Quo Vadis Pendidikan di Indonesia ?

Dan sejarah akan menulis, disana, diantara benua Asia dan Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Akhirnya kembali menjadi satu kuli diantara bangsa bangsa. Kembali menjadi een natie van koelies, en een koelie onder de naties ( Sukarno. “ Tahun Vivere Pericoloso “ 17 Agustus 1964 )

Sepertinya kita terus bertanya tanya dengan landasan pendidikan negeri ini. Seolah olah sistem pendidikan di negeri ini stagnan atau bahkan mundur. Dulu, akhir tahun 60an dan awal 70an. Kita mengekspor guru guru dan dosen ke Malaysia. Mereka belajar di sekolah dan perguruan tinggi kita. Sekarang anak anak kita gantian yang menuntut ilmu ke semenanjung Melayu. Belajar di Malaysia jauh lebih bergengsi dan berkualitas.
Padahal tidak ada yang salah. Dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional no 20/2003 memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta strategi untuk mewujudkan pendidikan bermutu yang relevan dengan masyarakat dan berdaya saing global.
.
Ada 3 prinsip perubahan utama dalam reformasi pendidikan nasional. Pertama, perubahan paradigma pengajaran menjadi pembelajaran. Istilah pengajaran, dalam arti belajar dan mengajar sudah tidak relevan lagi, Jika selama ini menitikberatkan pada peran pendidik memberikan pengetahuan kepada murid / peserta didik. Maka sekarang murid atau peserta didik didorong untuk mengembangkan potensi dan kreativitas diri.

Kedua. Perubahan pandangan peran manusia, yang tadinya dianggap sebagai sumber daya pembangunan, sekarang menjadi menjadi manusia berbudaya sebagai subyek pembangunan yang utuh.
Jika dulu murid atau peserta didik diarahkan menjadi manusia siap kerja. Pola pikir ini masih sisa pengaruh budaya kolonial dimana, pemerintah penjajahan membutuhkan tenaga kerja rendahan siap pakai untuk mengisi peran ambtenaar, mandor perkebunan atau pamong praja. Sementara dengan perkembangan jaman, sekarang dia menjadi subyek yang bahkan bisa menciptakan lapangan kerja.

Ketiga. Perubahan pandangan tentang keberadaan anak didik dengan memahami mereka. Melihat lingkungan tempat mereka tinggal dan budaya setempat. Perbedaan anak didik lebih dihargai daripada persamaan.

Namun hingga 14 tahun reformasi, tanda tanda perubahan belum kelihatan juga. Bahkan pendidik atau guru lebih nyaman dengan kemapanan dan bersikap anti perubahan. Kurikulum berbasis kompetensi sebagai ganti kurikulum berbasis materi tidak membawa perubahan.
Peraturan Mendiknas No 22 tentang standar isi, menyebut kurikulum tetap berbasis pada materi. Sementara Peraturan Mendiknas No 23 tentang Standar kompetensi Lulusan berisi kurikulum berbasis kompetensi. Ini menyulitkan guru. Mau berpegang pada isi atau kompetensi.

Mohammad Nur, guru Taman Kanak Kanak Mentari, Kelurahan Lampe, Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat telah memulai dengan metode kompetensi dari lingkungan sekitar murid. Sebelumnya ia mengusulkan kepada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Bima tentang realita sosial yang ada, yakni banyaknya anak anak usia dini tidak bersekolah karena kemiskinan atau harus membantu orang tua di ladang. Kemudian dibentuk ‘ Kelompok Belajar ‘ sebagai bagian dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini ) yang biasanya beranggotakan 20 siswa setiap kelompok. Kelompok belajar ini menggunakan media pembelajaran yang tidak jauh dari lingkungan alam sekitar rumah, sekolah dan kehidupan sehari hari siswa. Ia mengajarkan kepekaan terhadap alam dan lingkungan. Bagaimana melihat realita petani yang bekerja di sawah, sampai belajar mendaur/ memisahkan gelas, botol plastik minuman bekas hajatan di kampung mereka.
Pria dengan gaji honorer sebesar Rp 300,000,- harus menempuh perjalanan naik turun bukit agar bisa menjangkau dusun dusun terpencil. Kadang ia menginap di rumah muridnya untuk menghemat biaya penginapan.

