Browsing Tag

Kartini

Apa agama Kartini ?

Jepara, October 1903
Modertje, my moedertje,say something to me, I am so utterly, utterly unhappy. Physically, spiritually broken, I have energy no more. For days already it is as if there is a fire in my head, as my heart is a burning bullet. I am assumed to be still alive, Is this living ? There are worse things then death. And when I am dead, what will that have achieved ? Nothing ! other than that I have obstructed some people, tripped them up in their egotism. …Oh my poor, poor dreams, my poor sisters.
The house is as though deserted, the bird no longer chrips, it is lying with broken wing, a broken heart, oh and a heart full of terrible, evil thoughts.
Do you despise me,yes ? -it is hard,but still bearable, but that I cannot respect myself, that I cannot bear.
My God have mercy, show me the way !

Ini penggalan surat yang saya baca dalam buku “ Letters from Kartini – Indonesian Feminist 1900 – 1904 “ yang diterjemahkan oleh Joost Cote. Bagaimana melihat seorang Pahlawan dengan pergulatan batin seperti itu. Kartini pada akhirnya tak menolak menjadi istri keempat seorang lelaki yang beda usianya 30 tahun serta sudah memilik 7 anak.
Sayapun menebak nebak, apa sesungguhnya agama Kartini. Karena dalam kegalauan di surat suratnya, ia banyak menyebut Tuhan.

Pramudya Ananta Toer, dalam bukunya ‘ Panggil aku Kartini saja – 1962 ‘ berusaha menggambarkan sosok seorang penganut sinkretisme Kejawen. Pram menulis, “ Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya kepada sesamanya yaitu masyarakat “
Tidak salah karena Kartini mengatakan dalam terjemahan Joost Cote diatas.
“ We say that we trust in God and that is what we will maintain. We want to serve God and not people. If we listen to people then we worship people and not God.” (Kartini, 12 Oktober 1902 )

Menurut Kartini, “ tolong menolong dan cinta mencintai , itulah nada dasar segala agama. Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun Islam “.

Continue Reading

Masih Kartini

Saya lupa tahun berapa persisnya, antara 2005 atau 2006. Di sela sela sebuah produksi syuting seorang penata kostum – wardrobe stylist – berbisik kepada saya. “ Mas, kalau ingin memakai pemain yang berani berani, pakai dia saja “.
Maksudnya berani adalah mau melakukan adegan seronok. Tapi hampir mustahil ada adegan itu dalam film iklan. Kecuali di layar lebar. Ia lalu menunjuk ke arah, seorang pemain wanita figuran. Bertubuh ranum, dada bohay sambil menatap tajam. Tanpa malu malu.
Crew saya itu juga meneruskan kalau si wanita itu ingin sekali menjadi seorang bintang. Sambil tertawa kecil, Ia menggoda bahwa si wanita itu akan melakukan ‘ apa saja ‘ agar kariernya bisa cemerlang. Tapi saya tak tergoda. Saya justru penasaran dengan gadis indo cantik, keturunan Eropa Timur yang menjadi penata kostum saya. Eh…

Semua orang memang memiliki mimpi dan ambisi. Saya juga. Sampai sekarang saya masih kesal dengan skenario dan persiapan layar lebar yang selalu tertunda karena kesibukan di film iklan. Masih mimpi yang tertunda.
Karena ini hari Kartini, maka ingatan tentang seorang gadis asal Jepara yang masih ingin sekolah dan menunaikan mimpi mimpinya. Tak mungkin, karena surat Ayahnya kepada JH Abendanon tgl 13 September 1903, mengatakan “ kami percaya dan yakin bahwa anak kami akan berada dalam tangan yang tepat , seorang bupati Rembang yang kami dan Kartini hormati “
Keputusan telah dibuat, perkawinan Kartini akan dilakukan tanggal 8 November, demikian sang ayah menutup suratnya.

Continue Reading

Braga malam itu

Braga senja itu masih basah karena sisa hujan sepanjang sore. Bau basahnya meresap masuk ke batu batu jalanan yang membelah diantara toko toko bergaya art deco. Dingin dan melankolis.
Syuting baru saja selesai di sebuah pojokan Jalan Asia Afrika, di tepi bangunan kolonial di atas bantaran Kali Cikapundung yang airnya coklat bergemuruh menerima curahan air hujan. Saya memutuskan berjalan kaki menuju hotel, melewati Jalan Braga. Membiarkan udara malam membelai mesra pori pori kulit sambil mampir ke sebuah café pimggiran jalan, untuk segelas susu hangat.

Seorang pengamen pesinden memakai sanggul berkebaya mengingatkan hari Kartini sebentar lagi. Malam ini pasti tak sedingin malam di Jepara. Saat sang gadis masih belum bisa mengeringkan air matanya. Bayangan seorang pria, gemuk, beristri tiga menghantui malam malam sepinya di kamar. Ia harus menemani pria berumur itu seumur hidup. Apa yang harus dilakukan ?

“ Modertje, my moedertje, say something to me, I am so utterly, utterly unhappy. Physically, spiritually broken. I have no energy no more . For days already it is as if there is a fire in my head, as if my heart is a burning bullet“.

Demikian terjemahan penggalan suratnya pada bulan October 1903. Tak ada tanggal pasti, namun catatan harian itu datang setelah Ayahnya mengirim surat pemberitahuan kepada JH Abendanon tanggal 13 September 1903.

“…The regent of Rembang is someone whom we and Kartini also, respect highly and to whom we can entrust our child in fullest confidence, convinced that she would be in the best of hands…”
Keputusan telah dibuat, perkawinan Kartini akan dilakukan tanggal 8 November, demikian sang ayah menutup suratnya.

Continue Reading

Momen yang hilang

Hari minggu ini, Abel – anak lanangku – menunjukan tulisan untuk tugas sekolahnya. Sebuah karya tulis mengenai RA Kartini yang ditulis dalam bahasa Inggris. Tentu saja grammaticalnya masih berantakan disana sini. Ndak masalah. Ada yang jauh lebih menarik, bahwa ia bisa menuangkan sebuah ide tulisan dari berbagai sumber tulisan yang dibacanya. Lihat saja, saya bisa merasakan kepedihan seorang Kartini karena tidak bisa melanjutkan sekolah. Apatisnya menghadapi hidup, bahkan ceritanya bisa menyambar ke sosok Agus Salim.
Untuk kesekian kalinya saya kehilangan moment moment pertumbuhannya dengan sebuah alasan klise. Kesibukan dan selalu di luar. Sepertinya tiba tiba ia sudah bisa bicara, lalu sebuah lompatan lagi ketika melihatnya sudah bisa berjalan. Lalu saya juga tak tahu kapan ia belajar komputer, tiba tiba saya menemui ia sudah duduk browsing di internet mencari kunci kunci rahasia untuk permainan Play Stationnya. Kini ia sudah bisa mengarang tulisan.
Ah, sungguh kesia siaan. Sekonyong konyong saya mengutuk diri sendiri.

Continue Reading