Berkat undangan Mbak Nenny Hartono, saya kembali menginjakan kaki di kampus Universitas Indonesia, setelah hampir 18 tahun saya meninggalkan kampus ini. Ini juga pertama kali saya menemuinya walau kita sering berkorespondensi melalui email. Saya mengenalnya – tepatnya dia yang memperkenalkan dirinya melalui email – setelah membaca tulisan saya yang sedikit menyinggung tentang ayahandanya. Beliau adalah putri Letjen KKO Hartono, bekas panglima marinir ( dulu KKO ) jaman Bung Karno.
Disini di dalam multi media centre , Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, sambil memenuhi undangan pemutaran film “ Afghan Chronicles “ serta diskusi dengan sutradaranya, Dominique Morisette , saya bertemu dengan sosok wanita sederhana yang aktif di Forum Silahturahmi Anak Bangsa ( FSAB ) . Sebuah forum untuk melekatkan komunikasi yang retak karena sejarah masa silam. Disana ada para putera puteri pahlawan Revolusi, PKI, Darul Islam, PRRI/Permesta maupun tokoh tokoh orde lama / baru.
Pertemuan ini memang menarik karena dari sebuah dunia maya bisa mempertautkan seorang teman baru. Kami banyak bercerita tentang orang tua kami – sesuatu yang tak bisa saya tulis disini – dan tentu saja kami masing masing tak dapat menyembunyikan kekaguman dengan Soekarno, karena kami memiliki benang merah yang sama.
Pada masa masa peralihan orde lama ke orde baru, Jend KKO Hartono adalah seorang pendukung Soekarno yang tangguh. Pada masanya KKO atau Marinir memang menjadi anak emas Bung Karno, sehingga Hartono juga menjabat Wakil Panglima Angkatan Laut. Jabatan posisi ini tidak terdapat di angkatan lain.
Ketika Orde Baru berkuasa, ia ‘dibuang’ menjadi duta besar di Korea Utara. Pada januari 1971, ia secara mendadak dipanggil oleh Jakarta dan selama sebulan menjalani pemeriksaan. Sehari sebelum keberangkatannya lagi ke posnya di Korea Utara, tiba tiba dikabarkan ia bunuh diri di rumahnya.
Trans TV pernah memuat kontroversi ini dalam acara ‘ Lacak – Misteri kematian Letjen KKO Hartono ‘. Banyak teman, kolega dan juga istrinya tidak mempercayai hal ini. Mereka meyakini Hartono di bunuh, termasuk disini bekas Gubernur Jakarta , Ali Sadikin yang juga berasal dari korps Marinir. Sementara bekas KSAL, Laksamana ( Purn ) Soedomo dalam interviewnya mengatakan kalau Jend Hartono bunuh diri karena kecewa Marinir diperkecil kekuatannya.
Sebuah kejanggalan lain, bahwa ia tidak dibawa ke Rumah Sakit AL Mintoharjo sebagaimana lazimnya perwira Angkatan Laut. Ia justru dibawa di RS Angkatan Darat, dan pihak keluarga tidak boleh memandikan jenasah dan mengotopsi. Mereka sudah harus menerima jenasah dalam kain kafan.
Betapa kalutnya Grace Walandouw Hartono dengan anak anaknya yang masih kecil tertinggal di Pyong Yang, Korea Utara. Mereka hanya bisa menyusul pulang kembali ke Jakarta 2 minggu kemudian karena sulitnya transportasi. Hanya bisa menemukan pusara suami dan ayah anak anaknya.
Perjuangan selanjutnya adalah bagaimana bertahan hidup. Ketika teman temannya justru menjauh, rumah dinasnya diminta negara dan akhirnya menempati rumah kecil di pojok Pamulang.
Entah kenapa film “ Afghan Chronicles “ yang menggambarkan jurnalisme paska rezim Taliban, juga bercerita bagaimana para wanita dibalik media majalah dan radio. Mereka membangun sebuah peradaban baru setelah sekian lama, wanita wanita di sana mengalami jaman batu. Tidak boleh sekolah dan angka buta huruf sangat tinggi. Wanita yang berpendidikan terpaksa membakar semua buku buku, yang tragisnya justru menyelamatkan jiwa mereka ketika ada razia pemeriksaan dari penguasa Taliban. Karena menjadi wanita yang berpendidikan di era Taliban justru bisa dihukum mati.
Saya selalu kagum dengan wanita wanita yang bergulat dengan perjuangan hidupnya, karena sesungguhnya mereka pemegang kunci surga. Mereka bisa berjuang lebih dari para lelaki yang dengan begitu bangganya dengan kodrat pemegang sang wahyu. Wanita wanita Batak di kios kios pasar senen. Wanita wanita Gunung Kidul yang berjalan puluhan kilometer mencari air. Wanita Wanita Bali yang mengolah kebun ketika sang suami sibuk dengan ayam aduannya.
