Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju: Saya katakana lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Ini bukan kebetulan, bahwa nama Lim Koen Hian – disamping nama Baswedan – disebut berulang ulang oleh Bung Karno dalam pidatonya tentang dasar negara dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki tgl 1 Juni 1945.
Dua nama tersebut bisa menjadi sosok identitas ‘ bukan pribumi ‘ dalam sebuah bentukan negara baru. Satu keturunan Tionghoa dan satu lagi berasal dari Arab.
Bung Karno sekali menegaskan pentingnya asas kebangsaan yang melandasi kehidupan bernegara.
”Lupakan itu Daratan China, lupakan itu Hadramaut. tanah airmu bukan di sana, tetapi di sini, di Indonesia.” Itulah filosofi kedua orang tersebut. Dan sekian puluh tahun kedepan Pancasila menjadi sebuah dogma.
Saya adalah generasi yang besar ketika dogma Pancasila memasuki ruang hidup sehari hari. Urusan bertetangga, agama, perkawinan, kampus sampai afiliasi politik. Poster Pancasila menghiasi ruang tamu dirumah rumah. Mata pelajaran Pancasila atau kewarganegaraan menjadi ilmu pengetahuan dasar. Pak lurah akan menyelipkan Pancasila ketika bicara tentang panen di desanya. Seorang Dirjen akan bicara Pancasila disela sela upacara bendera di kantornya. Bahkan seorang Kuntilanak – ini nyata dari sebuah film pada masa orba – bicara Pancasila kepada warga desa yang datang mengepungnya.
Siapa bisa menolak tekanan dari Pancasila. Partai, Ormas semua wajib mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasi. Menjelang memasuki masa sebagai mahasiswa, kami sebulan penuh menjalani apa yang di sebut Penataran P 4 – Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila. Dari pagi sampai sore kadang malam, kami mendengarkan ceramah, diskusi, mengerjakan soal soal sampai tugas kelompok. Semua ditutup dengan menonton film ‘ Pengkhianatan G 30 S PKI ‘.
Jadikah kami sebagai tunas bangsa yang akan mengawal nilai nilai Pancasila dalam kehidupan sehari hari.
Sebenarnya sial sekali Panca Sila itu. Dari masa ke masa selalu menjadi korban fitnah. Bukan fitnah sms seperti yang digalaukan oleh Presiden SBY. Masa orde baru, Panca Sila di fitnah sebagai perwujudan Soekarno, sehingga kelahirannya tanggal 1 Juni harus ditutupi dan rezim yang berkuasa lebih suka menciptakan mitos kesaktian Panca Sila pada tanggal 1 Oktober. Pancasila yang bertahan dari serbuan komunis dan menciptakan stabilitas nasional.
Kini tiba tiba Pancasila menjadi kelas paria, dan diacuhkan. Jadilah ia PancaSial. Ia disalahkan, sekaligus menjadi sebuah alasan pembenaran. Ia adalah bagian dari orde baru. Pancasila dilepaskan secara suka rela dari ruang hidup berbangsa.
Atas nama demokrasi, pasar orde reformasi menawarkan berbagai macam pilihan. Para penjual saling rebutan menawarkan barang dagangan. Mau memilih bungkus agama, fundamentalis sekaligus atau otonomi daerah kebablasan. Warga boleh memilih menjadi sosialis, kapitalis, relijius, Muslim yang baik, Muslim liberal, Mormon – kalau perlu – dan atheis, jika mau.
Atas nama kebebasan silahkan memuja pohon. Menyembah Nabi baru. Tentu saja resiko tidak ditanggung jika ada kelompok yang marah dan membakar lalu membunuh orang orang yang dianggap sesat.
Jika kita membuka ruang selebar lebarnya untuk Pancasila, ternyata tidak ada yang salah dengannya. Yang salah adalah kita dan siapapun yang memakai Pancasila sebagai alat legitimasi rezim berkuasa. Butir butir yang digali Soekarno merupakan pemikiran brilyan yang melintasi jaman. Sampai kapanpun. Jika Bung Karno mengatakan kemerdekaan Indonesia merupakan jembatan menuju masyarakat adil makmur. Pancasila merupakan sandaran untuk mewujudkannya. Sejarah mengajarkan, Bung Karno berulang ulang menawarkan kepada dunia, untuk memakai Pancasila sebagai resep untuk mengatasi permasalahan hidup bernegara.
