..
yup Renda punya karisma yg aduhai…….selamat terbang tinggi burung merak…
we’ll miss u
edratna
August 16, 2009 at 6:07 amSaya mengenal sepak terjang burung merak ini sejak saya mahasiswa, dan kontroversi saat menikah kedua kalinya, yang kemudian kedua isterinya serumah. Pertemuan sebenarnya setelah saya menikah, karena kebetulan suami berkecimpung di dunia seni dan saya diajak saat si burung merak sedang manggung di TIM.
Kita bersyukur pernah memiliki seorang penyair seperti mas Willy….semoga jalan nya dilapangkan oleh Allah swt. Amien
Dinah Kozicki
September 21, 2010 at 11:18 amYou made some good points there. I did a search on the topic and found most people will agree with your blog. This is Your Brain on Drugs” and showed a frying pan with an egg in it.