Resensi Jumat malam

Dalam perjalanan menuju kopdar Cahandong nonton Batman – Dark Knight di Plaza Ambarukmo kemarin. Memed – yang selalu setia mengantar menjemput – bertanya seberapa penting riset dalam pembuatan film. Ini gara gara sambil lalu saya menceritakan bahwa saya perlu melakukan riset mengenai kemiskinan di pedalaman desa pinggiran Jogja. Apakah dengan melihat dokumenter di TV atau berita lainnya tidak cukup ?
Saat ini saya berada di Jogja untuk melakukan riset di pedalaman, untuk memahami arti kemiskinan buat sebuah film iklan versi Kemerdekaan yang akan saya garap disana. Ini melanjuti dalam brainstorm dengan produser saya tadi kemarin. Seberapa jauh saya melihat ‘ kemiskinan ‘ dalam mata saya. Terus terang saya tak begitu akrab.
Bukan salah saya. Kebetulan saja saya dilahirkan serba cukup. Walau bukan dari keluarga kaya. Tapi saya tak pernah mengalami susahnya makan. Tak pernah tidur di lapikan bambu atau membantu orang tua mencari nafkah.

Membuat film juga hampir seperti menulis karya ilmiah. Harus ada data komprehensif mengenai isi dan detail film itu sendiri. Tak bisa asal menebak, makanya dibutuhkan riset dan location recce. Bagaimana saya bisa menggambarkan bagaimana susahnya mereka dalam kemiskinan jika tidak pernah mengetahui keseharian mereka. Sekecil apapun. Untuk hal ini saya tak berani menebak nebak.
Aktor Slamet Raharjo mengatakan, kita harus bisa mengendapkan rasa. Jika kita melihat segelas air, tidak hanya melihatnya sebagai penghilang rasa haus. Tapi juga sifat bening dan melihat dinginnya air yang segar. Selalu ada sisi yang penglihatan yang lain.

Dalam pesawat Garuda kemarin, saya melihat rombongan partai penguasa yang menguasai kursi bisnis kelas di depan. Mungkin perasaan saya salah, tapi sepertinya mereka belagu sambil sesekali cewawaan. Sepintas saya mendengar mereka berbicara tentang betapa penting mengurus Republik ini.
Dalam hati saya bertanya, apakah sesungguhnya mereka memahami aspirasi konstiuen mereka? Jangan jangan mereka hanya menebak nebak. Hanya datang ke daerah konstituennya sesaat sebelum pemilu tiba. Ini juga mengingat pola rekrutmen anggota dewan hampir beraroma pertemanan, asas keuntungan imbal balik atau memasang vote getter selebritis untuk meraih suara floating mass.

Dalam film Batman, ada sebuah quotes yang menurut saya sangat menggugah. ‘ Kamu bisa mati cepat sebagai pahlawan atau hidup lama tapi perlahan menjadi penjahat ‘. Memang tak perlu jadi pahlawan untuk memahami aspirasti amanat penderitaan rakyat, tetapi para anggota dewan yang terhormat, semakin lama menjabat, bisa menjadi penjahat penjahat juga. Padahal dulu mungkin sebagai pahlawan reformasi atau aktivis kampus.

Walau saya lebih menikmati Batman garapan Tim Burton yang berkesan noir dan kelam. Dalam film kemarin, secara philosophy saya melihat banyak hal yang menarik. Tebakan yang salah jika semua manusia memiliki sifat egois, ingin menang sendiri dan kalau perlu membunuh. Batman yang tak tega menabrak si Joker atau para penumpang ferry yang tak mau memencet tombol bom kapal sebelah.
Ini memang film yang bagus. Memed yang duduk disebelah sesekali melontarkan ekspressi perlahan ‘ Aaahhh…’. Ooohhhhhhh…’. Larut dalam emosi dramatulugi dan mungkin juga percintaan segitiga Bruce Wayne – Rachel Dawes dan Harvey Dent.
Mungkin ia sependapat dengan saya. Betapa tidak enaknya, karena Bruce tidak pernah mengetahui perasaan yang jujur dari Rachel. Surat yang tidak pernah disampaikan oleh Afred kepada majikannya. Ia tahu Bruce akan terluka. Membiarkan lelaki itu terus menebak nebak seumur hidup.
Akankah kita membiarkan rakyat terluka melihat sikap perilaku wakilnya di parlemen, dan terus menebak nebak apakah aspirasi mereka tersampaikan ?
Walau ada yang bilang politik itu wilayah tidak mudah ditebak, bagi saya sangat jelas. Cara politik orang Indonesia sangat mudah ditebak. Terlalu mudah malah.

You Might Also Like

56 Comments

  • ngodod
    July 22, 2008 at 4:21 pm

    hwa.., kok pas aku lagi bolos jumintenan..

  • kunderemp
    July 22, 2008 at 5:36 pm

    Kalau saya di kapal ferry, saya akan jadi yang melempar detonatornya…
    Waktu pertama kali mendengar kalimat “Either you die as a hero or you live long enough to see yourself to be a villain” di iklannya, yang terbayang di pikiranku saat itu adalah para pejabat dan mantan aktivis di negeri kita. 😛

    Sementara,
    karakter Joker yang manipulatif (dari awal film), yang doyan lempar batu sembunyi tangan, yang doyan mengadu domba, mengingatkanku pada karakter-karakter orang-orang yang doyan memancing-mancing saat kalah pilkada. Lucunya, seperti Joker yang sok puitis ( I’m the agent of chaos ), begitu juga mereka kadang-kadang menggunakan jargon-jargon tertentu.

    Jangan-jangan Indonesia memang sedang masa ‘eskalasi’ seperti Gotham. Kalau di film, para penjahat sudah gak perduli etika lagi.. Begitu juga di Indonesia, para koruptor sudah tidak tahu malu lagi.

  • mr.bambang
    July 22, 2008 at 8:31 pm

    sayah nunggu hasil syutingnya mas iman saja, kayak gimana 🙂
    Ohya, musim kampanye ini pasti laris manis ya job nyutingnya mas? 😉

  • torasham
    July 22, 2008 at 8:38 pm

    mas iman, kalau bikin pilm, mbok ya saya diajak….saya biasa sabtu minggu nge-crew loh…:isin:

  • didut
    July 23, 2008 at 9:49 am

    berharap suatu saat nanti muncul calon pemimpin yg bersih

  • hotel internet marketing services
    April 10, 2010 at 7:56 pm

    Best Traffic For Your Website – Best Website Visitor – Best Internet Marketing – Ultimate Website Traffic!

1 2

Leave a Reply

*