Ibu saya sangat bangga menjadi seorang Soekarnois. Dalam ruang keluarga kami ada sebuah photo besar Bung Karno. Tersenyum gagah dan charming. Salah satu yang membekas untuk diceritakan pada anak anaknya adalah saat saat menjelang mangkatnya sang Proklamator. Melalui koneksi kenalan ‘ orang dalam ‘ orang tua saya bisa menjenguk Bung Karno, menembus karantina yang dilakukan penguasa orde baru di Wisma Yaso ( sekarang Museum Satria Mandala ).
“ Pak Karno disio sio …” ucapnya kala itu.
Artinya, Soekarno betul betul disia siakan, diasingkan dan tidak diurus selayaknya mantan pemimpin besar. Saat itu beliau sakit keras. Kamar tidurnya yang kotor dan suram. Sementara di ujung ada meja kecil berdebu, dengan aneka toples, kotak obat obatan serta termos. Padahal Bung Karno sangat menyintai kebersihan, kerapihan.
Rumah tahanan yang sangat luas itu terasa murung dan mencekam, demikian ibu saya mengingatnya.
Prof Mahar Mardjono – bekas rektor UI – juga dokter kepresidenan saat itu, mengakui betapa sulitnya menembus Komkamtib untuk meminta obat obatan dan bantuan alat alat kedokteran untuk dipasang di Wisma Yaso. Jangankan obat, lalatpun harus minta ijin untuk bisa memasuki area sangkar emas Bung Karno. Sehingga Guntur Soekarnoputra harus diam diam menyelundupkan kamera photonya untuk memotret ayahnya.
Seorang Soekarno juga diharamkan membaca koran, mendengarkan radio apalagi melihat televisi. Ia dilarang menerima kunjungan bahkan bercakap cakap dengan tukang kebunnya. Ia juga tak boleh jalan jalan di halaman atau taman yang luas disekitar Wisma Yaso, para polisi militer dengan serta merta memintanya untuk kembali ke dalam rumah.
Bung Karno pernah mengeluh, betapa kasarnya perilaku Letkol. Norman Sasono – kelak Pangdam Jakarta Raya – sebagai komandan POMAD ABRI ( Setelah Cakrabirawa dibubarkan ) yang bertugas mengawasi Soekarno.
Kata katanya tidak sopan dan sama sekali tidak menghargai orang tua.
Karantina politik itulah yang membunuh Soekarno. Perlahan lahan dan tragis.
Ibu saya bisa menangis jika menceritakan tentang itu. Suaranya bisa bergetar. Ia tidak bisa menerima pemimpin besarnya disio sio.
Namun sejarah selalu memihak. Lebih dari dongeng. Penguasa orde baru saat ini juga tergolek kesakitan tak berdaya. Bedanya, adalah semua orang tiba tiba sangat concern padanya. Sejumlah alat alat kedokteran canggih didatangkan malam itu juga dari Singapura, ketika kondisinya semakin memburuk. Politisi, ketua partai, mantan pejabat, artis, jenderal, ulama, bergantian menengoknya.
Soeharto tiba tiba menyihir seluruh negeri. Ada yang meminta kesalahannya diampuni, tuntutan hukumnya dicabut, disamping doa doa kesembuhan dari pojok desa Kalitan Solo. Bahkan Presiden republik ini harus meluangkan waktu membuat konperensi pers menjelaskan kronologis kesehatan Soeharto.
Revolusi selalu memakan anak anaknya sendiri, termasuk dua tokoh ini. Soekarno terjebak dalam permainan ‘balancing’ kekuasaan antara komunis , nasionalis dan Islam. Meninggalkan hutang negara 2 milyar dollar yang sebagian besar berupa pembelian persenjataan dan pembangunan gedung dan proyek mercusuar. Menjadikan sebuah Indonesia yang besar di segani.
Soeharto menjadi Machiavelli, sebelum tergusur karena keserakahan. Meninggalkan hutang negara hampir 200 milyar dollar yang sebagian besar lari kepada kroni kroninya. Ironisnya membuat Indonesia menjadi bangsa paria, miskin dan terjajah kembali.
Soeharto sebenarnya kesepian. Hanya seorang prajurit asal Bali bekas anggota paspampres yang kini menemai hidupnya sehari hari.
Ia sesungguhnya berharap orang orang tidak bersusah payah mempertahankan hidupnya. Soeharto tahu semua ini hanya pura pura.
