Ibu dan anak. Dua sosok yang keras

keluarga-soekarnoPublik banyak meyayangkan kenapa Megawati harus maju lagi dalam pencalonan kali ini. Apakah hanya karena keputusan kongres partai yang mengharuskan itu.
Membaca berita di media mainstream, dikatakan Bu Mega bisa marah ketika beberapa pengurus partai dan orang dekatnya memberikan fakta, bahwa ia sudah tak terlalu popular. Ia mempersilahkan penasehat partai Sabam Sirait untuk makan di ruang sebelah. Tidak satu ruangan dengannya. Sabam Sirait tidak salah. Jaman sudah berubah, tidak seperti lebih sepuluh tahun lalu, ketika ia dipersepsikan sebagai simbol perlawanan terhadap orde baru.
Mungkin keras kepala ini, salah satu sifat yang menurun dari ibunya. Bung Karno konon tidak sekeras Fatmawati istrinya.

Kilas balik dalam pembuangan di tanah Bengkulu , Fatwamati adalah teman anak anak angkat Bung Karno yang bersekolah di sebuah sekolah katolik di sana. Ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri. Saat itu Fatmawati berusia 19 tahun dan Bung Karno 41 tahun. Ia dengan tegas menolak, kecuali Bung Karno menceraikan istrinya terlebih dahulu. Ia tak mau dimadu.
Ada cerita menarik di balik ini. Sebenarnya justru Fatmawati sedang meminta pendapat Bung Karno tentang pinangan seorang anak wedana terhadap dirinya. Alih alih mendapat jawaban, justru Bung Karno mengutarakan perasaan cintanya.

Kelak Fatmawati bersikeras keluar dari istana setelah mengetahui Bung Karno memperistri Hartini. Bung Karno juga menghormati pilihan itu. Sampai akhir hayatnya istri istrinya tidak ada yang tinggal secara resmi di Istana.
Jauh menarik jika dia memposisikan sebagai negarawan. Merestui calon calon dari partainya. Sekaligus menyentil jika kelak calon terpilih itu salah jalan. Ia akan menjadi sepeka ibunya, Fatwamati yang mengikuti arus kemerdekaan bersama suaminya. Diam diam ia menjahitkan sebuah bendera merah putih untuk dikibarkan pada hari kemerdekaan. Tapi kita juga tidak tahu, siapa tahu Megawati memiliki ‘waskita’ untuk ikut terus dalam pertempuran.

Ketika ia mengingatkan rakyat Jawa Barat tentang imperialisme dalam kampanyenya minggu lalu, dengan mengutip ajaran ayahnya. Menunjukan Mega mempunyai kualitas seperti ayahnya untuk menjadi simbol pemersatu Partai nasionalis itu. sekaligus menjaga nilai kebangsaan negeri ini. Sesuatu yang mulai diutak atik keberadaannya. Dan memang tidak perlu menjadi Presiden.

Saya membayangkan Megawati menyelami pemikiran ayahnya pada tanggal 21 Juni kemarin. Peringatan tanggal wafatnya Bung Karno. Saat Soekarno memutuskan mundur dari kekuasaan. Rela, demi menghindarkan pertumpahan darah sesama bangsa, karena saat itu sebagian rakyat dan militer masih mendukung Soekarno.

Tanpa mengesampingkan 14 persen suara fanatik PDI-P. Saya membayangkan, Megawati memilih mencintai bangsa ini dengan cara yang lain. Namun memang keras kepalanya Megawati, yang membuat Partainya tetap solid. Berbeda dengan partai lain yang kisruh. Megawati adalah simbol pemersatu partai. Tak ada sosok yang bisa menyamai Megawati di partai Moncong putih itu. Fatmawati juga tetap keras kepala sampai ajal Bung Karno. Ia tak mau menghadiri ke pemakaman suaminya. Ia tetap tak bisa memaafkan tindakan suaminya mengawini orang lain. Namun satu hal , ia tetap mencintai Bung Karno. Dengan caranya sendiri.
Ia hanya mengirim karangan bunga bertuliskan.
β€œ Cintamu yang selalu menjiwai rakyat. Cinta Fat β€œ

You Might Also Like

60 Comments

  • Setiaji
    June 23, 2009 at 4:33 pm

    Jadi nomor satu itu tak otomatis jadi yg utama. Sudah pernah jadi nomor satu mungkin itu yg mengganggu mimpi2xnya selama ini. Seperti kebanyakan manusia indonesia, gampang ‘kangen’ dgn ‘profesi’ masa lalu πŸ™‚

  • bangsari
    June 23, 2009 at 4:40 pm

    megawati mencalonkan diri lagi jelas mengherankan. tapi ketika dia mewacanakan maharani untuk maju, itu lebih mengherankan lagi. lha gimana enggak? mega saja “cuma” begitu kualitasnya, gimana keturunannya?

