( Hubungan PH dan Biro Iklan )
Minggu lalu seharian bersama Arswendo Atmowiloto menjadi juri buat Iklan iklan layanan masyarakat yang diselenggarakan KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Benar benar miris setelah berbicara dengan teman teman di KPK mengenai tingkat korupsi di Indonesia. Betapa menyedihkan kalau bangsa ini termasuk dalam sepuluh besar bangsa yang tingkat korupsinya terbesar di dunia, bersama Myanmar serta negara negara Afrika seperti Nigeria, Burgundi. Ada yang bilang, ah itu khan biasanya terjadi di departemen , proyek proyek pemerintah atau Bapenas. Jangan salah, justru di kalangan dunia advertising, korupsi ini terjadi dengan bentuk bentuk kolusi antara PH dan biro iklan. Saya berani bertaruh setidaknya lebih dari separuh dari PH PH yang ada di Jakarta melakukan praktek praktek KKN termasuk didalamnya uang sogokan dan under table money demi untuk mendapatkan job. Hal ini memang issue yang sensitive dan sudah sekian lama dibiarkan menjadi pola pola kerja sama yang lama kelamaan akan menghancurkan industri ini sendiri. Pada awalnya saya menduga, bahwa praktek ini dimulai dengan kesalahkaprahan PH PH ketika menempatkan dirinya sebagai supplier dan bukan sebagai partner dalam produksi..
Dimulai dari keinginan PH untuk membina hubungan yang langgeng dengan suatu biro iklan atau orang orang kunci di dalamnya, baik dalam bentuk services makan, entertainment atau uang perdiems sewaktu melakukan post di luar negeri. Saya pribadi melihat ini masih dalam bentuk koridor yang wajar wajar saja, toh memang hal hal ini bisa dilakukan sepanjang dengan kemampuan PH dan tidak ada paksaan. Saya atau teman teman produser dari PH sering clubbing bersama teman teman biro iklan, dan kami menikmati saat saat ini bersama sebagai bagian dari sosialisasi pertemanan, Sebagai sutradara juga kadang saya di jamu makan ke luar oleh post production sebagai bagian dari proses pemasaran mereka. Bahkan pernah dibayari dan ditanggung akomodasi bersama para sutradara lain untuk menghadiri Pameran Broadcast Asia di Singapore. Yang penting saya tidak pernah meminta uang atau bagian dari quotation PH jika saya membawa pekerjaan post ke tempat mereka. Buat di kalangan PH ini diawali dengan service PH yang berlebihan dan terkesan royal. Seorang creative director bule dalam sebuah post di Singapore pernah mengeluh kenapa kamarnya hanya standar sementara produsernya bisa menempati junior suite. Ini membuka peluang peluang yang diawali mungkin dengan pembayaran tagihan telpon, kiriman parcel ( ..eh parcelnya di kirim ke rumah aja ya, jangan ke kantor.,padahal parcelnya buat seluruh team di kantor ), lalu akhirnya yang paling parah berapa persentase yang bisa diberikan pada oknum oknum tersebut.
Inilah yang membuat rusak, kalau sudah ada deal deal sejumlah uang , atau komisi dari nilai quotation sebuah PH kepada agency. Nggak fair ! ini khan pekerjaan seluruh lini departemen dari traffic, client service, producer sampai creative. Lebih baik ngetreat party bareng dengan seluruh team di biro iklan. Ini akhirnya jadi serba salah, kalau tidak ada uang under table ke seorang oknum , job bisa bisa melayang. Mau dibiarkan, rasa rasa hati ini tidak rela, walaupun ini sebenarnya urusan produser, tetapi sebagai sutradara akan lebih bermanfaat jika uang tadi dialokasikan pada tambahan equipment, shooting days sehingga film iklan yang dibuat bisa lebih maksimal. Praktek ini sudah berlangsung lama dan tentu saja tidak ada yang mau melaporkan pada pimpinan biro iklan yang bersangkutan. Ya karena sudah dianggap biasa atau karena takut kehilangan job lagi. Pernah suatu malam saya mendapati seorang produser dari sebuah biro iklan yang pimpinannya adalah teman saya, sedang mengambil sebuah handphone PDA seri terbaru di kantor PH tempat saya bekerja. Goblognya si producer gaptek itu bukannya langsung pulang, tapi malah meminta producer saya mengajari cara pengoperasiannya. Si produser PH hanya cengar cengir kepada saya, ..