Tepat sepuluh tahun yang lalu. Saat itu ibu pertiwi sedang hamil tua. Kesakitan dan prihatin. Konon Presiden Soeharto sudah diminta penasehat terdekatnya untuk tidak meninggalkan Jakarta menuju Mesir untuk menghadiri konperensi G- 15 di Cairo. Tapi ia bersikeras dan percaya bahwa pembantunya – terutama intel dan militer – bisa mengatasi situasi yang terus meruncing. Bentrokan mahasiswa dengan militer semakin sering terjadi. Hari yang sama ketika Moses Gatutkaca terbunuh dalam peristiwa Gejayan .
Sementara itu, perusahaan rekaman Warner terus menelpon saya. Menanyakan hasil syuting.
“ Bagaimana kita masih meneruskan editingnya ? “ desaknya.
Saat itu saya terus dikejar kejar kapan mulai mengedit Kris Dayanti untuk video klipnya ‘ Menghitung hari ‘. Saya tidak bisa berpikir jernih. Karena pikiran terus berkelebatan melihat iring iringan para mahasiswa berarak arakan di sepanjang jalan ibu kota.
Boss besar di kantor, memberi tahu kalau para jurnalis TV dari luar negeri sudah berdatangan dan meminta saya mengatur production service buat kepentingan mereka. Dari seorang sahabat, Tino Saroengalo – sutradara film dokumenter Student Movement in Indonesia 1998 – terus memberitahu hidupnya yang semakin sulit. Terus dibuntuti intel karena kegiatannya yang melakukan catatan dokumentasi dari kampus ke kampus.
Terus terang saya merasa iri dengan adik adik mahasiswa tersebut. Menyesal kenapa tidak hidup dalam jamannya. Bergelora dalam sebuah magma revolusi. Sesuatu yang akrab dinamakan Gerakan Reformasi.
Lihat saja seorang Rama Pratama, sang ketua BM – Universitas Indonesia yang dengan cerdas di mimbar mimbar dan televisi menyuarakan perubahan sistem politik Indonesia. Terharu dengan betapa militannya para mahasiswa sang pendobrak. Mereka sesungguhnya sang Rajawali sebagaimana gambaran dalam salah satu puisi WS Rendra.
Konon ketika pesawat yang membawa Presiden Soeharto lepas landas meninggalkan Jakarta, seberkas cahaya hijau melesat juga dari Ndalem Kalitan. Hilang di gelapnya malam. Soeharto telah kehilangan wahyu cakraningratnya. Begitu penerawangan ahli klenik dan kebatinan. Saya tak perduli, Yang saya tahu hari itu jalan menuju tempat saya mengedit di bilangan kedoya Jakarta Barat sungguh dipenuhi iring iringan kendaraan militer.
“ Trisakti sedang ramai mas “. Editor saya menjelaskan ketika saya mengeluh karena harus memutar jauh menghindari kemacetan. Selanjutnya hanya suara Kris Dayanti yang empuk terus menemani dalam ruangan dingin tempat kami bekerja, sampai datang berita. Tino yang sedang berada di lokasi Trisakti menelpon. Mahasiswa di tembak oleh militer.
Dari tempat kedoya terlihat langit mulai merah di kejauhan. Orang orang berlarian di jalanan. Suasana makin mencekam. Saya memutuskan meninggalkan ‘ Kris Dayanti ‘. Beberapa teman tidak berani pulang ke rumahnya, akhirnya saya mengantar mereka menginap di rumah teman di bilangan Rawamangun.
Demikianlah berita keesokan harinya di surat kabar membahas peristiwa Trisakti .
Empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, tewas terkena peluru tajam yang ditembakkan aparat keamanan sewaktu terjadi aksi keprihatinan ribuan mahasiswa yang berlangsung di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, Selasa (12/5). Para mahasiswa itu tertembak sewaktu berada di dalam kampus oleh berondongan peluru yang diduga ditembakkan oleh aparat yang berada di jalan layang Grogol . Nama para korban adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur, angkatan 1996), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 95) luka tembak di punggung, Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 96) luka tembak di pinggang, dan Hafidin Royan (Fakultas Teknik Sipil, angkatan 95) luka tembak di kepala.