Jangan salahkan jika kita sekarang melihat anak anak kita yang kebingungan mencari identitas perekat bangsanya. Para pendidik kaget jika mata pelajaran Pancasila sudah lenyap dari kurikulum sekolah.
Kita menjadi bangsa pemarah. Pemimpin kita menjadi sensitif dan mudah tersinggung. Lebih senang curhat di media. Lupa bahwa ada yang lebih penting untuk dipikirkan. Rakyat dan bagaimana mewujudkan kemakmuran. Juga keadilan social.
Bung Karno juga pernah curhat – hanya kepada Cindy Adams yang menulis biografinya – ketika namanya kerap dijelekan oleh pers barat. Ia mengatakan,” Coba lihat Shah Iran, ketika dia mencium gadis dimuka umum, lihat apa yang pers mereka katakan. Bukankah dia penuh cinta, sangat manusiawi “. Presiden Indonesia pertama itu membandingkan ketika dia melakukan kunjungan ke Hawaii, dan mencium pipi gadis penyambutnya. “ Lihat, Soekarno, lagi lagi sang pencicip “.
Bung Karno hanya mengatakan. Kita harus bekerja. Konsentrasi bekerja. Tidak perlu kebakaran jenggot atas segala tuduhan dan kritik.
Kalau begini saya teringat sepenggal Pidato Multatuli di Lebak, dalam kisah Max Havelaar. Sebait sajaknya terus tergores dan melekat dalam ingatan.
Akhirnya kita jadikan contoh di kerbau
Yang jemu diejek dan disiksa,mengasah tanduknya
Melemparkan si penyiksa tinggi ke langit
Dan menginjak nginjaknya dengan kakinya yang kasar
Semoga pemimpin kita masih eling. Juga kita semua sadar bahwa kita masih memiliki warisan kekayaan yang dulu dinamakan Pancasila. Kita tentu bukan bangsa kerbau yang bebal. Kita bangsa cerdas dan selalu belajar dari kesalahan. Mestinya kita tahu bagaimana menyembuhkan segala macam carut marut kehidupan berbangsa ini.
5 Comments
DV
June 1, 2011 at 10:01 amDisorientasi tak hanya terjadi pada hal seksualitas, Mas.. rupanya cara memimpin bangsa pun bisa mengalami disorientasi dan berpaling dari hal-hal penting menuju hal2 tak penting untuk diselesaikan dulu…
Kadang saya melihat Pancasila yang adalah produk ‘dalam negeri’ Indonesia harus kalah dengan segala dogma agama yang semakin kuat, herannya…
Apa bikin agama Pancasila aja ya? 🙂
orbaSHIT
June 1, 2011 at 3:26 pm@DV jaman BK ada ulama di garut atau sukabumi yg mentasbihkan BK sebagai nabi yg menurunkan pancasila 🙂 this is no joke bro….
admingolput@partaigolput
June 1, 2011 at 11:23 pmSebagai seorang muslim saya berusaha menjadikan alquran dan hadist sebagai petunjuk hidup.
Sebagai warga negara Indonesia sy menjadikan Pancasila & UUD 45 sebagai aturan main yang harus saya patuhi agar saya tidak melanggar hak warga negara lain yang berbeda agama dan keyakinan dengan saya. Bagaimanapun Pancasila & UUD 45 merupakan hasil kompromi para pendiri negara ini yg terdiri dari berbagai macam elemen bangsa. Saya yakin Tuhan yang saya yakini memaklumi keadaan negeri yg plural ini.
edratna
June 2, 2011 at 9:12 amMau tak mau….sebetulnya Indonesia memerlukan perekat kebangsaan, yang melepaskan sekat antar ruang….dan saling menghormati sesamanya.
Sayangnya …kita selalu mempersepsikan ajaran yang baik pada orang, bukan pada ajarannya, sehingga jika orangnya sudah turun, maka semua ajarannya tak digunakan lagi.
Giri
July 11, 2011 at 10:47 amkayaknya udah jarang pemimpin bangsa ini ngomongin pancasila