Abu Maksum mungkin bisa menceritakan perjalanan hidupnya membela partai Islam di Indonesia. Dia Kiai kampung pinggiran kota Jakarta yang pada jaman orba setia membela partai Kabah. PPP. Apalagi ketika Jakarta tahun 1977 dimenangkan oleh PPP, dan Pemerintah Pusat menghukum mereka yang tidak memilih Golkar, dengan derap pembangunan yang tidak menyentuh kampungnya di dekat Mampang Prapatan. Seperti jalanan becek tidak beraspal.
Ia sadar bahwa orde baru memberangus ide ide Islam dalam politik termasuk menembaki mereka dituduh fundamentalis. Untuk itu Abu Maksum sangat benci kepada Soeharto. Dia menganggap Soeharto sebagai simbol kekuasaan kebatinan Jawa yang berlawanan dengan syariat.
Sampai suatu hari Soeharto naik haji dan menambahkan Muhammad didepan namanya. Soeharto juga membentuk organisasi cendikiawan Muslim. Bahkan dalam malam takbiran di Monas. Soeharto dengan suara serak terbata bata melantunkan takbir. Abu Maksum melihat dari siaran TV, serta merta bersujud. Dia bukan lagi Abu Maksum yang membenci Soeharto. Dia mencintai Soeharto.
Abu Maksum adalah potret dari jutaan umat muslim masih mementingkan perjuangan simbolis. Dengan kepentingan politik siapapun. Orang bisa memanipulasi orang orang seperti Abu Maksum. Datanglah kepada mereka dengan sorban dan berbicaralah dengan mengutip ayat ayat Al Qur’an dan Hadits. Mereka akan menaruh respek yang luar biasa, sekalipun sebelumnya anda membunuhi umat Islam. Rhoma Irama bisa mewakili ini juga. Setelah melihat rekonsiliasi Soeharto dengan Islam, Bang Haji bersedia menjadi jurkam Golkar pada pemilu 1997.
Dulu orde baru menganggap partai Islam sebagai barang terlarang. Jaman berubah. Kini muncul partai tanpa rasa kikuk menggunakan Islam sebagai asas. Bagi kalangan minoritas, fenomena itu tak perlu ditakutkan. Pertama karena penduduk Indonesia beragam, maka tak ada yang bisa menguasai Republik ini sendirian. Maka diperlukan loyalitas warga untuk mengikat ‘ rumah ‘ Indonesia, bukan dalam ikatan agama tapi pertalian ragam kelompok.
Kekuatan beberapa partai Islam bukan merupakan kekuaatan yang monolistis. Banyak tokoh atau umat Islam sendiri tidak masuk dalam partai Islam apapun. Ini menunjukan mitos “ ukhuwah ‘ Islam akan terus kuat dan berbentuk dalam beberapa wujud. Tidak harus dalam kesamaan platform politik. Dalam keadaan itu menuduh yang berbeda dengan ‘ kafir ‘. “ murtad ‘ atau ‘ halal darahnya ‘ tidak akan selalu laku.