  • mbakDos
    June 23, 2009 at 5:23 pm

    itulah.. saya kadang2 bertanya juga, apa ya yang tidak ada di bawah bayang2 sang ayah pada dirinya? apa iya, dia bisa berdiri di atas kaki sendiri tanpa harus (lagi2) mengungkit kenangan kita tentang ayahnya?

  • rani
    June 23, 2009 at 5:24 pm

    sepakat mas. dan keras kepalanya megawati kali ini harganya 4 trilyun (menurut para penggemar pilpres satu putaran)

  • my blog 4 famouser dot com
    June 23, 2009 at 5:25 pm

    *ngangguk-ngangguk*

  • meong
    June 23, 2009 at 5:30 pm

    hah…19 tahun dan 41 tahun :O

    wewww….kalo pendapat dr fungsionaris partai aja ga didengar, errrr…apkah PDIP itu partai milik megawati? apakah model kepengurusan PDIP itu kek perusahaan keluarga gt? jangan2 kl mega jd presiden, mau dirubah jd monarki pula negara ini, dimana presiden dijabat secara turun temurun…

  • Chic
    June 23, 2009 at 5:37 pm

    kalo baca postingan Mas Iman, selalu bertanya-tanya dari mana Mas Iman mendapatkan semua fakta sejarah tersebut… πŸ˜€

  • Dana Telecom
    June 23, 2009 at 5:46 pm

    Wah, saya juga punya pertanyaan tentang mengapa sih Megawati kok ngotot banget untuk mencalonkan diri. Saya pikir lebih baik bila Megawati meregenerasi kepemimpinan PDIP agar bisa terus hidup di masa depan.

  • pensiun kaya
    June 23, 2009 at 5:49 pm

    artikel yang genuine, banyak belajar dari mas iman ini, terutama tentang ibu Fatmawati yang juga ibu negara pertama di negeri ini
    salam

  • dony
    June 23, 2009 at 6:35 pm

    keren tulisannya
    dari romantisme cinta, keras kepala eh masuk ranah politik
    4 jempol mas πŸ˜€

  • Epat
    June 23, 2009 at 6:47 pm

    fatmawati hanya menjadi nama lapangan terbang di bengkulu πŸ™

  • kombor
    June 23, 2009 at 7:22 pm

    Jan-jane saya juga sepakat dengan Mas Iman. Ning ya bagaimana lagi, jagoku jadi calon wakilnya.

  • dina
    June 23, 2009 at 9:22 pm

    “teh celup rasa Soekarno” hahaha… me likey

  • DV
    June 24, 2009 at 6:06 am

    Anda memang selalu brilian dan matang kalau sudah bicara soal Soekarno.
    Saya jadi ingat petikan quote paling akhir tulisan ini, kalau ndak salah saya baca di Buku 100 Tahun Bung Karno.

    Saya sepakat dengan apa yang Anda tulis tentang Megawati meski tetap tak mengesampingkan faktor luck yang barangkali saja ada pada dirinya 8 Juli nanti πŸ™‚

  • nika
    June 24, 2009 at 7:06 am

    sukaaaa…. bgt tulisan ini

  • ichanx
    June 24, 2009 at 7:33 am

    kepikiran hal yang sama dengan @chic… mas iman ini koleksi pustakanya wedaaaannnn… banyak banget,,, hihihi… jadi, kapan kita spa bareng mas? *gak nyambung* wakakakakk

  • ilul
    June 24, 2009 at 8:14 am

    wow…gitu to ceritanya? baru tau…..bukannya golput nech…tapi emang ga terdaftar di DPT..jadi mo Mega mo SBY mo JK yang jadi presidennya..ga pengaruh ke aku…he3x

  • sabishigaru
    June 24, 2009 at 3:14 pm

    bagus tulisannya mas, salut.

  • dzaia-bs
    June 24, 2009 at 4:19 pm

    saya selalu suka dengan paragraf terakhir dari tulisan2 mas iman…
    πŸ™‚

  • bodrox
    June 24, 2009 at 5:28 pm

    yang jelas mas, anak bungkarno itu ada beberapa orang. Tapi yang ternyata bisa (pernah) menjadi presiden adalah Megawati, ini prestasi.