Pendidikan bukan lagi monopoli guru atau pendidik resmi dari Pemerintah. Di daerah Papua seperti di Pulau Teflio, yang masih kabupaten Sorong, murid kelas I sampai VI diajar oleh 3 orang guru saja. Karena berada di pesisir, sekolah didirikan dalam bentuk rumah panggung. Siswapun cukup duduk lesehan bersama guru. Kekurangan guru dan jauhnya rentang wilayah, membuat Yayasan Kalabia mengoperasikan Kapal pendidikan Kalabia yang berlayar selama 20 hari dari setiap bulannya di seluruh pulau pulau di sekitar Raja Ampat. 10 hari sisanya digunakan untuk merawat kapal. Tiap kampung disinggahi selama 3 hari. Di dalam kapal, selain memutar film dan membekali dengan bacaan, anak anak diperkenalkan ciri khas ekosistem kelautan seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Ini merupakan kepedulian dengan terobosan kompetensi muatan lokal

Siapa sangka 76 tahun, jauh di pelosok Pulau Banda. Pendiri Republik kita, Hatta dan Syahrir telah memulai pengajaran yang memahami pribadi anak. Mereka, anak anak di Pulau Banda, cucu dan kemenakan Baadilla belajar membaca, sejarah, berhitung. Juga sopan santun sebagai pelajaran utama. Semangat perjuangan ditularkan dalam kegiatan permainan mereka. Om Kaca mata demikian Hatta kerap dipanggil, suatu mencat perahu dengan warna merah putih. Seorang pejabat setempat, orang Belanda mempertanyakan kegiatan yang berbau patriotic ini. Kenapa tidak ada warna biru setitikpun.
Hatta dengan tenang menjawab. “ Anda tahu sendiri, laut sudah berwarna biru “. Si pejabat pun manggut manggut dan ngeloyor pergi.
Syahrir pun menanamkan kecintaan terhadap tanah air, dengan membawa anak anak menuju pulau pulau kecil yang tersebar, sambil menunjukan luasnya Indonesia. Disana, di pantai yang sepi ia mengajarkan anak anak bermain sambil belajar bernyanyi lagu Indonesia Raya.

Bahkan dalam RAPBN 2013 dalam subjudul pendidikan murah yang terjangkau, masih dibuka dengan kalimat ‘ Sumber daya yang andal dan terdidik ‘. Padahal kata sumber daya manusia dalam prinsip kedua reformasi pendidikan telah diganti menjadi manusia sebagai subyek pembangunan yang seutuhnya.
Pendidik Utomo Dananjaya dari Universtitas Paramadina melihat konteks Presiden SBY menegur anak yang tertidur di depan umum sewaktu upacara Hari Anak Nasional, justru tidak memahami prinsip kebebasan anak. Anak anak yang lelah menunggu Presiden dari pukul 6 pagi, tentu berbeda dengan orang tua yang tahan menunggu berjam jam. Artinya sejak dinipun pemimpin kita justru tidak menghargai sifat dasar anak anak.

Bung Karno pernah sekali waktu menolak tekanan perusahaan Multinasional seperti Stanvac atau Caltex. Ia tak mau membuka lebih luas ladang ladang eksplorasi minyak di Indonesia, karena alasan sederhana. ‘ Saya menunggu Indonesia memiliki insinyur insinyur sendiri, sebelum saya mengijinkan memperluas pengeboran minyak “.

Kini kita bukan saja menghasilkan Insinyur, tapi dokter, sarjana hukum, ekonom, ahli pesawat terbang dan berbagai macam keahlian. Namun kita masih saja gagal menghasilkan pendidikan yang murah dan berkualitas.
Kita masih belum mampu menyediakan buku buku murah. Padahal rakyat yang gemar membaca sudah merupakan asset bagus bagi pendidikan. Kita bisa mencontoh India, yang bisa menghasilkan buku buku dengan harga sangat murah yang terjangkau masyarakat miskin.
Bagi pembuat kebijakan di negeri ini, memberi subsidi pada sektor konsumtif seperti bahan bakar, pangan atau infrastruktur. Jauh lebih menarik dan popular daripada memberi subsidi ke percetakan buku buku.

Bagi yang mampu, lebih rela mengirim anak anaknya belajar pada guru guru asing di sekolah Internasional atau sekolah sekolah plus. Sementara mereka, sebagian besar yang tidak mampu, hanya bersekolah ala kadarnya, sehingga tetap menjadi kuli pada akhirnya. Ironisnya pendidikan justru menciptakan jurang pemisah kelas kelas sosial di masyarakat.

Kita tak perlu ragu menerjemahkan ini. Soewardi Soerjadiningrat, lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta tahun 1922, sudah mengajarkan pola interaksi guru, masyarakat, keluarga. Ia memiliki prinsip pendidikannya yang terkenal berbunyi “ Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani “ artinya didepan masyarakat, guru memberi teladan, di tengah masyarakat membangun motivasi, dan di belakang mendorong semangat.

Guru memegang peran penting untuk melakukan fungsi pendidikan. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya dari Soewardi Soeryaningrat karena ingin menunjukkan perubahan sikapnya dari sosok pahlawan aktivis pergerakan nasional ke guru yang berjiwa ksatria. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi bermutu dalam pribadi dan rohani ( agama ), Tanpa harus menjadi pahlawan, Guru menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.

