Ada yang menarik dari kolom Humaniora Teroka harian Kompas hari ini. Sastrawan asal Jogja, Marwanto menulis konon, penetapan 28 April – tanggal wafatnya penyair angkatan 45, Chairil Anwar – sebagai Hari Puisi Nasional masih menjadi perdebatan
Lebih jauh ia menulis. Jasa terpenting Chairil Anwar adalah pendobrakan terhadap bahasa ungkap penyair sebelumnya ( baca : Pujangga Baru ). Dengan bahasa ungkap yang khas dirinya, lugas , tegas, padat dan langsung menghujam ke jantung hati para pembaca karyanya.
Bicara tentang puisi dan juga Chairil Anwar, sebenarnya siapa yang masih peduli ?
Puisi menjadi tidak penting karena manusia lebih mementingkan rasa laparnya dan mencari uang daripada sekadar mengisi ruang jiwanya dengan sebuah puisi. Apakah puisi bisa menjadi makanan bagi perut yang keroncongan.