Saya lupa tahun berapa persisnya, antara 2005 atau 2006. Di sela sela sebuah produksi syuting seorang penata kostum – wardrobe stylist – berbisik kepada saya. “ Mas, kalau ingin memakai pemain yang berani berani, pakai dia saja “.
Maksudnya berani adalah mau melakukan adegan seronok. Tapi hampir mustahil ada adegan itu dalam film iklan. Kecuali di layar lebar. Ia lalu menunjuk ke arah, seorang pemain wanita figuran. Bertubuh ranum, dada bohay sambil menatap tajam. Tanpa malu malu.
Crew saya itu juga meneruskan kalau si wanita itu ingin sekali menjadi seorang bintang. Sambil tertawa kecil, Ia menggoda bahwa si wanita itu akan melakukan ‘ apa saja ‘ agar kariernya bisa cemerlang. Tapi saya tak tergoda. Saya justru penasaran dengan gadis indo cantik, keturunan Eropa Timur yang menjadi penata kostum saya. Eh…
Semua orang memang memiliki mimpi dan ambisi. Saya juga. Sampai sekarang saya masih kesal dengan skenario dan persiapan layar lebar yang selalu tertunda karena kesibukan di film iklan. Masih mimpi yang tertunda.
Karena ini hari Kartini, maka ingatan tentang seorang gadis asal Jepara yang masih ingin sekolah dan menunaikan mimpi mimpinya. Tak mungkin, karena surat Ayahnya kepada JH Abendanon tgl 13 September 1903, mengatakan “ kami percaya dan yakin bahwa anak kami akan berada dalam tangan yang tepat , seorang bupati Rembang yang kami dan Kartini hormati “
Keputusan telah dibuat, perkawinan Kartini akan dilakukan tanggal 8 November, demikian sang ayah menutup suratnya.