Suatu waktu kedamaian ndaleman komplek ibu saya terusik. Stabilitas terganggu karena adanya goro goro di kalangan bawah. Dari pembantu rumah tangga, babu dan batur. Selama ini bekerja di lingkungan yang isinya pensiunan dan orang orang tua semua memang enak. Tidak repot. Nggak ada anak anak pathing pecicilan. Jadi pekerjaan rumahnya sedikit dan sisa waktu bisa dipakai untuk ngerumpi, arisan dan duduk duduk antar sesama wong cilik.
Ternyata sumber goro goro atau huru hara ini, sejak tetangga sebelah rumah ibu memiliki pembantu baru.
Lelaki pasundan asal desa Ciwedey. Bernama Nana berkulit putih dengan senyum nan kasep.
Berhubung hampir sebagian besar pekerja urban di lingkungan kami adalah wanita, tentu saja Nana menjadi pusat perhatian.
Ada yang mentraktir baso. Ada yang membelikan pulsa handphone. Tentu saja Nana pintar menggunakan kesempatan ini.
Suara suara resah dari ibu ibu warakawuri, bapak dan simbah pensiunan karena ritme pengabdian para wong ciliknya berubah. Pak Jogoboyo pensiunan duta besar itu misuh misuh karena pembantunya yang asal Weleri sering lupa menyiapkan penganan sore sore. Ibu saya juga marah marah karena kran air lupa dimatikan, ditinggal sang babu – yang lari tinggal glanggang colong playu – setelah mendapat sms dari babu sebelah bahwa Nana sedang berduaan dengan Waginem asal Gunung Kidul.
Browsing Tag