Tragisnya kadangkala atas nama pragmatisme, para wanita harus melupakan keadilan. Karena keadilan lebih berada ditataran utopia yang normatif. Grace Hartono berpikiran membesarkan anak anaknya jauh lebih penting daripada sekadar menuntut keadilan atas kematian suaminya waktu itu. Marzia Monsif juga akhirnya berhenti dari pekerjaannya sebagai reporter radio, karena selalu mendapat ancaman pembunuhan dari orang orang yang tak suka melihatnya bekerja. Ia mengatakan tidak mau anak anak kehilangan ibunya karena prinsip prinsip kesetaraan gender yang diperjuangkan sang Ibu.
Sebagaimana Gunawan Mohamad menulis, keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah lengkap dipenuhi. Ia juga berada dalam antah berantah.
Apakah kita bisa memahami pergulatan wanita seperti ini ?
Tiba tiba saya rindu dengan ibu saya. Saya ingin mencium dan bersujud dihadapannya.
59 Comments
Indonesia Articles Online
April 6, 2008 at 11:33 amIngat : Surga ada Di telapak kaki Ibu. Wanita memang kuat dari sananya. Cuma banyak yang tidak menyadarinya.
kyai tampan
April 10, 2008 at 2:36 pmsaya lebih suka kalau mas iman menulis “wanita-wanita yang telanjang” … ooops
Alpha
April 17, 2008 at 4:16 pm“Grace Hartono berpikiran membesarkan anak anaknya jauh lebih penting daripada sekadar menuntut keadilan atas kematian suaminya waktu itu.”
Mungkin Suaminya yang tenang di alam sana juga senang karena istrinya memilih terus bergerak maju menjalani hidup dan membesarkan anak bangsa. ketidakadilan yang tidak terbayar di dunia akan jadi hutang yang berbunga bukan? Vicious enough eh?
“Marzia Monsif juga akhirnya berhenti dari pekerjaannya sebagai reporter radio, karena selalu mendapat ancaman pembunuhan dari orang orang yang tak suka melihatnya bekerja. Ia mengatakan tidak mau anak anak kehilangan ibunya karena prinsip prinsip kesetaraan gender yang diperjuangkan sang Ibu”
Walaupun begitu saya percaya beliau tidak akan melepaskan prinsipnya, dan dengan mengasuh anaknya dengan tangan sendiri, beliau memastikan akan ada manusia-manusia baru yang bisa mengubah dunia yang baginya sempit.
reza
May 30, 2008 at 5:14 amEMANSIPASI WANITA KEBABLASAN, anak terlupakan gak diurus, padahal tugas wanita ngurus itu anak sangat berat, canggih lebih canggih dr jepang yg cuman bisa bikin robot….
OdyDasa
July 13, 2008 at 9:22 pmMaaf OOT.
Aku pikir, posisi seperti Mas ini sudah selayaknya bisa memberikan pengetahuan yg benar bagi orang banyak. Jadi, penggunaan kata “paska”, dan penggunaan “di” sebagai awalan dan kata (misalkan pada paragraf ke-4, “Mereka meyakini Hartono di bunuh”).
Sekedar mengingatkan lho, Mas. Memang mungkin itu hal-hal kecil, tetapi tetap saja mengganggu. Jadi, kalau memang itu perkara kecil, kukira akan mudah untuk kemudian dibikin benar.
Terus, sekarang gak OOT, mungkin gak ya, ketika memperjuangkan suatu kebenaran, tidak memberikan ancaman kepada pihak lain?
Just curious saja, soalnya seperti ancaman pembunuhan, itu ‘kan berarti ada pihak lain yg “terancam”. Namun, pertanyaan yg kemudian membuatku terganggu, ya seperti itu, mungkin tidak ya berbuat sesuatu tanpa membuat yg lain terancam?
donny
December 27, 2008 at 6:14 amga tau mo omong pa???..mas Iman py yg smua aq ingin, pinter poto, film, dengan kemampuan tulis yg asik, pokoknya kl ga kasih aku privat, kebangetan deh hehehe
starbon
June 17, 2009 at 1:46 pmwanita memang luar biasa 🙂 salam kenal dan kagum buat anda!
Yos
June 20, 2012 at 7:09 pmWanita mahluk yang tangguh!
Kalau suami sakit, istri bisa merawatnya dengan baik sekaligus bisa mengerjakan pekerjaan rutinnya : mencuci, mengurus anak, membereskan rumah, memasak, mengepel dll sehingga rumah tetap rapih.
Tapi coba pikirkan kalau Istri sakit apakah suami bisa melakukan itu semua…..??????? yang ada rumah pasti berantakannnnnnn
Mother 69
June 21, 2012 at 9:41 amDari ketangguhan hati dan mental : bila suami selingkuh paling-paling istri meneteskan air mata, tapi bila istri selingkuh…….yang ada suami mo bunuh diri.