Browsing Tag

Ahmad Wahib

Santa

…….He was dressed all in fur, from his head to his foot,
And his clothes were all tarnished with ashes and soot;
A bundle of toys he had flung on his back,
And he looked like a pedler just opening his pack.
His eyes—how they twinkled! his dimples, how merry!
His cheeks were like roses, his nose like a cherry!
His droll little mouth was drawn up like a bow,
And the beard on his chin was as white as the snow …….

A Visit from St. Nicholas, demikian Clement Clark Moor asal New York mendeskripsikan sosok khayalan dalam sajak menjelang Natal tahun 1822. Siapa sangka sosok ini kemudian menyebar dan merasuk ke dalam hidup orang Amerika. Ia menjelma menjadi Santa Clauss berkelana menggendong bungkusan berisi mainan, menjadikan icon yang digemari anak anak. Bahkan sampai di belahan bumi yang berjarak jauh dari Amerika, anak anak masih percaya untuk menaruh kaus kaki yang kelak akan diisi hadiah dari Santa.

Ternyata penggambaran Santa Claus tidak selalu seperti sekarang – pria periang berjanggut putih dengan kostum merah putih. Sebelum abad 20, ada yang menggambarkan Santa mengenakan kostum pemburu. Ia hadir menyerupai berbagai macam hikayat di Eropa. Ada yang mempercayai berasal dari Dewa Odin di Eropa Utara. Sebagian mempercayai Santa merupakan evolusi dari pendeta asal Turki, Saint Nicholas yang tentu saja badannya ramping mengenakan jubah uskup.

Santa juga berkolaborasi dengan budaya setempat, di Belanda Santa Clauss lebih dikenal dengan Sinterklass. Karena budaya kolonialisme saat itu. Sinterklass merasa harus dibantu ‘ bedinde ‘ pembantu bernama Peter, ‘ Zwarte Piet ‘ atau Peter Hitam. seorang budak Ethiopia yang telah dibebaskan. Sinterklass Belanda berkostum Uskup yang berbeda dengan Santa Claus Amerika.

Continue Reading

Natal yang universal

Tidak ada yang harus dipertanyakan mengapa orang tua saya memilih menyekolahkan di sekolah Katolik sejak kecil hingga bangku SMA. Jaman itu – belum ada sekolah plus – hanya sekolah Katolik yang terkenal dengan etos disiplin dan pendidikannya. Tidak ada penyesalan dan memang tidak seharusnya diperdebatkan. Sama seperti Ahmad Wahib yang memilih tinggal di Asrama Mahasiswa Realino Yogjayakarta yang diasuh oleh Pastur pastur londo. Padahal ia jebolan pesantren dan saat itu menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.
Barangkali pengalaman berbaur dalam kemajemukan orang orang yang berbeda telah membentuk ide besar tentang pluralisme. Di sekolah katolik itu ada anak anak tokoh komunis, gubernur, menteri sampai ketua partai Islam. Tionghoa, Jawa, Batak sampai peranakan blasteran.

Memasuki dunia Natal mereka dalam diorama panggung sekolahan selalu memberi kesan mendalam tentang arti pembebasan manusia. Karena miskinnya, Yusuf dan Maria yang hamil tua ditolak menginap dimana mana. Sampai menemukan sebuah kandang untuk tempat berteduh dan melahirkan bayi Yesus.
Syahdu dan menggetarkan, saat paduan suara menyanyikan Malam Kudus. Untuk sesaat membawa pada relung keheningan yang paling indah.

Continue Reading