  • KangBoed
    June 24, 2009 at 6:11 pm

    hehehe.. memang beliau masanya sudah lewaaat..
    Salam Sayang

  • fertob
    June 24, 2009 at 6:53 pm

    Saya setuju kalau Mega “hanyalah teh celup rasa Soekarno” dan tidak memiliki kualitas seorang Soekarno. Jauuuuhhhhh bedanya. πŸ™‚

    Tapi yang saya tidak setuju adalah alasan kenapa dia harus maju sebagai capres kali ini. Pertanyaan apakah dia masih dicintai rakyatnya, kekeraskepalaannya, pertimbangan mengapa ayahnya memilih mundur, dan 14% suara PDIP tidak relevan dengan alasan mengapa dia harus maju jadi capres. Itu berarti mengabaikan hak seseorang untuk maju sebagai capres yang, secara konstitusional, dijamin oleh negara.

    Saya rasa kalau kualitas yang dicari, maka Megawati sekarang dengan Megawati 1999 sama saja. Lalu masalahnya pasti ada di pertanyaan : apakah dia masih dicintai rakyatnya. Saya cuma mau bilang, janganlah menghitung uang yang belum ada di tangan. πŸ™‚ Korelasinya tidak jelas. Kita bisa saja mengatakan bahwa Mega tidak memiliki wisdom seperti ayahnya yang memilih mundur, tetapi mengabaikan bahwa Mega memiliki HAK dan juga “sedikit suara yang masih mencintainya”.

    Alasan lain yang lebih bersifat analisis pribadi, mungkin sebaiknya ditelaah dari sudut pandang psikologis. Atau langsung ditanyakan saja pada Mbak Mega. πŸ™‚

  • arya
    June 24, 2009 at 6:56 pm

    megawati sudah pernah berkuasa dan gagal. saya sebagai rakyat sih males memberi kesempatan lagi pd orang yg pernah gagal.

  • dee
    June 24, 2009 at 8:14 pm

    lagi, 2 rasa 1 cerita…aufklarung!

  • Pemilih.com
    June 24, 2009 at 8:18 pm

    Iman Brotoseno: Megawati dan Fatmawati…

    Tanpa mengesampingkan 14 persen suara fanatik PDI-P. Apakah ia masih dicintai rakyatnya. Megawati mestinya memilih mencintai bangsa ini dengan cara yang lain. Tanpa harus keras kepala memutuskan maju lagi.
    Fatmawati tetap keras kepala sampai ajal Bun…

  • edratna
    June 24, 2009 at 8:35 pm

    Terkadang kalau lagi di atas sulit membedakan anak buah yang menyuarakan kebenaran, dengan anak buah yang mengatakan yang baik-baik saja. Dibutuhkan kepekaan untuk dapat memahami situasi yang sebenarnya

  • wieda
    June 25, 2009 at 1:59 am

    wah saya prihatin benar dengan keadaan negri tercinta ini…sebagai WN saya terdaftar sebagai pemilih…..nah…siapa yah yg pantas untuk “menduduki” kursi presiden ini?

  • astrid savitri
    June 25, 2009 at 9:00 am

    Megawati punya kans yang sangat besar untuk menjadi presiden, pertama dan terutama karena dia wanita. Tapi peluang besarnya itu tidak didukung dengan pemikiran yang revolusioner.

    Hal – hal lain yang semakin menenggelamkannya adalah caranya menDEWAkan Soekarno, dan caranya menepuk dada sambil berkata “saya anak dari the founding father of Indonesia.”

    Soekarno memang ONE of the founding fathers (and mothers). Tapi apakah anak dokter akan menjadi dokter yang lebih baik? anak insinyur akan menjadi insinyur yang kebih baik? anak guru akan menjadi guru yang lebih baik? Kalau iya, kenapa kondisi dunia semakin memburuk?

  • ea
    June 25, 2009 at 10:53 am

    membaca kalimat terakhir sy hanya bisa ber “oh..” salam hati
    hahaha romantisme mas iman…

  • nuuii
    June 25, 2009 at 11:01 am

    keren tulisannya mas πŸ™‚
    saya tidak terlalu mengetahui tentang sejarah dan politik di negeri ini, tapi ada kemungkinan keras kepala Megawati itu hasil dari “bisikan” orang-orang di sekelilingnya? πŸ™‚

  • nadia febina
    June 25, 2009 at 9:12 pm

    Setuju sama mas Iman bahwa megawati berkesan keras kepala dan bahwa rasanya dia the least popular of all candidates dan bahwa dia hanya menjadi the celup Soekarno.. Tapi mungkin ada sisi lain juga yang kita gak tau sebelum nge-judge..

