Syahdan pada awal tahun 1930an, seorang wanita asal Amerika menemukan sebuah poster mengenai film dokumenter mengenai Bali di Holywood Boulevard. Setelah ia melihat film itu, sekonyong konyong ia merasa telah menemukan dunia yang selama ini dicari cari, sebuah dunia baru yang menggetarkan jiwanya. Ia menjual seluruh hartanya dan rela menempuh perjalanan ribuan mil dengan kapal, menuju Batavia. Ia meneruskan dengan mengendarai mobil seorang diri menyusuri jalan di pulau Jawa yang gelap dan rawan dengan ‘begal’ atau perampokan. Beruntung ia bertemu dengan Pito, seorang anak kecil yang menjadi penunjuk jalannya menuju pulau dewata, Bali. Agaknya jalan kehidupannya sudah ditentukan oleh dewa dewa Bali ketika bahan bakar mobilnya habis, dan berhenti di sebuah pura kerajaan di sana. Ktut Tantri, demikian gadis itu mengubah namanya setelah ia diangkat menjadi salah puteri raja tersebut. Selanjutnya , sejarah mencatat Ktut Tantri banyak terlibat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam revolusi kemerdekaan. Di udara ia dikenal sebagai ‘ Surabaya Sue ‘ yang menyiarkan diplomasi perjuangan Indonesia ke seluruh dunia melalui radio milik Bung Tomo. Bahkan ia juga menembus blokade laut Belanda menuju Singapura untuk membawa barang barang selundupan untuk dijual di sana guna membiayai revolusi kemerdekaan sebuah negara yang begitu dicintai.
Dari cerita diatas, kita melihat betapa aspek kemanusian telah menembus lintas agama, budaya dan bangsa tanpa harus adanya prasangka. Seperti dokter dokter Kuba yang mengabdikan di Jogja dengan mendirikan rumah sakit darurat dengan biaya seluruhnya dari Pemerintah Cuba. Mereka datang ribuan mil menuju negara yang tak pernah dikunjungi sebelumnya, memberikan pelayanan kesehatan gratis. Menyedihkan, mereka hanya diberi ijin oleh Pemerintah kita selama 3 bulan dari rencana 6 bulan, karena ‘ konon ‘ banyak desakan dari rumah sakit dan dokter dokter Indonesia yang tiba tiba billing pemasukannya menurun drastis karena banyak masyarakat Jogja dan Jawa Tengah lebih suka datang ke rumah sakit darurat milik dokter Cuba. Seperti cerita seorang penduduk di perbatasan Klaten – Jogja, yang tak bisa membayangkan bagaimana bisa mengumpulkan uang 7 juta buat operasi hernianya. Namun dokter dokter ‘ sosialis ‘ ini mengoperasi penyakinya tanpa memungut biaya sepeserpun. Film dalam hal ini bisa menjadi aspek penyampaian sebuah gagasan mengenai humanisme, mulai persahabatan, keadilan bahkan sampai kesetaraan gender misalnya. Namun apakah ini bisa diterjemahkan bahwa film seperti ini bisa laku, kalau masyarakat kita katanya lebih suka pada film film remaja cinta anak sekolah dan horror ? Budaya televisi dan film secara tidak langsung mencekoki pola pikir masyarakat sehingga budaya kekerasan, individualistis, dan mimpi mimpi kota besar telah menghilangkan sisi humanisme manusia Indonesia.
