Tentang Kereta Cepat

Naik kereta api tut! tut! tut!
Siapa hendak turut.
Ke Bandung Surabaya

Bagi generasi anak anak masa lampau, tentu tak pernah pernah lupa lagu “ Kereta Apiku “ karya Ibu Sud. Sebagaimana lagu lagu ciptaannya yang lain, selalu mengajarkan bagaimana menjaga harmonisasi dengan lingkungan, alam dan keluarga. Suara tut tut tut barangkali menjadi simbol kereta yang bergerak lambat, ketika seorang anak melihat lokomotif menarik gerbong kereta

Ingatan lagu ini muncul ketika hiruk pikuk pembuatan Kereta api cepat Jakarta Bandung menjadi rebutan antara saudara tua Jepang dengan Cina. Jika lagunya Ibu Sud melihat dari cara pandang anak anak yang riang gembira. Proyek megaproyek dilihat dari cara pandang mercuar Pemerintah yang galau.

Sejak awal Pemerintah memutuskan tidak memakai anggaran belanja negara ( APBN ) untuk membiayai proyek ini. Bagi Jepang sendiri, skema kerja sama business to business adalah hal yang mustahil bagi proyek pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat. Infrastruktur publik membutuhkan puluhan tahun untuk balik modal, sehingga jaminan Pemerintah dibutuhkan.

Ini yang ditangkap Menteri BUMN, bahwa sepanjang Presiden memerintahkan menjalankan proyek tanpa anggaran dan jaminan Pemerintah, jadi dia membuka kerja sama swasta., maka dibentuklah BUMN baru, PT Pilar Sinergi yang beranggotakan PT KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga dan PTPN VIII. Konsorsium ini akan bekerja sama dengan konsorsium Cina dengan kredit sepenuhnya dari China Development Bank. Komposisi saham Indonesia 60 % dan Cina 40 %.

Katanya konsorsium anggota konsorsium Indonesia tidak akan menyetor uang, hanya tanah atau jasa sebagai modal penyertaan. Misalnya Wijaya Karya hanya menyumbang jasa pekerjaan sipil, dan PTPN VIII akan mengkonversi lahan kebun tehnya menjadi kota baru dan lahan kereta.

Sebagaimana di kutip dari Majalah Tempo, dari total proyek sebesar 76 triliun, atau US $ 5,6 milyar. 75 persen atau US $ 4,2 milyar dollar akan dibiayai lewat hutang. Sedang sisanya akan ditanggung konsorsium bersama. Kalau dilihat dari komposisi saham, maka Indonesia punya kewajiban US $ 2,51 milyar .

Pemerintah mestinya berpikir ulang dengan pembangunan proyek ini. Dengan anggaran proyek yang sebesar itu, sebenarnya kita bisa membangun sekaligus ratusan kilometer jalan tol di Sumatera, banyak pelabuhan baru, bendungan bendungan, bahkan kereta api di Papua, Kalimantan dan Sulawesi. Efek pengganda ekonomi rakyat akan jauh lebih besar daripada hanya sebuah kereta api cepat Jakarta Bandung.

Jika memang tidak memiliki dana jumbo, mungkin ada baiknya Pemerintah mengaktifkan lagi jalur jalur kereta api yang sudah mati dan banyak tersebar di mana mana, seperti Jalur kereta Padangpanjang – Payakumbuh atau Rangkasbitung – Labuan sampai ke Tanah Abang Jakarta dimana pedagang bisa membawa ikan segar dari nelayan selat sunda sampai Jakarta. Bukan rahasia umum, transportasi lewat jalan biasa dari Banten ke Jakarta sangatlah buruk dan menghambar transportasi barang.

Yang lebih penting, pembangunan kereta cepat akan semakin membuat timpang perbedaan infrastruktur antara Pulau Jawa dan luar Jawa, tak konsisten dengan rencana Presiden Jokowi yang selama ini ingin membangun proyek-proyek infrastruktur di luar Jawa – termasuk tol laut – untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Saya teringat ketika mencoba kereta api Shinkansen di Jepang yang berkecepatan 400 kilometer per jam. Medan magnet yang terjadi antara kereta dan kumparan di rel, membuat daya tolak yang mengangkat kereta api hingga 10 sentimeter di atas rel, sehingga kita tak mendengar suara ‘ gludug ‘ gludug ‘ seperti kereta pada umumnya. Walhasil setelah jalan jalan di Istana Kyoto, saya bisa kembali ke Tokyo pada hari yang sama. Tapi itu Tokyo dan Kyoto yang berjarak 500 kilometer.