Menurut Fadli Zon malamnya Kapolri Dibyo Widodo dipanggil Pangab Jendral Wiranto di rumah dinasnya Jalan Denpasar. Ia hanya sebentar disana karena sambutan yang tidak mengenakkan. Wiranto mengenakan jaket – bermuka masam – menyemprot Kapolri.
“ Lu ngerti nggak itu ada yang mati ? “
“ Segera Usut “
Kelak Kapolri diganti karena begitu beratnya tekanan serta juga menolak tudingan karena Polisi yang menembak mahasiswa. Beberapa elite serta Komnas HAM mengarahkan tudingan kepada Prabowo. Sampai sekarang kasus tersebut masih tidak terungkap. Beberapa bulan kemudian dalam peristiwa berdarah Semanggi yang merenggut nyawa mahasiswa UI Yun Han. Saya dan beberapa teman – berbekal kartu pers Jakarta Media Syndication – terjebak diantara median Jalan raya Sudirman. Ditengah tengah pertempuran ABRI dan Mahasiswa di depan Kampus Universitas Atmajaya. Brutal dan mengerikan. Jelas tidak seimbang.
Bagaimana mungkin orang yang dididik untuk perang, disuruh negosiasi menghadapi pelajar. Bagaimana mungkin mental psikologis para prajurit lapangan bisa tahan menghadapi provokasi mahasiswa.
Ketika komandan mereka berteriak. “Siap posisi ! “
Dalam sekejab letusan senjata, dengan caci maki. “ Anjing lu mahasiswa “ , “ Bangsat “. Merangsek, menembaki dan mengayunkan pentungan dengan buasnya. Beberapa mahasiswa yang terjebak di semak semak belakang pom bensin Semanggi harus babak belur dihajar beramai ramai tentara yang mungkin baru pulang dari Timor Timur.
Kembali ke tanggal 13 Mei, suasana masih mencekam. Saya harus ke kantor, beberapa kesibukan disana terutama bagian keuangan. Mereka mengumpulkan file, buku cek dan uang dari brankas. Bergegas memindahkan ke kantor pusat. Karena perusahaan ini milik Hasjim Djojohadikusumo – adik Letjen Prabowo Subianto – mungkin mendapat masukan betapa gentingnya situasi saat itu.
Setelah berbicara dengan boss untuk meliburkan karyawan,saya menuju Universitas Trisakti untuk bergabung dengan teman teman lain menghadiri mimbar bebas, sesuai mengantar pemakaman Elang Lesmana. Ternyata di jalan tol di depan perempatan Tomang saya melihat asap tinggi membumbung. Beberapa truk sudah terguling dan terbakar. Mobil mobil dijalan tol rebutan berbalik arah, tak peduli bahwa ini jalan searah. Mobil saya oleng ditimpuki batu oleh massa yang berkerumun di pinggir jalan.
Handphone saya berdering.
Teman jurnalis asing mengabarkan terjadi penjarahan dan anarkis di beberapa tempat. Perasaan saya tidak enak. Saya menelpon rumah ibu menanyakan situasi disana, karena rumah ibu tepat dibelakang Pusat Perkulakan Goro – kebanggan milik Tommy Soeharto – di Jalan raya Pasar Minggu.
Ternyata belum terjadi huru hara disana. Esoknya baru pusat perdagangan ini dijarah dan dibakar habis. Sementara ibu masih di Blitar, bersama pinisepuh lainnya berada di petilasan Soekarno.
Hari itu tercatat sebagai awal kelabunya sejarah kemanusiaan bangsa ini. Ketika selama 3 hari Jakarta menjadi kota tanpa hukum yang anarkis. Chaos dan mencekam. Ketika manusia manusia tak berdaya terpanggang dalam api yang membangkar toko atau gedung tempat mereka bekerja. Mobil dan bangunan dibakar massa. Orang orang menjarah, membunuh dan memperkosa.