Menjelang akhir hidupnya, Soeharto merasa kekayaan yang melimpah ruah, dan rumahnya yang asri di Cendana hanya sebuah penjara dalam kesendirian. Kekuasaan dalam tingkat tertentu menjadi kesepian. Dalam kesendiriannya, anak anaknya berantakan kehidupan rumahtangganya , serta hujatan dimana mana. Ia justru bisa jadi ingin seperti pendahulunya, cepat cepat meninggalkan dunia yang fana.
Setidaknya dia tidak disio sio. Negeri ini tidak mau kehilangan orang tua itu.
97 Comments
Mualaf Menggugat
January 11, 2008 at 11:58 amInsya Allah, suatu saat nanti Indonesia akan menjadi bangsa yang hebat. Bukankah Sukarno sendiri sudah bilang, bangsa yang hebat tidak akan adem ayem saja, tapi akan ditimpa oleh kesulitan-kesulitan yang datang terus menerus. Sampai akhirnya nanti, bangsa ini sudah sangat besar dan hebat. Rakyatnya pun sejahtera.
Suatu saat nanti.
rozenesia
January 11, 2008 at 12:37 pmPenelusuran alur yang mantap, mas. 🙁
…apa ini bentuk dari “belajar dari kesalahan masa lalu”? Atau bagaimana…
didut
January 11, 2008 at 12:40 pmhmm…. semoga pemimpin yg tepat akan datang ke negara ini suatu saat nanti
trian
January 11, 2008 at 12:47 pmsebenarnya bukan karena adil atau tidak adil, tapi memang zaman yang sudah berubah.
entah bangsa kita yang sangat pemaaf atau bagaimana, yang jelas soeharto ‘melakukan’ kekerasan terhadap bangsanya sendiri, benar-benar tidak realistis.
jika tentang menghargai, orang-orang yang tewas itu yang tidak terhargai. soharto boleh meninggal, tapi penentapan dirinya sebagai ‘tersangka’ itu topik yang berbeda.
jeng endang
January 11, 2008 at 1:19 pmkembali pada nurani……..kembali pada nurani…..kemanusiaan akan musnah tanpa nurani,,,,,,
mr.bambang
January 11, 2008 at 2:58 pmKayakanya tadi malam pernah dengar cerita ini ya..halahh
Ya sebagai negara yang baik hati tidak sombong, kita maapkan aja dah kesalahan dia. Tapi ya itu, utang-utangnya harus segera dilunasi. Dan kalau memiliki suatu kejahatan, juga harus diproses secara hukum. Kalau tidak?? ya…. kemungkinan hukum di Indonesia ini akan terus begini dari dulu sampai nanti…
Dan kalau hukum di dunia tidak mampu untuk menjerat, harapan terakhir ya hukum akhirat yang pasti adil
Dony
January 11, 2008 at 3:02 pmYa, saya juga pernah dengar cerita tentang hari2 terakhir Sukarno itu. Sukarno maupun Suharto, keduanya memang tak sempurna.
Soal “memaafkan” itu khan musti jelas dulu apa yang mau dimaafkan, karena memaafkan tentu tak bisa lepas dari apa kesalahan yang telah diperbuat. Setidaknya kesalahan itu musti diselidiki dulu, jadi soal memaafkan adalah urusan belakangan.
komikus keren
January 11, 2008 at 3:29 pmsoekarno itu tokoh yang menggetarkan, soeharto tokoh yang menggemaskan … 😀
Friendly Centre
January 11, 2008 at 4:28 pmSemoga bisa memposisikan persoalan yang ada dengan tepat agar tidak menyebar ke hal lain yang tidak ada hubungannya…
kw
January 11, 2008 at 4:33 pmandai saya jadi penguasa…..
aku tak akan melakukan kesalahan dua tokoh itu. 🙂
darma
January 11, 2008 at 4:45 pmMohon maaf mas Iman, ada sedikit koreksi sejarah, saya rasa ini perlu meskipun mungkin buat sebagian orang tidak penting. Pak Norman Sasono yang ketika itu ditugaskan sebagai Komandan Pengawal Presiden Soekarno menggantikan Resimen Tjakrabirawa yang dibubarkan bukan berasal dari POM ABRI karena tahun itu ABRI belum ada, tiap Angkatan masih berdiri sendiri sendiri dan masing masing Kepala Staf Angkatan adalah Menteri. Pak Norman Sasono adalah Komandan Batalyon Pomad Para ( Yon Pomad Para ) dengan pangkat Letnan Kolonel CPM bukan Mayor CPM, Yon Pomad Para yang berasal dari Angkatan Darat inilah yang ditugaskan untuk mengawal Presiden Soekarno menggantikan resimen Tjakrabirawa yang dibubarkan.