Pemerintah mengambil keputusan membangun kereta cepat mungkin didorong oleh keinginan donor, bukan atas keputusan Indonesia. Kita sebenarnya tidak butuh butuh amat kereta cepat Jakarta Bandung. Charles Walker Kinloch, dalam catatan perjalanannya ke tanah Jawa tahun 1852, menulis perjalanan Jakarta Bandung ditempuh dalam waktu 5 hari dengan menggunakan kereta kuda. Itupun harus beristirahat menginap di Bogor dan Cianjur.
Namun kini pergerakan manusia dan barang Jakarta Bandung yang hanya dipisahkan jarak 140 kilometer perjam, tidak membutuhkan kereta cepat. Beda jika kita bicara Kereta cepat Jakarta – Surabaya misalnya.

riniJarak rel Jakarta Bandung hanya 140 kilometer, membuat kereta supercepat tidak maksimal, karena harus berhenti di 4 stasiun. Akhirnya akan menjadi kereta yang lumayan cepat saja. Padahal perusahaan kereta api nasional sebenarnya hanya berkeinginan mengganti rel berkelok kelok yang terjal pada jalur Karawang – Padalarang dengan jalur lurus.
Biayanya hanya US $ 460 juta, sudah termasuk jalan layang dan terowongan. Pelurusan rel itu akan membuat perjalanan kereta Jakarta – Bandung menjadi 84 menit, tidak lagi 3,5 jam seperti sekarang. Waktu tempuh memang masih lambat 47 menit dibanding desain kereta cepat. Tapi harga tiketnya lebih murah, yakni Rp 180 ribu.

Membangun jalur kereta api cepat Jakarta Bandung juga mubazir, karena dari riset Insitut Studi Transportasi, dari 145 ribu orang yang melintas Jakarta Bandung, 85 % masih menggunakan kendaraan pribadi. Hanya 2000 – 2500 orang menggunakan kereta dan sisanya menggunakan kendaraan umum. Kalaupun 50 % nanti beralih ke kereta supercepat, berarti hanya 10 ribu penumpang. Masih jauh dari target konsorsium yang mematok 61 ribu penumpang dengan harga tiket Rp 224 ribu. Jadi kalau nanti skema bisnisnya buntung, bukan mustahil Pemerintah harus turun tangan juga.

Padahal anak anak kita maunya naik kereta dengan gratis. Bukan dikejar kejar membayar hutang. Coba tengok lagi penggalan lagunya Ibu Sud.

Bolehkah naik dengan percuma
Ayuh temanku lekas naik
Kretaku tak brenti lama.

You Might Also Like

3 Comments

  • Vicky Laurentina
    October 18, 2015 at 1:22 pm

    Terima kasih sudah menulis ini, Mas Iman. Sebagai orang yang cuma baca berita setengah-setengah, saya tidak begitu paham kenapa tidak semua orang menyambut gembira rencana pembuatan shinkansen di Jawa Barat ini.

    Sebagai seorang penduduk Bandung, sebetulnya saya senang kalau shinkansen ini dibikin. Itu akan mengurangi kemacetan long weekend akibat separuh penduduk Jakarta yang pindah ke Bandung. Tapi mungkin kereta ini hanya akan menyenangkan orang Bandung, dan tidak terlalu mempengaruhi kepuasan penduduk non Bandung.

    Saya rasa, masih lebih penting bikin tol laut deh.

  • Wahyudi Adhiutomo
    November 1, 2015 at 10:28 am

    Mungkin sekedar untuk tolok ukur bahwa ya kita punya teknologi kereta cepat, karena kalau kita bicara urgensi, tidak ada urgensi kereta cepat di sini.

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:32 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*