Saat Soeharto masih di Cairo, ia berbicara tentang kemungkinan mundur dari jabatannya. Siapa yang menyangka bahwa sepuluh tahun silam – tahun 1988 – ia berbicara dengan Donald W Wilson Rektor Universitas Pitsburg, AS yang mengunjungi.
“ Beri tahu saya, menurut anda, berapa lama lagi saya harus berkuasa “
Demikian penuturan Donald dalam bukunya ‘ The Long Journey from Turmoil to Self-Sufficiency ‘.
Sebuah pertanyaan yang sama masih terngiang dalam versi yang berbeda. Berputar putar di kepala manusia manusia Indonesia yang bermimpi untuk sebuah masa depan yang jauh lebih baik. Kemakmuran.
“ Berapa lama lagi negeri ini masih bisa bertahan ? “
Sepuluh tahun yang lalu reformasi digulirkan dari semangat dan darah mahasiswa. Saya selalu percaya mahasiswa itu bagaikan pembela kebenaran dalam film film koboi. Mereka memasuki kota yang yang dikuasai penjahat dan menembakinya. Lalu pergi lagi berkelana menuju daerah lain. Selalu membela yang benar dan tidak mau terikat di satu kota.
Lalu bagaimana mereka mahasiswa yang kini yang tersandera, terikat dalam sebuah bagian kekuasaan ? Rama Pratama sudah menjadi anggota DPR dan beberapa pemimpin mahasiswa lainnya masuk dalam partai politik dan kekuasaan. Apakah mereka masih menyuarakan semangat sepuluh tahun yang lalu ?. Ketika mereka justru melihat reformasi berjalan tanpa arah yang jelas.
Soe Hok Gie pernah menulis, bahwa ia tak percaya kepada mereka yang tadinya idealis dan masuk kedalam kekuasaan. Bagaimanapun ia pasti tergilas masuk dalam sistem itu sendiri. Pendapat itu bisa benar dan bisa juga salah. Yang jelas mereka yang sudah nyaman duduk di kekuasaan dan parlemen yang dulu mereka tumbangkan, hanya bisa berkata.
“ Im not an idealis anymore, just a bitter realist “
Mungkin kita harus realis bahwa tidak ada yang peduli dengan semua ini. Siapa yang masih ingat darah para martir terdahulu. Lebih baik berpikir realis bagaimana caranya menjadi bintang idola dalam mimpi mimpi kontes idol. Bukankah menjadi Kris Dayanti lebih dikenang daripada seorang Elang Mulyana.
Terus terang saya ingin menangis untuk negeri ini.
o, kusuma bangsa
engkau mati muda
sebagai martir
menghadang pongahnya kemapanan dan kerakusan
menentang segala tipu daya dan kemunafikan
kauikhlaskan segala harap dan apa yang engkau punya
demi tanah air dan rakyat yang papa
pendekar reformasi
desah nafas terakhirmu
adalah api yang mengganggang semangat perjuangan suci
enyahkan kelaliman dan angkara murka
tegakkan kemerdekaan
tegakkan keadilan
pahlawan muda
selamat jalan
beserta doa tulus kami
Sebuah puisi dari Aryaguna, pada 13 Mei 1998
Photo : Indonesia in Soeharto’s years
72 Comments
iman brotoseno
May 12, 2008 at 9:36 amHari ini tgl 12 mei sepuluh tahun lalu..kita berduka
evi
May 12, 2008 at 11:50 amyeah…kita berduka mengingat peristiwa 10 tahun yang lalu.
dan hari ini akan ada demo dimana-mana….
hanny
May 12, 2008 at 2:50 pmada banyak cara untuk memaknai duka.
azaxs
May 12, 2008 at 3:22 pmYup, 10 tahun sudah reformasi dinegeri ini digulirkan. Entah saat itu kita berada dimana? yang jelas saat ini kita berada di tempat yang kita sadar akan keberadaannya. Yang kita tahu, api semangat yang bernama Reformasi itu hari ini telah meredup bahkan cenderung mati tertiup angin sepoi.. Ya menuju Indonesia baru itu sampai detik ini masih belum jelas arah dan tujuannya..