    Denger2 kan Mega anak kesayangannya Bung Karno (si “nduk” nya), yang selalu mendengar wejangan2 tentang imperialisme, kebangsaan, dll dsb langsung dari sumbernya sendiri… Mana tahu Bung Karno berpesan sesuatu, mungkin Mega hanya membawa amanahnya, we don’t know.. Mana tau kalo keterpurukan bapaknya di masa2 sesudah kekuasannya membekas sangat mendalam ke dia, apalagi kan kita tau dia juga yang ada di samping Bung Karno pada detik2 terakhirnya…

    Hehe, just to give a possible outlook from the other angle, kan bisa aja kaannn… πŸ™‚

  • rambut
    June 26, 2009 at 6:25 am

    Wah ..mas broto sukarnois sekali, bisa ditebak anda pasti ngumpulin DBR, Jasmerah, and buku-buku pidatonya beliau tgl 17 agusts tahun2 awal kemerdekaan …nyambung gak sih, mas brot wartawan ya…enak,enak tulisannya enak

  • fertob
    June 26, 2009 at 10:08 am

    Lho, kok komentar saya sebelumnya hilang ya ?

    Saya setuju kalau Megawati itu cuma “teh celup rasa Soekarno”. Dari segi kualitas sangat jauuuuhhh sekali. Soekarno tipe pemimpin “solidarity maker”, tapi dia punya ide, punya ideologi sendiri, selain kemampuannya untuk “menyihir” massa. Megawati sebaliknya, yang diwariskan ayahnya mungkin hanya solidarity maker yang tidak terlalu besar, tapi soal ide dan kapabilitas sebagai pemimpin, masih dibawah Soekarno.

    Tapi saya melihat ada yang tidak relevan dengan alasan dari tulisan diatas. Saya rasa pertimbangan seperti : apakah dia masih dicintai rakyatnya, 14% suara PDIP, kekeraskepalaannya, dan wisdom Soekarno yang tidak dimilikinya, tidak bisa menjadi alasan yang relevan kenapa Megawati memilih maju dalam pilpres kali ini. Karena, bagi saya, itu mengabaikan hak politik seseorang, yang dijamin konstitusi, untuk menjadi presiden di negeri ini.

    Pertimbangan dan analisis yang lebih bersifat pribadi lebih baik dikaji secara psikologis, seperti dulu ada analisis psikologis terhadap Soeharto, atau bisa ditanyakan langsung saja pada Megawati. πŸ™‚

    *dari bukan pendukung Mega* πŸ™‚

  • lilliperry
    June 26, 2009 at 12:49 pm

    saya ndak tertarik liat megawati..
    bahkan saya sering tertawa cenderung sedih kalo liat dia ngomong di tv.

    ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’
    kyknya pepatah lama perlu diralat deh.. yg ini seperti ketiup angin ke parit2.. πŸ˜€

    salaman dulu mas.. πŸ™‚

  • Ndoro Seten
    June 26, 2009 at 2:28 pm

    lha woang yo namane kemaruk kekuasan ki enak je mas

  • lady
    June 26, 2009 at 3:36 pm

    saat menonton debat presiden 2x, saya merasa kasihan pada ibu itu. teoritis banget…

  • afwan auliyar
    June 26, 2009 at 4:36 pm

    sepertinya pemain2 yang bertarung d pilpres nanti tidak memiliki daya jual yang mumpuni …
    tidak ada yang segar …
    orang-orang lama dan tidak memiliki keinginan yang luhur demi bangsa … klo memang punya keinginan itu,… tidak lain berupa kampanye buat meraih simpati πŸ™‚

  • -may-
    June 26, 2009 at 5:57 pm

    Electra Complex, mungkin.. hehehe…
    Saya nggak tahu seberapa “dekat” hubungan Bung Karno dengan Megawati. Tapi… mungkinkah menjadi “Teh Celup Rasa Bung Karno” merupakan upayanya untuk dekat dengan ayahnya? Mungkin jauh di dasar hatinya – secara tidak sadar – dia merasa inilah satu2nya cara untuk bisa “dekat” dengan ayahnya … πŸ™‚

    Kalau keras kepalanya, mungkin selain faktor genetik, ada faktor herediter juga πŸ™‚ Megawati itu ikut Ibu Fat, kan ya, ketika Ibu Fat keluar dari rumah? Interaksi lebih banyak dengan ibunya daripada bapaknya?

  • -may-
    June 26, 2009 at 10:24 pm

    Oh, rupanya komentar saya nggak masuk. Mungkin karena tadi ada tautannya πŸ™‚

    Hanya mau komentar bahwa mungkin [mungkin lho, ya, ini bukan diagnosa… hehehe…] kekeuhnya Megawati untuk maju lagi adalah masalah subconscious. Semacam simtom dari Electra Complex gitu, lah. Theoretically speaking, bukan tidak mungkin di dasar jiwanya kita masih menemukan “Mega kecil” yang berusaha menjadi “daddy’s girl”. Berusaha “menghidupkan” ayahnya dengan satu2nya jalan yang dia tahu: bertransformasi menjadi ayahnya. Tapi… karena pada dasarnya dia bukan ayahnya, maka ia hanya menjadi “teh celup rasa ayahnya”.

