“ Kami tidak meminta tentara sekutu mengakui Republik Indonesia. Kami hanya meminta anda untuk mengakui kenyataan, yaitu bahwa bagi perasaan rakyat suatu Repubik Indonesia dengan pemerintahnya telah berdiri.
Seluruh pegawai pemerintahan serta semua penduduk ( Indonesia ) siap sedia dalam membantu tentara Sekutu untuk menjaga ketertiban umum asalkan mereka ( penduduk ) tidak dilukai perasaannya. “
Demikianlah surat yang ditulis dan ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 1 Oktiber 1945 kepada panglima sekutu Timur Jauh ( supreme commander of the far eastern regions ) di Colombo.
Surat itu sebagai pernyataan politik dwitunggal tentang eksistensi negeri yang baru berdiri. Yang dimaksud ‘ melukai perasaan ‘ adalah bila tentara sekutu tidak menghargai hasrat bangsa Indonesia yang ingin hidup merdeka.
Kata Dwi tunggal memang mencerminkan hubungan dan kegiatan mereka. Semuanya dilakukan bersama, saling berkonsultasi sehingga saling mempercayai, sehingga apa yang dilakukan seseorang juga merupakan tangggung jawab lainnya.
Konperensi pers dilakukan berdua, termasuk datang ke rapat rapat. Ketika Sukarno menjanjikan surat wasiat ke Tan Malaka, ia berkonsultasi dengan Hatta sehingga Hatta merasa turut bertanggung jawab dengan memberikan perubahan.
Mereka berdua pula datang ke Surabaya untuk menenangkan rakyat disana yang berhadapan dengan tentara Inggris.
Ada semacam janji diantara mereka berdua, jika salah satu sedang di luar kota, maka pihak lain mengambil tanggung jawab yang sama. Ini menjelaskan pembentukan TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ) bisa ditangani Hatta bersama Oerip Sumohardjo. Lalu Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945, Manifesto Politik tanggal 1 November 1945 dan Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945.