Tapi siapakah yang harus disalahkan ? pasar , produsen atau Pemerintah. Seperti diketahui peran pemerintah saat ini terhadap pengembangan film nasional adalah hampir tidak ada. Tak jelas kemana larinya dana pajak tontonan, pajak impor ( yang mestinya dikembalikan sebagai subsidi perkembangan film nasional ). Belum lagi setiap komponen dalam produksi film masih tetap dipajaki. Sewa alat dipajaki,bahan baku dipajaki, prosesing laboratorium dipajaki, dan komponen komponen lainnya, padahal film itu belum jadi. Padahal idealnya film dikenakan pajak setelah menjadi barang jadi. Dengan besarnya komponen biaya yang dikeluarkan, pasti produser lebih baik membuat film yang pasti laku saja. Jadi mungkin tak salah kalau mereka enggan berspekulasi terhadap hasil produknya terutama membuat film film humanisme, kalau ujung ujungnya hanya melihat untung rugi sebuah tontonan. Semuanya tambah menjadi tak menarik melihat kekisruhan orang orang film saat ini ketika sisi humanisme mereka hilang oleh polemik, tidak mau mengalah, penjiplakan karya cipta dan kebencian. Generasi tua, Masyarakat Perfilman Indonesia ( yang rame rame mengembalikan piala citra ), Pemerintah ( Juri, BP2N , LSF ), kelompok film India kini berada dalam titik nadir perjalanan film nasional. Ada pernyataan menggugah dari Sophan Sophian yang saya dengar di sebuah TV, katanya mengapa sekarang seolah olah kemenangan film di festival menjadi berhala baru, sehingga harus dikejar sampai ke ujung dunia. Bagi saya sungguh menyayangkan jika Riri Reza atau Hanung Bramantyo lebih sibuk memikirkan gerakan perlawanan secara terstruktur terhadap ‘ the old establishment generation ‘ daripada bagaimana membuat film film selanjutnya.
Festival sebuah film bukan merupakan puncak pencapaian. Biarlah masyarakat yang menilai film ini baik atau buruk, jujur atau menjiplak . Kita seharusnya jangan membiarkan sisi humanisme sebagai pencipta seni tergerus dengan emosi. Kalau ini dibiarkan berlarut larut akan mempengaruhi daya cipta kita. Tumpul, kering dan menjadi tidak peduli. Sehingga kita akan menjadi apatis seperti yang dialami Ktut Tantri, ketika paradise itu telah berubah menjadi ladang pembantaian, kakak ‘ angkatnya ‘ di puri kerajaan yang dibunuh bangsanya sendiri, tentara tentara yang mencuri uang hasil penjualan gula republik, sampai konspirasi untuk menjual bangsanya. Hampir saja dia tidak percaya lagi dengan sisi humanisme seorang manusia, sampai ketika ia tiba kembali di pelabuhan Boston, setelah hampir 20 tahun meninggalkan Amerika. Dalam malam Natal yang dingin dan sepi itu, ia hampir menangis karena tidak memiliki uang sepeserpun untuk kembali ke rumah orangtuanya. Dan tiba tiba saja ada seorang pemuda Indonesia keturunan tionghoa yang hendak belajar di Amerika, datang memberikan uang secukupnya. Dan ternyata humanisme itu masih ada. Mudah mudahan kitapun masih percaya. Semoga saja !
25 Comments
landy
January 13, 2007 at 8:24 pmMas kalau Ktut Tantri percaya ternyata humanisme itu masih ada. kita harus lebih percaya hal itu ada, karena hanya dengan mempercayan itu kita bisa tetap hidup
rievees
January 13, 2007 at 10:43 pmMoga2 aja para sineas dlm MFI dalam pergerakannya ga lupa utk terus berkarya & meningkatkan kualitas film kita. Krn saya termasuk salah seorang yg somehow percaya bahwa perombakan sistem yang ada sekarang somehow memang musti diperjuangkan. Kalo toh akhirnya musti bikin festival tandingan (spt yang disarankan juga oleh Sophan Sophian) krn perjuangan mrk ternyata terbentur tembok super beton, ya.. yg pentingkan dah berjuang. Jadi biar nanti ga penasaran gitu.
ira
January 14, 2007 at 1:09 amhumanisme dan idealisme kalo berbenturan ama materialisme jadinya kalah. Atau memang manusia skrg harus tanpa hati?? waah..sedihnyaa…
Septian
January 15, 2007 at 12:21 amwaktu itu saya juga ikut bantu2 nerjemahin bahasa mereka pas ada relawan dari kuba itu. Saya sendiri kagum melihat kepedulian negara kuba itu
Semoga perfilman Indonesia maju.