Saya mengetahui proses “tahanan rumah ” terhadap Presiden Soekarno karena mendengar cerita dari ayah saya yang kebetulan adalah teman dari mantan ADC ( Ajudan ) Presiden Soekarno yang berasal dari kesatuan CPM. Teman ayah saya bisa mendapat akses karena Pak Norman Sasono adalah mantan anak buahnya di CPM, teman ayah saya waktu itu pangkatnya sudah Kolonel CPM. Kalau cerita yang saya terima dari ayah saya kejadiaannya memang seperti yang mas Iman jelaskan, apakah mas Iman dari keluarga militer juga sehingga bisa mendapat akses ke Presiden Soekarno?
iman brotoseno
January 11, 2008 at 4:50 pmWah ada Pak Walikota Palembang yang mau turut berkomentar di rumah saya.
Mari selamat datang, tentu saja saya memang berpretensi menulis postingan agar menjadi bagian proses pembelajaran sejarah peradaban bangsa kita. Menurut saya justru persoalan ini sangat tepat, dan menjadi bias karena kita selalu menutupi sejarah. Ini adalah sebuah pilihan. Dan saya menghargai pilihan anda menjadi bagian dari birokrat, betapapun sulitnya itu.
Tentu saja sebagai pimpinan, anda sangat memahami untuk bisa memberikan sebuah pencerahan kepada bangsa ini.
Maju terus Wong Kito..!
rey
January 11, 2008 at 4:50 pmyang jelas suharto sakti, hari ini heboh diberitakan sakit keras dan kritis, besoknya sudah bisa makan bubur sambil senyam senyum. Tapi seharusnya dia deg2an, soalnya di dunia ndak sempet diadili tho, berarti langsung diadili di akhirat, dan itu pengadilannya lebih seraaammm… o sraaammm… Dia takut ndak yaa?? 🙂
caplang[dot]net
January 11, 2008 at 4:52 pmtadi pagi trans tv juga ngebahas ini 😀
herannya kok presiden yg skarang sampe bikin konprensi pers yak?
iman brotoseno
January 11, 2008 at 5:04 pmDharma,
terima kasih atas koreksi, maskud saya memang POMAD…
apakah teman ayah anda ( waktu itu ) Mayor AL Guritno ? Ajudan terakhir Bung Karno. Karena hampir mustahil Kol. Bambang Wijanarko atau AKBP Mangil.hehe
mengenai keluarga saya ? hanya bagian kecil dari saksi sejarah saja .
Salam !!
kombor
January 11, 2008 at 5:26 pmSaya sedang menunggu. Apakah pengiring Soeharto nanti akan sebanyak mereka yang mengiring almarhum Sultan HB IX dari Kraton sampai Imogiri.
Mari kita sama-sama tunggu.
zen
January 11, 2008 at 6:42 pmPram sedang menunggunya. Di sana. Entah di mana….
Hoek Soegirang
January 11, 2008 at 7:02 pmnyhoooo??? saia jadi merasa gimana gitu, saat ngliat perbandingan yang mas iman berikan, antara soekarno dan soeharto…
cih…endonesa emang benul-benul sudah melufakan sejarah…
Aris
January 11, 2008 at 7:07 pmDari Suharto, para pemimpin dan kita semua mestinya belajar bahwa kekuasaan itu tidak seumur hidup. Ada masanya menjabat dan ada saatnya menepi. Karenanya ketika menjabat, hendaknya kekuasaan yang dimiliki jangan dipergunakan untuk menanam bibit kebencian, yang buntut2nya bakal menyusahkan diri dan keluarga pada akhirnya.
Btw bagian penutupnya agak aneh “Negeri ini tidak mau kehilangan orang tua itu”, benarkah ? atau maksudnya “orang2 di sekeliling Suharto yang justru tidak mau kehilangan orang tua itu” ?
de
January 11, 2008 at 7:28 pmyang jelas bu tin paling beruntung. semua tipi siaran 7 hari penuh!! kayaknya ndak mungkin terulang kalo pak smiling general ini wafat. tapi who knows? tunggu aja tgl maennya. ndak lama lagi kok 😀 (lhooooooo)
aaqq
January 11, 2008 at 8:23 pmkesepian memang bisa membunuh ya mas..
nice article.. anyway.. 🙂
Rystiono
January 11, 2008 at 8:43 pmSetuju nggak kalo pak Harto dimaafkan?
Kan kasihan juga, dia kan manusia juga loh. Bagi yang merasa itu nggak adil, ikhlaskan saja. Toh pengadilan akhirat lebih baik bukan?