Menurut Ki Hajar Dewantara, manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia melalui pendidikan menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pendidikan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Ironisnya pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan karya dan karsa. Jika berlanjut terus hanya menjadikan manusia kaku yang tidak humanis.
Jika saja kita konsisten saja dengan semangat pendidikan Ki Hajar Dewantara sejak awal. Kita tidak akan melihat murid murid saling berkelahi tawuran di jalan jalan.

Mohammad Nur, terasing dan sepi dalam pengabdiannya di ujung daerah terpencil Pulau Sumbawa. Kita melihatnya jadi sebagai role model atau sosok keteladanan, baru kemudian menjadi fasilitator dan pendidik. Ia tidak perlu berkeluh kesah atau berpretensi sebagai pahlawan.
Tahun masa kini dan kedepan, akan membawa bangsa kita pada momen to be or not to be. Dengan pendidikan yang benar dan terarah, kita akan mempercayakan pengelolaan negeri ini pada anak cucu kita dengan bekal yang cukup. Jika semakin banyak guru guru dengan pengabdian seperti Muhammad Nur, reformasi pendidikan yang tidak setengah setengah dari Pemerintah, termasuk peningkatan kesejahteraan pengajar. Kita tak perlu cemas dengan hari depan bangsa kita.
Penerawangan Bung Karno pada awal tulisan ini bisa saja salah. Namun dengan pendidikan yang salah urus, menjadi kuli diantara bangsa bangsa bukan suatu hal yang mustahil. Semoga saja tidak.

You Might Also Like

14 Comments

  • ocha
    October 27, 2012 at 9:00 am

    mas… *speechless* :’)

  • Rere @atemalem
    October 27, 2012 at 9:27 am

    ada beberapa pendidik yang “rela” muridnya banyak nanya, banyak tau
    tapi banyak yang ketakutan sepertinya.

  • pramono
    October 27, 2012 at 9:58 am

    Susah mas. Sekarang hanya pengajaran yg dibatasi kurikulum. Sedangkan dept pengajaran gak ada. Yg ada pendidikan. Dan mendidik mental, mendidik jiwa skarang sgt kurang.

  • antyo
    October 28, 2012 at 12:04 am

    Saya makin bingung dengan dunia pendidikan di Indionesia. Yang saya lihat adalah kurikuka yang ama bertat sampai gurunya pun kewalahan.

    Di sisi lain, Malaysia yang dulu mengirim mahasiswanya ke sini sekarang malah bisa merayu orang Indonesia bersekolah di sana. India piunya universitas bagus, yang dosennya sederhana, masih mengajar dengan papan tiulis. Lalu sekolah swasta kaya Ngamrik masuk ke Lembah Silikon dengan cara ajar yang meminimalkan penggunaan komputer — lebih hebat SD di Indonesia kan?

  • DV
    October 29, 2012 at 7:46 am

    Nek menurutku, Mas… pendidikan di Indonesia masi dijadikan komoditi dan bukannya dasar untuk hidup. Kalau saja kita mampu mendongkel agama dari dasar hidup untuk sementara supaya dasar pendidikan masuk ke situ, mungkin ceritanya akan beda…

  • orbaSHIT
    October 29, 2012 at 4:55 pm

    kembali lagi ke etos kerja, mind set dari kebanyakan orang indo adalah HASIL bukan PROSES…maka tak heran produk yg keluar adalah kebanyakan orang2x yg bermental inlander dan sangat sulit berkompetisi secara global, contoh kecil hari gini masih banyak para sarjana berbondong-bondong daftar jadi PNS! daripada menjadi pengusaha….motif mereka satu yaitu uang PENSIUN 🙂 sudah diketahui polah tingkah para birokrat itu kek apa,mereka cenderung malas dan korup… nuff said

  • Kurnia Septa
    October 29, 2012 at 5:23 pm

    Semakin hari tantangan juga semakin bertambah, dulu tidak ada tivi, apalagi mainan yang berbasih teknologi canggih. Pasti semua punya plus minusnya, dulu dengan keterbatasannya pendidikan dianggap berhasil. Sekarang? permasalahan menjadi kompleks, penyelenggara pendidikan negeri ini kalau dikatakan kurang serius, ya itu adanya.

    Lalu tentang guru, memang yang satu ini punya peran penting sebagai ujung tombaknya. Mohammad nur, salah satu contoh guru yang tidak dan tidak mau terbelenggu dengan sistem pendidikan yang bisa dikatakan ‘sakit’ itu. Semua lebih banyak terjebak pada rutinitas, dan inovasi dianggap hal yang aneh. Semoga saja segera berubah, semuanya, ini sistem.

