Browsing Tag

mohammad hatta

Dwitunggal

“ Kami tidak meminta tentara sekutu mengakui Republik Indonesia. Kami hanya meminta anda untuk mengakui kenyataan, yaitu bahwa bagi perasaan rakyat suatu Repubik Indonesia dengan pemerintahnya telah berdiri.
Seluruh pegawai pemerintahan serta semua penduduk ( Indonesia ) siap sedia dalam membantu tentara Sekutu untuk menjaga ketertiban umum asalkan mereka ( penduduk ) tidak dilukai perasaannya.

Demikianlah surat yang ditulis dan ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 1 Oktiber 1945 kepada panglima sekutu Timur Jauh ( supreme commander of the far eastern regions ) di Colombo.
Surat itu sebagai pernyataan politik dwitunggal tentang eksistensi negeri yang baru berdiri. Yang dimaksud ‘ melukai perasaan ‘ adalah bila tentara sekutu tidak menghargai hasrat bangsa Indonesia yang ingin hidup merdeka.

Kata Dwi tunggal memang mencerminkan hubungan dan kegiatan mereka. Semuanya dilakukan bersama, saling berkonsultasi sehingga saling mempercayai, sehingga apa yang dilakukan seseorang juga merupakan tangggung jawab lainnya.
Konperensi pers dilakukan berdua, termasuk datang ke rapat rapat. Ketika Sukarno menjanjikan surat wasiat ke Tan Malaka, ia berkonsultasi dengan Hatta sehingga Hatta merasa turut bertanggung jawab dengan memberikan perubahan.
Mereka berdua pula datang ke Surabaya untuk menenangkan rakyat disana yang berhadapan dengan tentara Inggris.
Ada semacam janji diantara mereka berdua, jika salah satu sedang di luar kota, maka pihak lain mengambil tanggung jawab yang sama. Ini menjelaskan pembentukan TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ) bisa ditangani Hatta bersama Oerip Sumohardjo. Lalu Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945, Manifesto Politik tanggal 1 November 1945 dan Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945.

Continue Reading

Sumpah ( Korupsi ) Pemuda

Keputusan menggunakan bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda tahun 1928 ternyata membuat kebingunan para peserta. Mereka yang umumnya lebih paham bahasa Belanda merasa tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Salah seorang peserta, Sogondo Djojopuspito mencoba memakai bahasa Indonesia dalam pidatonya, namun penggunaan kalimat ‘ blepotan ‘ janggal tidak sempurna malah menimbulkan kebingungan dari peserta sidang. Sementara Siti Soendari, langsung memakai Bahasa Belanda dalam pidatonya. Ia mengakui tidak bisa berbahasa Indonesia.

Ada yang jauh lebih menarik, untuk pertama kalinya para pemuda ‘ memaksa ‘ dirinya menerima bahasa Indonesia sebagai simbol perjuangan melawan penjajahan. Setidaknya bagi mereka yang tidak bisa mengerti bahasa Indonesia, akhirnya meminta maaf sebelum memulai orasinya karena memakai bahasa Belanda.

Ini pengorbanan para pemuda untuk melepaskan identitas etnisnya , mencoba memakai bahasa baru yang justru asing bagi mereka. Sesederhana itu sebagai simbol komitmen pemuda untuk nasionalisme negerinya.
Saat itu cukup para pemuda bergotong royong mencari untuk memenuhi kebutuhan ‘ event organizer ‘ penyelenggaraan kongres. Maruto Nitimihadjo , sebagai mahasiswa Recht Hoge School dan ketua Club Indonesia di Kramat Raya Jakarta, ikut menyumbang sedikit dari pendapatan tambahannya mengajar kursus jurnalistik.
Muhammad Yamin karena sudah mengusulkan memakai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dalam kongres ini, Mau tidak mau, harus kerja keras sebagai ‘ volunteer ‘ menjadi penerjemah, bagi yang kurang mengerti bahasa Indonesia dengan baik.
WR Supratman juga tidak pernah berpikir, berapa honor yang harus diterima, untuk memainkan melodi ‘ Indonesia Raya ‘ didepan peserta Kongres.

Lalu yang diharapkan jika kelak negeri yang dinamakan Indonesia ini merdeka? Ketika impian para pemuda akhirnya tercapai. Tentu belum begitu dipikirkan bagaimana mengelola negeri ini demi kemakmuran rakyatnya. Apakah mereka para pemuda akan tetap tulus, ikhlas dan mengesampingkan kepentingan pribadinya dalam mengisi kemerdekaan.

Continue Reading