Hedi
January 11, 2008 at 9:40 pmSoeharto, sosok yang dibenci sekaligus disenangi 😀
titiw
January 11, 2008 at 9:46 pmAku selalu seneng dengan analogi yang disampaikan mas Iman. Soeharto jadi Machiavelli? hemm.. nice.. Btw.. sebenernya in some point.. ita butuh juga pemimpin seperti dia. Orang2 pduli padanya. KArena kalo gak peduli, pastinya celaan dan pujian untuknya hanya segelintir kan?? Dan dalam perspektif aku, gak ada pemimpin yg sekharismatik dia.
PS: mas Iman sedikit aku senggol di postingan aku yg terbaru, hehehe…
wieda
January 11, 2008 at 10:20 pmwah..susah ngomongin pemimpin2 Indonesah…..hihihi….laah orang Indonesia tiap kali punya jabatan langsung merasa jadi raja jeh…
Dulu pas Bung Karno wafat, budhe2 dan pakdhe2, serta sepupu2 saya nyempatin datang ke Blitar, nunggu ber jam2 di jalan untuk menghormat yg terakhir sekali (ngga ada yg menggerakkan tapi rakyat ber bondong2 datang dengan air mata berlinang…)
Klo pemimpin ke 2 Indonesia ini? ga tau saya…..
leksa
January 11, 2008 at 10:46 pmsaya pernah mengidolakan Suharto luar biasa samapi SMP
kemudian pudar ketika mengetahui kondisi riil bangsa di kepemimpinan beliau. Yah,.. proses menjadi manusia dewasa kan selalu berusaha mencari tahu.
Tetapi makin ke sini, seperti ada sebuah renungan lain yang singgah..
mungkin memang masanya Suharto waktu itu adalah saat yang paling tepat dengan gaya machieveli nya.. tapi ga bisa dipungkiri juga jika saat itu pun banyak kesalahan yang diperbuat oleh beliau.. dan akhirnya kita cuma bisa berandai2 sekarang, “seandainya dari dulu Suharto memimpin dengan lurus, maka bangsa ini pasti bla..bla..bla…”
mitra w
January 12, 2008 at 12:33 ammenjadi khalifah itu memang ga mudah, apalagi untuk sebuah negara…
hff… entah apa yg terjadi di alam sana… seperti genderang sedang bertalu-talu
dian
January 12, 2008 at 2:41 amah andai warisan (bukan utang) suharto dibagiin ke rakyat, bukan ke anak2xnya. eh tapi denger2 bambang ama tommy aja udah rebutan warisan tuh….
itu pic suharto mirip banget ama tommy yak
icha
January 12, 2008 at 4:29 amsaya baru tau cerita ttg soekarno dr postingan ini…kok segitunya yah???kenapa dia dikarantina??? menyedihkan banget…ceritain lagi dong soal soekarno dipostingan lain… *pleaseeeeee*
Anang
January 12, 2008 at 6:35 amdibalik jasa besarnya pak harto juga manusia yang juga punya kesalahan…
kenny
January 12, 2008 at 6:56 amlebih gampang belajar sejarah dari mas iman nih
wigati
January 12, 2008 at 10:58 amthis is a process that a country MUST go through sebelum menjadi the real gemah ripah loh jinawi. istilahnya semacem growing pains. sampe sekarang juga leader yang memimpin bangsa ini juga istilahnya masi kebingungan mo dibawa ke mana negara ini. *trial and error mode on*
tapi kalo masalah masa akhir hidup dari 2 mantan pemimpin negara ini yang sangat njomplang, saya sendiri miris membaca tulisan mas Iman, dan juga cerita dari orang tua, pakde2 dan keluarga lain yang begitu mengagumi Pak Karno. Joyo disubyo-subyo sedo kesio-sio. That wasn’t fair at all. All the reason behind it all juga masi dipertanyakan?
Apakah pemimpin yang sekarang kadar kesungkanannya tingkat yahud, walopun Pak Harto udah bikin bangsa ini ketulo-tulo ndak karu-karuan, tp tetep istilahnya di openi secara proper. Mikul dhuwur Mendem njero? Halaah … ndak tau saya?
Anyway, have a good wiken mas Iman.
evan
January 12, 2008 at 11:31 amKita tidak boleh melupakan semua kesalahan Soeharto. Harus.
Tapi tidak ada salahnya toh mas kalo kita ikut mendoakan dia..
–
Ingat Soeharto, saya jadi ingat SD Inpres. hehehe
edratna
January 12, 2008 at 11:50 amZaman memang berubah….saya bayangkan keluarga Bung Karno menangis melihat perbedaan tsb, tapi pengadilan di akhirat kita tak tahu, mungkin Bung Karno lebih berbahagia.