Saya izin ngelink artikel ini di postingan saya mas…
Trimakasih
Setiaji
May 12, 2008 at 4:41 pmBeberapa hari setelah Tragedi Trisakti, pagi2x benar kami para mahasiswa masuk ke pagar MPR/DPR , masih pagi sekali pagar hanya dijaga beberapa Polisi Militer yang langsung membiarkan kami masuk, dihalaman samping kolam MPR/DPR sudah “nongkrong” Adnan Buyung Nasution & Anas Urbaningrum (kalo gak salah) yang langsung menyambut kedatangan kami … 3 malam di DPR/MPR, Soeharto lengser , digantikan oleh Habibie, kisah berlanjut ke Sidang Rakyat di depan Bioskop Megaria yg dihadiri Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet & Almarhum Munir plus hampir 1 juta manusia indonesia tumplek blek disana menolak Sidang Istimewa dan menuntut kedaulatan diambil alih oleh rakyat (yg mana ?) , terus sampai Semanggi 1 & 2. Begitu banyak korban dari Rakyat dan Mahasiswa. Kami diadu domba dengan yg namanya PAM Swakarsa yg notabene mereka juga rakyat Indonesia yg kebetulan dimanfaatkan oleh pihak2x tertentu untuk mengawal Sidang Istimewa. Dan sampai sekarang Reformasi berbuah kebebasan yang keblinger, kehidupan rakyat tidak menjadi lebih baik. Ya Allah mohon berikanlah kebaikan bagi para pahlawan reformasi walaupun perjuangan dan cita2x mereka saat ini belum berbuah banyak untuk kami rakyat Indonesia.
omith
May 12, 2008 at 6:30 pmemg terjadi kejahatan struktural mas..
hiks..
veta
May 12, 2008 at 7:58 pmsaya smp kelas 2, bapak saya digebuki dan ditangkap pas demo di IAIN SUKA, btw, kalo gak salah mozes itu pas jadi korban pas mau beli makan siang yah?
yoan
May 13, 2008 at 1:12 amhmmm….
first of all… thank you buat ucapan selamat ultahnya di blog yach bro…
walaupun sering lihat ol… aku sungkan buat negur *hehehehe*
kya nya , klo kisah hidupku diangkat jadi pelem seru juga nih *wakkaakkakakakakkaa* nguarap mode on 🙂
mayssari
May 13, 2008 at 8:42 amTerima kasih, sudah mengingatkan …
bangsari
May 13, 2008 at 10:24 amhmm… mengingat masa itu selalu berat bagi setiap orang. berat karena ternyata semua kerusuhan itu tak membuat bangsa ini belajar. tetap saja negara ini tak begini-begini saja.
indra
May 13, 2008 at 6:27 pmreformasi tak kan pernah berhenti
rezco
May 13, 2008 at 10:34 pmmalam hari itu, 13 Mei 1998, saya melintasi beberapa toko yang mayoritas milik etnis tionghoa. kebanyakan toko ditempeli tulisan “PRIBUMI”. Massa bertruk-trukyang entah datang darimana menyerbu toko-toko yang terbuka. bisa ditebak yang terjadi…penjarahan!!!
wanderer_on_blue_planet
May 24, 2008 at 3:38 amBanyak pahlawan kesiangan di reformasi 98. Banyak fakta yang dipelintir di mei 98. Korban Trisakti menurut saya bukan martir reformasi (terlepas dari bela sungkawa saya). Tritura buatan mereka seperti turunkan harga Velg, membuat saya dan teman-teman di jalan MUAK!!. Bukan waktunya untuk bercanda dengan mengagungkan keborjuan mereka sewaktu itu.
