Browsing Tag

Miyabi

The Happy Hooker

Xaviera Hollander adalah seorang prostitusi yang akhirnya menjadi pemain kelas atas, di Eropa sekitar tahun 70 an. Gadis Belanda kelahiran Semarang itu, memiliki daya aura serta menjadi icon untuk dunia esek esek di seputaran Eropa saat itu. Bukunya ‘ Happy Hooker “ yang kelak di filmkan dalam kategori film biru dengan judul yang sama pula.
Dalam wawancara atau tampilan profilenya, ia tak sungkan menyebut tanah Indonesia, sebagai tempat masa kecilnya yang paling bahagia. Ia menggambarkan rawa pening, Ambarawa dan beberapa tempat di Jawa Tengah sebagai tempat yang akan didatangi lagi.

Xaviera memang menepati janji. Tidak hanya dia, anehnya justru pelanggannya serta orang orang Eropa juga berdatangan ke Indonesia. Hanya untuk jalan jalan dan plesiran beneran. Ketika Departemen Pariwisata masih belum ada, Xaviera sudah menjadi duta wisata tidak resmi bagi Indonesia.
Untung saat itu belum ada FPI atau yang orang orang self-proclaimed moralist – demikian penggambaran seorang kawan – untuk menolak kedatangan Xaviera.

Tiba tiba saja ingatan ini mencuat ketika artis porno Jepang – Miyabi – yang mendadak sontak menjadi pro kontra kedatangannya di Indonesia. Terlebih dengan rencana pembuatan filmnya.
Buat film porno ? tentu saja tidak. Yusuf Kalla mungkin lebih bijak, sepanjang datang ke Indonesia tidak membuat film porno, kenapa juga harus dipermasalahkan.
Anggap saja dia sebagai salah satu wisatawan yang membuang devisanya di Indonesia. Apalagi kalau dia bekerja disini, berarti dia bisa dipungut pajak. Syukur syukur dia seperti Xaviera Hollander. Turut mempromosikan Indonesia. Bukankah pasar Jepang adalah salah satu pengunjung wisata paling besar di sini.

Continue Reading

Antara Mbak Retno dan Miyabi

Ada dua tempat dimana saya sering berburu buku buku tua. Pertama, sebuah toko buku bilangan Cinere, dimana saya mendapatkan kumpulan tulisan Bung Karno – dari masa mahasiswa sampai pidato kenegaraan setiap 17 Agustus – dalam bundel tebal “ Di bawah Bendera Revolusi “ terbitan tahun 1964. Kedua, sebuah toko kecil di pojokan Pasar Festival, dimana saya mendapatkan kalender tahun 1966, kaset Chicha Koeswoyo, buku terbitan LPES tahun 80an, Album Cerita dari lima Benua, sampai buku buku lama cerita Winnetou.
Konon kata orang, sebuah karya tulis novel, roman, sastra ( termasuk film ) menunjukan peradaban suatu bangsa pada jamannya. Kata orang juga, semakin maju dan modern kita, semakin tipis batasan antara moral dan budaya. Tapi saya justru meragukan di negeri ini. Justru novel dan film film jaman dahulu lebih vulgar dan erotis daripada apa yang kita temukan jaman sekarang.

Continue Reading