Browsing Tag

Natal

Santa

…….He was dressed all in fur, from his head to his foot,
And his clothes were all tarnished with ashes and soot;
A bundle of toys he had flung on his back,
And he looked like a pedler just opening his pack.
His eyes—how they twinkled! his dimples, how merry!
His cheeks were like roses, his nose like a cherry!
His droll little mouth was drawn up like a bow,
And the beard on his chin was as white as the snow …….

A Visit from St. Nicholas, demikian Clement Clark Moor asal New York mendeskripsikan sosok khayalan dalam sajak menjelang Natal tahun 1822. Siapa sangka sosok ini kemudian menyebar dan merasuk ke dalam hidup orang Amerika. Ia menjelma menjadi Santa Clauss berkelana menggendong bungkusan berisi mainan, menjadikan icon yang digemari anak anak. Bahkan sampai di belahan bumi yang berjarak jauh dari Amerika, anak anak masih percaya untuk menaruh kaus kaki yang kelak akan diisi hadiah dari Santa.

Ternyata penggambaran Santa Claus tidak selalu seperti sekarang – pria periang berjanggut putih dengan kostum merah putih. Sebelum abad 20, ada yang menggambarkan Santa mengenakan kostum pemburu. Ia hadir menyerupai berbagai macam hikayat di Eropa. Ada yang mempercayai berasal dari Dewa Odin di Eropa Utara. Sebagian mempercayai Santa merupakan evolusi dari pendeta asal Turki, Saint Nicholas yang tentu saja badannya ramping mengenakan jubah uskup.

Santa juga berkolaborasi dengan budaya setempat, di Belanda Santa Clauss lebih dikenal dengan Sinterklass. Karena budaya kolonialisme saat itu. Sinterklass merasa harus dibantu ‘ bedinde ‘ pembantu bernama Peter, ‘ Zwarte Piet ‘ atau Peter Hitam. seorang budak Ethiopia yang telah dibebaskan. Sinterklass Belanda berkostum Uskup yang berbeda dengan Santa Claus Amerika.

Continue Reading

Pesan Natal dari Garuda didada

Suara gemuruh isi Stadion Gelora Bung Karno terlalu keras malam itu. Sorak sorai 88,000 manusia membahana bercampur dengan dentum kembang api dan bunyi pengeras yang memekakan telinga. Apa yang saya rasakan dan lihat dalam Piala AFF antara timnas melawan Philipina memang bukan sekadar pertandingan bola. Ini perwujudan sentimen kebangsaan yang menyeruak begitu saja setelah sekian lama terpendam.
Stadion kebanggaan ini sudah biasa menjadi saksi pertandingan pertandingan besar. Tapi terus terang tak ada yang begitu se-emosional seperti sekarang. Tiba tiba saya sadar bahwa kita masih memiliki sebuah entity yang dinamakan Indonesia.

Sudah lama kita merindukan kebanggaan kolektif atas bangsa ini, setelah terus menerus dianggap bangsa paria. Kita tak bisa apa apa melihat rakyat kita disiksa, dibunuh di negeri orang. Sekian lama kita cemas kalau bangsa kita terancam tak memiliki identitas lagi, setelah batik, lagu, makanan, tarian di klaim bangsa lain. Kita juga merintih sedih melihat pemimpin yang ragu ragu membela kepentingan rakyatnya.

Perjalanan bangsa ini semakin lama semakin mengalami pergulatan yang intens tentang penentuan jati dirinya sendiri. Barang kali para pendiri Republik ini tidak akan percaya bahwa kebinekaan yang sudah diusung sejak negeri ini didirikan terus tergerus. Orang orang yang diserbu dan diusir ketika sedang berdoa dalam gerejanya, dengan alasan tak memiliki izin administrasi. Issue dan simbol sebuah keyakinan minoritas terus dipertentangkan, sehingga pohon natal atau atribut sinterklas di mall mall dianggap sebagai ancaman.
Lembaga Agama atau organisasi massa tersebut mungkin melihat surga yang berbeda, dan keyakinannya yang kokoh membuat makna kemajemukan ini terasa getir. rapuh dan menyesakan.

Continue Reading

Solidaritas Natal

Natal memang bukan sekadar kesibukan umat kristiani. Semangat universalnya membuat semua orang ikut sibuk, terutama dengan sisi komersialnya. Para penjaga toko mengenakan topi sinterklas tersenyum menawarkan barang barang discount akhir tahun. Penjual terompet asal Lebak, berkumpul di depan gereja menunggu anak anak membeli terompet tahun baru sekalian.
Semangat pembebasan menyambut juru selamat, membuat hari ini adalah saat suka cita. Joy to the World. Film film Hollywood selalu menampilkan sisi natal dengan salju yang dingin sebagai momen rekonsiliasi. Ketika pasangan kekasih yang berpisah akhirnya bertemu pada malam natal yang syahdu.

Padahal tidak seindah itu semuanya, setidaknya lebih dari 2000 tahun lalu, ketika Maria yang tengah hamil tua dan Yusuf suaminya terseok seok, mencari penginapan di kota Betlehem. Kota yang penuh karena didatangi ratusan ribu orang dari seluruh tanah Yudea untuk menjalankan sensus penduduk yang diperintahkan Kaisar Agustus. Mereka sikut sikutan mencari penginapan.
Penolakan pemilik rumah menampung pasangan suami istri ini, tak membuatnya kesal apalagi marah marah. Mereka pasrah dan cukup senang menemukan sebuah kandang kambing, tempat bayi Yesus datang ke dunia.

Continue Reading

Natal yang universal

Tidak ada yang harus dipertanyakan mengapa orang tua saya memilih menyekolahkan di sekolah Katolik sejak kecil hingga bangku SMA. Jaman itu – belum ada sekolah plus – hanya sekolah Katolik yang terkenal dengan etos disiplin dan pendidikannya. Tidak ada penyesalan dan memang tidak seharusnya diperdebatkan. Sama seperti Ahmad Wahib yang memilih tinggal di Asrama Mahasiswa Realino Yogjayakarta yang diasuh oleh Pastur pastur londo. Padahal ia jebolan pesantren dan saat itu menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.
Barangkali pengalaman berbaur dalam kemajemukan orang orang yang berbeda telah membentuk ide besar tentang pluralisme. Di sekolah katolik itu ada anak anak tokoh komunis, gubernur, menteri sampai ketua partai Islam. Tionghoa, Jawa, Batak sampai peranakan blasteran.

Memasuki dunia Natal mereka dalam diorama panggung sekolahan selalu memberi kesan mendalam tentang arti pembebasan manusia. Karena miskinnya, Yusuf dan Maria yang hamil tua ditolak menginap dimana mana. Sampai menemukan sebuah kandang untuk tempat berteduh dan melahirkan bayi Yesus.
Syahdu dan menggetarkan, saat paduan suara menyanyikan Malam Kudus. Untuk sesaat membawa pada relung keheningan yang paling indah.

Continue Reading