Iman Brotoseno
January 15, 2007 at 12:50 amseptian,
orang orang yang menjadi relawan seperti kamupun memberikan arti sebuah humanisme..
salam
dian mercury
January 15, 2007 at 2:25 ammasih ada kok. dikiiit tapinya. and kalo di indonesia, bakal kalah ama fulus
NiLA Obsidian
January 15, 2007 at 5:30 ambukannya emosi itu ada karena hati juga ya?
jadi biarlah…untuk memperlancar dan menjernihkan kreatifitas para ‘org2 kreatif’ ini…..mereka melakukan sedikit perjuangan…..
dg tujuan agar supaya menjadi manusia yg lebih kreatif dan berperasaan
Budi Maryono
January 15, 2007 at 6:04 amAku masih menemukan humanisme di mana-mana, namun tak terekspose. Yang terekspose, kelaparan jamaah haji Indonesia. Halah! Eh, lam kenal balik.
Evy
January 15, 2007 at 6:28 amMas Iman, salam kenal,
Aku percaya sekali humanisme masih ada dan herus terus di pupuk. Masih ada kok mas dokter Indonesia yang mau melakukan kerja sosial ke daerah, meski gaji kecil dan sering telat. Dokter di indonesia, juga salah satu or satu2nya sarjana (aku ndak tahu apakah ada sarjana lain) yang di tuntut untuk wajib kerja. Meski aku ga memungkiri banyak juga dokter2 yang lupa pada sumpah hipokrates-nya. Di negara maju organisasi charity dokternya kuat dan rapih, oleh karena itu bila ada disaster di tempat2 jauh mereka siap di berangkatkan, smtr di Indo sendiri, sulit juga mencari wadah yang tepat, kebanyakan jalan sendiri2 tanpa arah yg jelas. Coba mas ada film ttg humanity perjuangan dokter di daerah mungkin bisa jadi contoh… ;)ntar aku bantuin deeh..pasien banyak kok yg sampe kudu jalan dua hari dan kita musti menempuh berjam2 untuk bisa bantu mereka…
suster ngesot
January 15, 2007 at 8:32 amMari kita dulu menjadi (lebih) humanis spy bisa menularkannya pada yang lain..*haiyyah*
Yati
January 15, 2007 at 2:21 pmhumanisme lebih tebel disana sepertinya. karena negeri ini hanya mengajarkan kekerasan dan dendam. di film2 ciuman tanda sayang disensor, dibuatkan UU tak dibolehkan ada dilayar, sementara perkelahian dan kekerasan dipertontonkan dengan bebas.
ma kasih udah maen ke blogku, salam kenal
senja
January 15, 2007 at 3:50 pmhumanisme masih ada mas, cuma yang kena ekspos justru yang pada perang sendiri karena lebih layak jual kali…hiks.
lenje
January 16, 2007 at 12:07 amhumanisme kita terkubur setelah lebih dari 30 th didehumanisasi. masih tidur karena realita memaksa kita menjadi tidak manusia. humanisme hanya akan bangkit lagi kalau kita yang berusaha keras memunculkan kembali. mungkin awal2 dianggap gila, sok idealis, dsb. biar aja kan?
*doh, sok banget sayah! hehehe.*
ibunyaima
January 16, 2007 at 11:58 amKalau bicara hierarchy of Maslow, kira2 “humanisme” ini masuknya dimana ya? Either di level ke-3 (Love and Belonging), atau malah di level tertinggi (Self-actualization).
Memang dalam Maslow dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan tidak harus berjenjang (dalam arti bahwa kebutuhan sebelumnya sudah tercukupi baru naik ke jenjang berikutnya). Tapi, saya pikir, kalau dua kebutuhan di dasar hirarki (physical needs & safety needs) masyarakat kita pun belum terpenuhi, maka susah sekali kita berharap “humanisme” akan muncul secara general. Humanisme hanya akan muncul pada individu2 tertentu saja, yang pemenuhan kebutuhannya melompat2 (tidak sesuai struktur) atau termasuk pada kelompok masyarakat tertentu yg kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Film, sebagai media komunikasi, bisa saja mendidik tumbuhnya humanisme ini seperti postulat yang diajukan Mas Iman. Tapi yang saya khawatirkan: apakah masyarakat kita saat ini siap untuk dididik?