    Nggak beda jauh, mungkin, dengan ketika Natalie Cole “berduet” dengan rekaman Nat King Cole dalam “Unforgetable”. Cuma intensitas dan pertaruhannya yang berbeda.

    Hehehe… ini hanya sekedar bayangan saya atas kemungkinan selain bahwa dia gila kekuasaan dan “cuma” keras kepala kayak ibunya saja πŸ™‚

  • Luthfie Rimba
    June 27, 2009 at 11:28 am

    MERDEKA… LANJUTKAN…!!!

  • sikem
    June 27, 2009 at 3:23 pm

    kita lihat saja nanti..seberapa hebat megawati. Menjadi presiden setelah gus dur kita sudah bisa melihat sepak terjang megawati. Apa yang bisa ia perbuat ?…mana buktinya ??. semua hanya omong kosong. rakyat sudah semakin pintar, megawati hanya bersembunyi dibalik nama besar soekarno

  • Nadiah Alwi
    June 28, 2009 at 9:45 am

    Sungguh baru kali ini saya mengetahui kisah antara Ayah dan Ibu Megawati tersebut. Thanks for sharing, Mas.

  • soulharmony
    June 28, 2009 at 12:42 pm

    saya mencium aroma kebencian anda terhadap beliau, apakah ada sesuatu di balik semua ini ???
    saya pecinta Bung Karno juga sih tapi saya tidak Pro dengan anak2nya……………………………….

    LEBIH CEPAT LEBIH BAIK………(Ga nyambung)

  • Yodhia @ Blog Strategi + Manajemen
    June 28, 2009 at 4:57 pm

    [….Ia hanya mengirim karangan bunga bertuliskan. β€œ Cintamu yang selalu menjiwai rakyat. Cinta Fat β€œ….]

    Sebuah petikan kalimat yang sangat indah nan menggetarkan.

  • Yoga
    June 28, 2009 at 7:25 pm

    Sepakat. Dari awal kemunculan Megawati, ia tak lebih seperti teh celup rasa Soekarno. Tidak ada pemikiran yang jelas. Makin hari saya hanya melihat obsesi pribadi yang makin menggelembung. Moga-moga saya salah.

  • mr.beachbums
    June 29, 2009 at 2:21 am

    Teh celup rasa Sukarno untuk semua yang terus2an jualan nama Sukarno, tanpa ada pemikiran baru. Sukarno sendiri mulai 28-60an tulisanya berubah2 dinamis sesuai jaman tapi dia jualan kata REVOLUSI, apa ya Sukarno itu teh celup rasa revolusi, dia jualan ideology bukan πŸ™‚
    Jaman Suharto juga banyak orang yang dikit2 jual nama Suharto, kayak Harmoko, JK, dsb. kalau laku bisalah jai politikus atau bisnisman.

    Namanya politik apa yang bisa dijual dijual, kita negara sinetron terbesar dudunia, jadi jualan slogan, nama, image lebih laku dari jualan konsep atau ideology. bodoh itu namanya kalau marketer ngak kenal konsumenya.

    Mega ngak begitu2 amat, buktinya berani ambil Bowo yang nota bene besan Suharto, berani nyampur air sama minyak jaman pemerintahanya.

  • n the duckess
    June 29, 2009 at 2:29 pm

    nice post..
    sempat terbersit juga knapa megaati ngotot dan ngebet pengen jadi presiden?? katanya sih enak jadi orang nomor satu di negri ini, makannya gak mau bentar..
    banyak orang yang terpesona oleh Soekarno, sehingga pilihan jatuh ke keturunannya, lha pertanyaannya apakah keturunan beliau itu berkualitas? atau cuma karena embel-embel last name aja?

  • om ipit
    June 29, 2009 at 8:37 pm

    megawati atau fatmawati??

  • dhodie
    July 1, 2009 at 10:27 am

    Salut bisa menulis secermat ini πŸ˜‰

    Untuk orang-orang yang mendewakan Mega, mungkin acara-acara Debat Presiden yang ditayangkan di TV bisa dengan gamblang menjelaskan sejauh mana kemampuan beliau mendeskripsikan visi dan misi di benaknya, which I thought far away from his father πŸ˜‰

1 2

Leave a Reply

*