  • Rusdy
    October 29, 2012 at 6:39 pm

    Jadi inget artikel ini (http://www.bakadesuyo.com/2012/10/schools-workplaces-kill-creativity), maksudnya baik membuat sistem standar di seluruh negri, eh, malah jadi menghancurkan kreativitas masyarakat, guru dan murid. Mungkin ada baiknya sistem indo ini ancur…cur…cur jadi muncul pahlawan-pahlawan (yang sebenarnya) di daerah-daerah seperti cerita mas Iman di atas. Mengandalkan pemerintah pusat, yaaa keburu dijajah lagi (dalam bentuk lain tentunya)…

  • Acells
    November 6, 2012 at 2:43 pm

    Skrg punya uang byk baru bisa belajar di universitas negeri. Dan bukan suatu kebanggaan lagi utk kuliah disana. Kasihan yang otaknya mampu utk belajar disana, tp blom ada kesempatan utk masuk ke universitas negeri.

  • edratna
    November 23, 2012 at 6:45 am

    Yang ada di depan mata saya….dulu saya kuliah bersama teman dari Malaysia, Iran dan beberapa warga negara lain.
    Sekarang mahasiswa Indonesia ganti kuliah di Malaysia…..sedih deh rasanya.

  • Djajot
    December 1, 2012 at 10:54 am

    Nunggu REVOLUSI, lanjut chaos..

  • gurukecil
    December 1, 2012 at 2:44 pm

    Mas Iman, saya seorang dosen, tetapi lebih suka menyebut diri saya guru kecil. Yang pertama-tama harus kita lakukan adalah mengubah cara pandang bahwa pendidikan itu murah. Pendidikan adalah investasi masa depan, bukan hanya masa depan anak didik, tetapi masa depan bangsa. Bagaimana kita bisa mengaharapkan barang bagus bila kita ingin harganya murah? Harus bisa kita bedakan antara pendidikan yang murah dengan pendidikan yang terjangkau. Pendidikan yang murah berarti membiayai pendidikan dengan sekecil-kecilnya, pendidikan terjaangkau berarti sebaliknya, tetapi disertai dengan mekanisme yang memungkinkan orang miskin bisa mengakses pendidikan. Biaya pendidikan di universitas terkemuka di AS misalnya, amat sangat mahal, tetapi pemerintah menyediakan berbagai jenis beasiswa untuk memungkinkan anak orang tidak terlalu kaya, semacam Barack Obama dahulu, bisa masuk Harvard.

    Kedua, pendidikan dengan kurikulum berbasis kompetensi itu sebenarnya adalah pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang tidak lebih daripada bekualifikasi menjadi kuli. Pendidikan seharusnya bertujuan untuk memanusiakan manusia, untuk menghasilkan manusia yang mampu mengubah dunia (paling tidak dunianya sendiri). Saya mengalami sendiri bagaimana harus melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi ini. Dalam kurikulum ini, semuanya harus dimulai dengan panduan, materi pembelajaran harus disediakan dalam bentuk modul (dengan begitu mahasiswa tidak lagi merasa perlu membaca referensi). Kalau sudah begitu, di mana letaknya kreativitas, di mana inovasi? Dan Mas Iman jangan lupa, apa itu ujian nasional. Bagaimana filosofinya, bagaimana penerapannya. Tidak lebih daripada mengedepankan pencapaian kuantitatif yang tidak mencerminkan realitas di lapangan.

    Terakhir Mas Iman, kita sendiri, bangsa ini, sepertinya lebih bangga dengan gelar daripada kualitas diri sebagai manusia. Orang berbondong-bondong masuk perguruan tinggi karena perguruan tinggi memberikan gelar. Mas Iman tahu, mahasiswa saya sering meminta saya untuk menyetujui skripsinya begitu saja, supaya mereka segera bisa mengikuti wisuda dan memperoleh gelar? Dan begitu juga di kalangan dosen, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan untuk memperoleh gelar Master dan Doktor tetapi sesudah kembali bukannya menekuni bidang ilmunya, melainkan berebut jabatan struktural, entah menjadi dekan atau rektor.

    Sepertinya, masyarakat kita lebih mementingkan gelar akademik, daripada kualitas manusia yang ada di balik kementerengan gelar akademik yang sengaja dituliskan panjang-panjang. Sudah Prof masih juga harus mencantumkan Ir, M.Sc., dan Ph.D., padahal kita tahu bahwa untuk mencapai jabatan Prof orang harus berpendidikan S3. Selama kita lebih mementingkan gelar dan jabatan akademik maka pendidikan kita tidak akan ke mana-mana. Sebab setelah memperoleh gelar itu, entah dengan cara bagaimana, orang akan merasa tidak lagi perlu untuk belajar.

  • LMRoadWarrior
    December 28, 2012 at 10:24 am

    Masbro, as I tweeted to you a while ago, sekolahkan anak2 ke malaysia aja. From cost benefit stand point, jauh lebih worthed instead of sekolahin di indo..

  • ibas
    October 10, 2023 at 11:04 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*