Semalam saya ngelakoni sebagaimana budaya orang Jawa. Berserah diri kepada Tuhan, ikhlas dan mendoakan leluhur kami di makam Astana Mangadek Karang Anayar, Solo yang diteruskan menuju Makam Raja Raja Imogiri, Yogyakarta. Kebetulan malam itu jatuh pada Selasa Kliwon. Hari yang baik.
Menjelang subuh, sebelum sholat subuh. Prosesi tahlilan di Imogiri selesai. Sambil tertatih tatih karena harus mengenakan pakaian beskap komplit, saya bersama keluarga menuju pintu gerbang keluar area makam Sultan Agung. Mengikuti rombongan abdi dalam yang membawa petromak.
Beda dengan petilasan Eyang Samber Nyowo di Karang Anyar yang bersih, terang dengan lampu lampu. Disini, di puncak bukit Imogiri cenderung gelap. Hanya cahaya bulan purnama yang menerangi, membuat silhoute yang magis diantara bangunan makam dan pohon pohon besar di sekitarnya.
Saya mendongak ke langit. Langit terang menyinari arak arakan awan yang sekelebat menutupi bulan penuh. Indah sekali sekaligus sakral. Tiba tiba saya teringat hari ini adalah 1 Juni. Hari lahirnya Panca Sila. Apakah masih sesakral itu Panca Sila ?
Beda dengan kesakralan makam raja raja Imogiri yang hidup dalam budaya Jawa sebagai simbol tradisi. Tak pernah luntur dalam hiruk pikuk jaman. Sementara pernah suatu waktu Panca Sila dianggap sakral dan menakutkan. Ya salah penguasa waktu itu, karena saya yang tumbuh besar dalam orde baru lebih percaya Panca Sila sebagai dogma. Tidak pancasilais berarti bisa kena cap stempel tidak bersih lingkungan, atau yang lebih parah menentang pemerintahan sah.