ekowanz
January 16, 2007 at 9:44 pmemm…mungkin bisa sebagai perbandingan bagaimana kondisi perfilman indonesia dengan sebaris kata berikut…
kalo di musik ada yang namanya musik untuk hidup dan hidup untuk musik!!
yg pertama musik untuk hidup adalah murni komersialitas untuk mencari uang..bagaimana caranya bikin musik yang bisa disukai orang banyak dan akhirnya bisa mengisi pundi2 untuk menjaga asap dapur tetap menyala!!
yang kedua hidup untuk musik, lebih banyak dilakukan oleh orang2 yang sudah mapan secara ekonomi, dan menjadikan musik sebagai kehidupannya!!
mempertemukan keduanya bukanlah hal yang gampang…oleh karena itu mengapa musik2 yang ada sekarang ini dari sisi kuantitas dan nilai industri sngatlah besar…tapi dari sisi kualitas sangat kecil sekali..sama seperti film indonesia bukan??jenis film yg digarap adalah genre yang bisa mengundang banyak penonton..genre2 yang berat minggir dulu.. 😀
Iman Brotoseno
January 16, 2007 at 10:49 pmsebuah cerminan penonton indonesia dari ekownz..masuk akal
joni
January 17, 2007 at 2:03 amhmmm.. betul, humanisme dijaman sekarang ini memang sudah agak langka, dibanding jaman saya esde dulu, era 80-an… pada masa itu masih banyak orang yang menolong tanpa pamrih, ikhlas, redho.. sekarang terasa udah semakin individualistis masyarakat kita!!!..
mungkin karena kemajuan jaman kali ya??
mengenai cerita diatas siapa yang salah?? aku pikir semuanya salah bukan hanya pemerintah!!!..
lebih baik kita koreksi diri kita masing2.. *idem sama lenje*
Arif Kurnaiwan
January 17, 2007 at 4:39 amCerita Ktut Tantri amat menarik sekali. Tulisan ini bagus. Mengilhami.
Keren euy.
MaIDeN
January 21, 2007 at 7:44 pm“Budaya televisi dan film secara tidak langsung mencekoki pola pikir masyarakat sehingga budaya kekerasan, individualistis, dan mimpi mimpi kota besar telah menghilangkan sisi humanisme manusia Indonesia.”
Ya …. Daripada rame-rame protes sana sini buang-buang energi, ngembali in Piala Citra dst … Lebih baik berkarya melawan budaya sinetron-sinetron nggak mutu aja.
aroengbinang
January 21, 2007 at 8:12 pmSaya pikir humanisme tidak bakal lenyap dari bumi, tentu selama si “human” masih ada.
Sama halnya dengan saudara2-nya yang berujud keserakahan dan kedirian. Tidak bakal lenyap.
Saya setuju bahwa daripada mikir apakah si humanis masih ada atau raib, ya jadilah si humanis itu sendiri.
Seperti kata Karl Popper, untuk membuktikan tidak semua angsa berwarna hitam, cukup ditemukan satu angsa putih. Salam.
ismansyah
February 5, 2007 at 4:34 pmApa karena kuba adalah negara sosialis ya dan memang dipimpin oleh pemimpin yang sangat humaanis (fidel castro)
maya
February 27, 2007 at 1:04 pmjadi, kapan mau bikin film tentang humanisme?
asia tour guide
December 6, 2007 at 8:20 ami am looking to travel cheap in asia and was advised against tour packages but your post has given a different perspective, thanks .
Yudi
January 14, 2009 at 5:29 amHumanisme adalah sebuah kata yg sangat indah sekaligus mengerikan
vital nascimento Barreto
January 15, 2009 at 9:42 amhumanisme itu ada pada setiap orang tetapi negara menciptakan hukum yang tidak humanis akhirnya manusianya kehilangan kehumanismeannya