β biasa man β. Lalu saya pernah ditelpon oleh seorang creative director dari biro iklan nasional, yang menanyakan apakah PH tempat saya pernah memberi uang kepada si produser biro iklan , tentu saja saya bilang tidak ( apakah ini bentuk kesetiaan ? ) walau saya tahu si produser itu gemar meminta bagian dengan alasan tactical fund untuk seluruh team. Akhirnya ada juga PH lain yang berani membuka suara sehingga si produser itu dipecat. Tidak hanya produser, ada juga Account Director yang meminta bagian 5 % dari total nilai job, dengan meminta jangan ditransfer ( mungkin ia takut bukti transfer bisa sebagai barang bukti ). Lalu bagaimana dengan orang kreatifnya, sami mawon. Ada teman kreatif yang meminta bagian dengan memintanya mentransfer ke rekening kakaknya ( mungkin dia tak mempunyai rekening tabungan sendiri ). Saya pernah ditelpon oleh seorang Creative Director, yang mengatakan bahwa akan ada job buat saya . Tentu saja saya berterima kasih. Tak lama kemudian datang sms dari dia,..β minta paket berapa saja buat gue..β tentu saja saya bingung, lho kok bukan produser yang mengurusi hal hal begituan. Mungkin dia malu berbicara dengan produser PH dan merasa lebih dekat dengan saya. Sampai sekarang saya masih menyimpan bukti transfer via ATM BCA itu, tentu bukan untuk dipublikasi, hanya disimpan buat collector items saja. Yang lebih parah kalau praktek ini dilakukan bersama sama secara team . Tidak percaya, ada creative director dan account manager ( atau account director ? ) yang sama sama mengambil uang jatah ke kantor PH. Kontan, masing masing 10 juta, mengantri di bagian keuangan, bersama sama supllier lainnya. Yang paling menyebalkan jika jatah bagian untuk oknum biro iklan itu hampir sama atau bahkan lebih tinggi dari production fee atau keuntungan si PH.
Memang tidak semua orang di biro iklan seperti ini, saya banyak mempunyai teman teman teman di kreatif, produser, dan client service yang memiliki integritas tinggi, jujur dan production result oriented. Namun gejala ini setidaknya menjadi pemikiran saya, betapa korupsi sudah berakar urat di segala system pekerjaan di Indonesia. Walau saya merasa seperti Don Qixot, saya juga bukan sok menjadi pahlawan dengan mengangkat topik ini, pasti ada yang terusik dan mungkin marah marah dalam hati. Bahkan kapok memberi saya job. Saya memang sudah mempertimbangkan semuanya, dan akhirnya dapat memahami apa yang pernah dialami Soe Hoe Gie, ketika ia merasa sendiri dan terasing dengan keterusterangannya.
6 Comments
maneka
November 13, 2006 at 3:35 pmjadi inget episode the simpsons waktu si bart kerja sama mafia dan dia jadi tahu kalau si walikota mayor quimby tuh korupnya minta ampun.ketika kamar si bart dijadiin t4 nyimpen rokok selundupan dan dia dijadikan kurir, si bart (kalau ga salah) ngomong gini : there’s no business like showbiz π
NiLA Obsidian
November 14, 2006 at 8:57 amsebenernya, hal ini juga berlaku antara PH dengan stasiun TV…
udah bukan rahasia lagi mas…sama aja kasusnya
10 th jd kuli di PH ceritanya udah aneh2 aja, malah katanya ada owner PH yg sdh nyekolahin anaknya direktur program sebuah st TV agar supaya programnya bs tayang (dibeli) oleh st tv tsb….
iiiiii….capppeeee ddeehhhh….
Micki Mahendra
November 20, 2006 at 11:07 amHehehe,…
apakah harus gitu>?
nggak kan ya?
kita boleh gak gitu kan ya?
atau itu hanya berlaku pada PH kecil seperti saya?
=)
salam
donnie
January 24, 2007 at 1:52 amsedih gue bacanya, di indonesia semua sendi kehidupan kayaknya gak lepas dari suap menyuap dan korupsi..:-(
Salam kenal Mas, saya senang baca tulisannya.
Tari
January 14, 2008 at 10:32 pmMas Iman,
kerja lurus jauh lebih nikmat….senikmat menerima penghasilan lurus hasil keringat sendiri….nggak perlu repot kasak-kusuk sana sini…
fuad
November 2, 2008 at 10:22 ammas, saya kebetulan lagi bikin thesis yg berkaitan dengan periklanan. dan saya butuh data kongkrit untuk budgeting iklan. apa saya bisa dibantu berapa budget rasional untuk iklan sebuah produk. mulai iklan tv sampai kalo hanya untuk iklan di billboard saja. tolong dikirimkan ke email saya ya mas?fuad_hw@yahoo.co.id thq b4..