Ali Sadikin adalah orang Sunda kelahiran Sumedang. Namun selama ia menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta, sama sekali tak penah memperlihatkan atribut keSundaannya. Ia bangga dengan sebutan Bang Ali. Panggilan akrab orang Betawi. Ia juga menjadi gubernur pertama yang berbaris memimpin kontingen Jakarta dalam defile pembukaan PON 1973 di Surabaya, Ini ada ceritanya, karena sebelumnya para atlet atlet Jakarta –yang bukan asli Betawi – tidak pernah menunjukan kebanggaannya terhadap kontingen DKi Jakarta. Mereka selalu berkumpul di asrama atau mess kontingen daerah lain yang memiliki kesamaan suku.
Ali Sadikin marah. Ia memerintahkan seluruh atlet Jakarta dikonsinyir – diasingkan – di dalam kompleks KKO / Marinir di Surabaya selama berlangsungnya PON. Ia meninggalkan Jakarta dan mengawasi langsung kontingennya. Setiap hari ia memotivasi dan memberi pemahaman tentang kebanggaan sebagai kontingen Jakarta. Hasilnya saat itu DKI Jakarta merebut medali emas terbanyak.
Jakarta memang unik, karena tidak bisa sekadar mewakili etnis penduduk aslinya Betawi. Ia juga menjadi rumah bagi berbagai manusia berbagai suku, budaya, etnis yang datang dan hidup di dalamnya. Masih banyak perdebatan yang menganggap suku Betawi juga bukan merupakan penduduk asli Jakarta. Catatan penjelajah Portugis ketika membangun benteng di Jayakarta, menulis kehidupan di luar benteng sebagai wilayah hutan belukar yang tidak aman. Ada manusia manusia primitif yang tinggal di sana, memakan cacing , burung dan daun daunan.
Ini tak lepas dari sejarah kota ini ketika Gubernur Jendral VOC Van der Parra yang dilanjutkan Jan Pieterzoon Coen yang dikenal sebagai pendiri kota Batavia. Ia hendak membangun sebuah kota Bandar menyaingi Malaka. Ribuan budak didatangkan dari daratan Cina, Srilanka sampai Banda dan Bali. Pada tahun 1673 penduduk Jakarta 27.000 orang dan separuhnya adalah budak. Ini menjadi acuan bagi beberapa sejarahwan bahwa penduduk Betawi berasal dari keturunan budak.
Bung Karno bercita cita membangun sebuah ibu kota yang multicultural dan bisa berdiri sebagai salah satu kota kota besar di dunia. Kecintaannya tidak main main terhadap kota ini. Baginya Jakarta adalah cerminan Indonesia mini, dimana Batak, Jawa, Ambon, Sunda dan semuanya bisa bangga dengan rumah besarnya.
Jadi siapa yang bisa mengklaim sebagai pemilik asli kota ini ? Bukan juga Forum Betawi Rempug atau FKKB. Juga bukan monopoli sebuah agama tertentu. Kita bahkan juga harus menghargai hak hak komunitas minoritas Kristen Betawi di Kampung Sawah – Pondok Gede atau Kampung Tugu.
Jakarta adalah kota yang memiliki sifat khusus, demikian Ali Sadikin selalu menyebutnya berulang ulang. Dan dia tak malu mengakui jalan jalan dan infrastruktur Jakarta dibangun dari judi yang asalnya ditujukan hanya untuk masyarakat Tionghoa. Masalah moral adalah urusan dia dengan Tuhan, katanya waktu itu.
Dari dulu Jakarta selalu menawarkan godaan bagi kaum urban, bahkan balatentara Mataram banyak yang ogah pulang ke Jawa Tengah setelah menyerang Batavia. Jakarta selalu menjadi lampu obor bagi serangga serangga yang berdatangan. Ia memberi penerangan sekaligus mematikan kepada yang tak berdaya. Itulah sebabnya Jakarta disebut kejam dan membuatnya terasing dengan isi manusianya. Sebagian teman menyebut dengan kota laknat. Padahal mereka hidup dan menggantungkan harapan padanya. Dengan sejuta mimpi mimpinya.
Saya tak mungkin bisa menyebutnya dengan Jancukarta. Sebuah sebutan satire. Bagaimana mungkin saya membencinya ? saya tumbuh di dalamnya. Saya meraih begitu banyak kesempatan, mempelajari banyak arti hidup. Begitu banyak kenangan indah. Disini saya memeluknya erat dan sekaligus mencumbunya. Tak pernah berhenti.
Jakarta memang terlalu angkuh bagi mereka yang tak memahami. Tak ada yang salah dengan Jakarta. Yang salah justru manusia manusianya yang serakah, egois, dan saling membunuh.
Sejarah kekerasan Jakarta dimulai sejak Bang Puase membunuh Nyai Dasima di tepi Kali Ciliwung dekat Kramat tahun 1821, sebagai tanda ketidaksukaannya melihat gejala selir peliharaan para pendatang Eropa. Padahal permasalahan tidak sesederhana itu, ada persoalan himpitan ekonomi yang memaksa wanita menjadi Nyai.
Sampai beratus ratus tahun kemudian Jakarta tetap tidak bisa memberikan jawaban terhadap mimpi para pendatang maupun penduduknya. Kota ini tidak memberikan begitu saja. Tentu saja kita yang harus memperjuangkan untuk mendapatkan mimpi kita. Sebuah kota perjuangan.
Selamat Ulang Tahun Jakartaku !
57 Comments
mitra w
June 24, 2008 at 7:51 pmmenggoda memang sih itu kota…
aminhers
June 24, 2008 at 9:57 pmBanyak orang yg menghujat Jayakarta, tapi orang mendatanginya
Banyak orang mencaci Jayakarta, tapi orang menikmatinya
Banyak orang menghina Jayakarta, tapi orang rindu padanya
Bangkitlah Jayakarta
Sadarlah penghuninya
Bangunlah Jayakarta
Banyak harapan kami terkubur di sana.
Hedi
June 24, 2008 at 10:39 pmjakarta yang dibenci sekaligus dirindui…suka atau nggak, di kota ini harapan terhadap kesejahteraan dunia diletakkan 😀
kenny
June 25, 2008 at 12:15 ammet ultah jakarta, ntah napa dari dulu gak begitu tertarik ama jakarta
edratna
June 25, 2008 at 6:56 amSelamat ultah Jakarta.
Saya juga mencintai Jakarta…kadang sebal juga kalau terjebak kemacetan seperti kemarin Selasa sore tg.24 Juni di Semanggi….juga saat kerusuhan Jakarta tahun 1998, karena saat itu kantorku persis didepan Atmajaya, dan tak bisa pulang ke rumah. Tapi Jakarta juga menawarkan kemandirian, perjuangan untuk bisa menaklukkan Jakarta yang ganas, namun ramah dan terbuka bagi suku dan agama apapun (yang sayangnya akhir-akhir ini dikotori beberapa gelintir manusia).
aditya sani alias asep
June 25, 2008 at 4:55 pmasep kangen jakarta euy, dinamisnya hidup disana, buat manusianya lupa waktu, tapi terasa nikmat karena hidup beriring dengan kerja..
Acells
June 22, 2012 at 2:20 pmBaginya (BK) Jakarta adalah cerminan Indonesia mini, dimana Batak, Jawa, Ambon, Sunda dan semuanya bisa bangga dengan rumah besarnya… Strong statement from Big Man, salut !!!
Senang membaca tulisan mas Iman …