Kalaupun kesalahan di dunia tak diadili, masih ada keadilan di akhirat nantinya, dan kita semua mempercayai ini.
Semoga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar.
auliahazza
January 12, 2008 at 2:04 pmmumpung masih hidup (?) Pak Harto lebih baik melakukan konferensi pers dengan suaranya sendiri. Bilang “mohon dimaafkan jika saya salah”. Kalau ada salah, salahnya dimana, beberkan saja. Jadi Pak Harto tenang ke alam baka, yang hidup akan puas menerima keterangan dan tidak penasaran dll. Gampang toh ….
Si Tampan dari MIPA Selatan
January 12, 2008 at 2:13 pmasal bali?
kok asal bali, mas? ceritain, dunk
annots
January 12, 2008 at 2:40 pmjika pak karno dulu lengser karena di demo, pak harto lengser juga didemo ribuan mahasiswa. Jika pak karno meninggal karena diasingkan, apa pak harto juga demikian? Semua ini masih menjadi rahasia-Nya.
arya
January 12, 2008 at 2:45 pmteman saya (entah ngutip dari mana) bilang, kesalahan soeharto adalah he gave us a much, but take away MORE
marilah kita belajar dari kejadian yang menimpa soekarno dan soeharto.
la mendol
January 12, 2008 at 3:01 pmSaya dibilangin seorang temen wartawan di Jakarta Mas, setiap kali ada statement jika kondisi Soeharto mampu melewati masa kritis. Mereka kompak teriak. Huuuu…………!!!!!!!
*Padahal prediksi saya pas malam satu suro, tiba’e mbleset.
Ina
January 12, 2008 at 9:53 pmSejarah dan hati nurani utk bangsa ini mulai berkurang. *prihatin
syeeddath
January 12, 2008 at 10:21 pmhhmm.. kalau di perhatikan… diantara foto-foto presiden Indonesia yang terpampang, foto pak Harto punya senyum yg paling manis lho..:)
peyek
January 12, 2008 at 11:17 pmmemaafkan?, gak apene (baca: gak akan), mendoakan? gak patek’en (bahasa Indonesia nya opo yo mas?)
GuM
January 13, 2008 at 1:36 amselama ini yang saya pahami adalah : pak harto dimanfaatkan. oleh anak2nya, keluarganya, koleganya, rekan politiknya, dan kelompok2 lain yang mengambil keuntungan dari kekuasaannya. dan saat bangsa ini menuntut pertanggungjawaban, dialah yang dituding, dicaci dan dihujat.
mungkin kesalahan terbesar pak harto adalah mempercayai orang2 terdekatnya.
wallahu alam.
saya hanya berharap, kalau Sang Pencipta memang menginginkannya untuk kembali, segeralah diambil. tapi kalau belum, semoga Dia memberinya kesembuhan.
lahapasi
January 13, 2008 at 6:09 pmtulisan yang mantap mas iman..
kalau saya mengatakan “SUHARTO MANUSIA SETENGAH DEWA”
sluman slumun slamet
January 13, 2008 at 6:24 pmheran juga, kok gak mati2 tuh orang!
BTW, kita WAJIB memaafkannya.
tapi tidak untuk anak2nya plus kroni2nya…
😛
lance
January 13, 2008 at 7:44 pmbegitu getir begit kelam sejarah kita…
sampai kapan kita menjauh dari kejujuran, keadilan
gempur
January 13, 2008 at 11:23 pmSaya berharap, segrakn saja ajalnya, bukan apa2, telinga dan mata saya terlalu capek dianiaya media massa yang mabuk muntah memberitaknnya..
Ajie
January 14, 2008 at 9:10 ammedia massa memang hebat, bahkan saya yg pernah ikut mendemo Soeharto untuk turun dari jabatannya pun (98) ikut menjadi terharu. Apa boleh buat, Soeharto adalah tokoh besar seperti halnya Soekarno, terlepas dari segala kekurangan dan kekejamannya 🙂
extremusmilitis
January 14, 2008 at 9:28 amIni-lah yang mem-buat-ku semakin tidak bisa menerima keberadaan Soeharto Mas. Soekarno seorang pemimpin besar bangsa ini, harus men-jalani hari-hari ter-akhir seperti itu, sedang-kan Soeharto, yang kita bisa lihat dengan mata kepala sendiri apa yang sudah di-laku-kan-nya, malah masih menikmati-nya sampai saat ini, dan sial-nya tidak ada satu-pun dari kita di negara ini yang bisa menyentuh-nya 😕
nirwan
January 14, 2008 at 9:47 ambangsa ini kok kayak berhutang sama Soeharto ini ya…hebat betul dia 🙂