Korban mahasiswa tidak seharusnya jatuh, Jakarta tidak seharusnya rusuh dan tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis tionghoa sebenarnya bisa dihindari. Dan ketika banyak “aktivis” mahasiswa menjadi anggota partai sekarang. Dimana para tokoh mahasiswa itu ketika saya dan teman2 berlarian panik di semanggi dengan diancam golok dan bambu runcing PAM swakarsa? atau desingan peluru tentara? Banyak aktivis 98 yang melanjutkan hidup di luar sistem, mereka yang hidup sederhana dan gaji cukup untuk makan dan menabung masa depan. Tidak perlu subsidi pemerintah.
Tidak perlu sokongan partai-partai atau medali tanda jasa.
Tidaklah perlu segala puji itu.
There were so many unsung heroes…
Bertanding » caplang[dot]net
August 15, 2008 at 4:49 pm[…] tulisan Pak Sawali dan Mas Iman Brotoseno membuatku teringat masa 10 tahun yang lewat. Aku bukan dan tak berbakat menjadi tokoh utama. Hanya […]
Faizal Assegaf
September 9, 2008 at 10:39 pmsalam
Aneh juga, tanpa sadar saat berselancar di google ada yang catut nama saya dengan kisah yang sangat lucu. Dibilang lucu karena sepotong sejarah yang disebut bung Arif tentang diri saya agak aneh dan berbau fitnah. Sejujurnya saya salah satu aktivis Mercu dan hampir dikenal umum di kampus, apa saja yang saya lakukan terekam jelas pada era gerakan 98. Jadi kalau ada yang mau tahu tentang saya ya hubungi aja saya di 08154125229, saya selalu ada dalam gerak perubahan di negeri ini dan tetap konsisten untuk melawan rezim penindas.
chamot
May 6, 2009 at 12:13 amsaya jadi ingat… saat itu kelas 1 smp… kita ngumpul-ngumpul di atas bekas tower air untuk bisa mengetahui asap-asap mengepul di seantero solo…. cos diasrama ga boleh keluar…. huh… 3hr kemudian orang tua datang menjemput dan kita baru tau situasi disolo.. memang benar-benar mencekam…
solo sekarang sudah berubah.. akankah masih ada yang ingat dan mau mengambil hikmah dr peristiwa itu.. jangan-jangan lagi
fadhli
May 25, 2009 at 7:52 pmjadi inget dulu pas itu masih 7 taun. beberapa hari sebelum eyang harto mundur pernah ke mpr/dpr sih, rame banget. tapi skrg banyak yg bilang bahwa lebih enak idup di jaman orba daripada di jaman reformasi
oyon
July 29, 2009 at 6:29 pm11 tahun yg lalu saya masih esde di pekanbaru
yg saya ingat dari berita suasana sangat mencekam di jakarta
tante saya yang berkuliah di hukum trisakti mengabarkan kalau dia terinjak2 saat berdemo di depan mpr dpr
kalau mahasiswa trisakti mengetahui:
tahun1983 tepat juga tanggal 12 mei 1983
mahasiswa trisakti yg baru pulang dari kongres mahasiswa hukum di bali
kecelakaan mobil di daerah tegal jawa tengah
tragedi di tanggal yang sama
“salah satunya bernama “alm.rini angraeni”
Martir Martir Reformasi | Semesta Indonesia
November 6, 2009 at 4:47 am[…] (Sumber: http://blog.imanbrotoseno.com/?p=229) […]
arista
December 9, 2009 at 3:43 pmanganku menerawang ke masa lalu.
wawan purwana
May 12, 2011 at 6:56 pmkerusuhan yang disengaja dan dikondisikan, seperti layaknya reality show…kita yg jadi korban..!! bukan pejabat masa lalu…ataupun orang-orang yg sekarang menjabat…karena diuntungkan oleh situasi waktu itu
kambrium
May 12, 2013 at 5:59 pmkisah yang mencekam!