Koteka menatap modernisasi

“ Wah wah wah wah “ suara itu bersahut sahutan memenuhi perkampungan Suku Dani di desa Jiwika – distrik Kurulu, Lembah Baliem – menyambut kedatangan kami. Artinya, terima kasih atas kedatangannya. Dusun yang luas ini terletak di dilereng bukit yang tinggi, dengan sebuah sungai kecil membelah hutan kecil disisinya.

Para lelaki keluar satu per satu dari pondok kayu berbentuk bulat dengan atap rerumputan yang disebut Honai, langsung menjabat erat tangan kami. Hangat dan sangat bersahabat. Semua lelaki dewasa tinggal bersama sama di pondok honai yang disebut Pilamo. Beberapa pasang mata tampak hanya menyelidik dari dalam kegelapan honai.

Sementara kaum wanita duduk duduk bersama anak anaknya di depan rumah pondok kayu memanjang. Rumah ini merupakan tempat tinggal wanita dan anak anak sekaligus berfungsi sebagai rumah dapur. Lebih tepatnya sebagai penyimpanan logistik bahan makanan, karena mereka memasak di halaman. Pondok bagi wanita dan anak anak disebut Ebeaila.

Yali Mabel, sang kepala suku menyeringai lebar sambil menghisap rokok tembakau local cap “ Anggur Kupu “. Wajahnya keras dan tatapannya tajam. Berambut keriting dan sebagian wajah hitamnya dicat hitam dari arang. Ia tetap mengenakan holim ( koteka ), bertelanjang dada, tanpa alas kaki dan kepalanya dihiasi hiasan bulu bulu burung. Ada hiasan kerang kerang yang menjuntai di dadanya. Satu satunya produk modern yang melekat di badannya hanya sebuah jam tangan stainless steel di pergelangan tangannya.

Ia berusia kira kira 55 tahun dan dianggap salah satu pimpinan suku Dani yang terkemuka.
“ Orang tua baru pulang dari Spanyol “ Dengan bahasa Indonesia yang terpatah patah, ia menceritakan baru pulang dari Spanyol dan akan pergi ke Jerman dalam waktu dekat. Selebihnya, Martin dari dinas pariwisata kabupaten Jayawijaya di Wamena menterjemahkan ucapannya.
Ia memang asset propinsi Papua yang sering dibawa bawa ke manca negara untuk promosi pariwisata Lembah Baliem.

Lembah ini merupakan bagian yang paling subur dari dataran tinggi pegunungan Jayawijaya yang membelah bumi papua. Beriklim sejuk dan dingin kalau malam, Lembah Baliem terletak di ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut dan dikelilingi dan dikelilingi oleh puncak puncak yang diantaranya mencapai hingga 4.800 m.. Kabut yang melingkari bagaikan sabuk cakrawala yang mistis.
Jika cuaca cerah, dari sebuah teras resor milik seorang kebangsaan Jerman, kita dapat menatap puncak Cartenz Piramid yang legendaris itu.

Lelaki Dani ini, mengerti benar untuk mendayagunakan potensi yang melekat di sukunya. Suku Dani adalah salah satu dari tiga suku besar yang menghuni Lembah ini, selain Suku Lani dan Yali.
Dani dan Lani yang berbagi tanah di dataran rendah – saling berkaitan erat – berbicara dalam dialek yang berbeda dari rumpun bahasa yang sama tapi memahami.

Sementara Suku Yali berbicara bahasa yang sama sekali berbeda, dan tinggal di dataran yang lebih tinggi. Mereka lebih primitif, tertutup dan bisa dicapai setelah menempuh perjalanan 5 hari berjalan kaki – trekking – menembus hutan dan lembah.

Dusun Jiwika terketak hanya 20 kilometer timur laut Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Jalan aspal sudah menghubungkan dan dapat dilalui kendaraan untuk transportasi para turis.
Pak Yali Mabel, yang buta huruf itu sering datang ke kota menemui tamu tamu di Bandara udara atau mengetor uang ke tabungannya di Bank Mandiri. Ia tetap mengenakan koteka. Walau kadang susah membedakan uang seratus juta dan sepuluh juta. Ia mendapat pemasukan dari atraksi budaya Dani dari wisatawan yang datang. Untuk upacara batu bakar ia bisa mematok harga antara 5 juta sampai 20 juta. Tergantung besar babi yang akan dihidangkan untuk pesta.

Aspek komersial ini membuat sebagian kehidupan masyarakat suku Dani berubah. Anak anak kecil dan wanita terbiasa mengantar tamu ke dalam pemukiman dengan meminta upah. Mata penduduk perkampungan terbiasa dan hapal dengan arah kamera. Begitu ada kamera yang menjepretnya. Serta merta mereka menghampiri dan meminta uang.
Saya yang sudah mendapat informasi ini sudah menyiapkan gembolan uang kertas lima ribuan dari Jakarta.

Ada kesan memang Dinas Pariwisata memanjakan kepala Suku Dani, yang banyak memiliki istri ini. Bupati memberikan sebuah mobil Mitsubishi Strada yang tak pernah dipakainya. Tak heran mind set sebagian suku Dani menjadi manusia primitif yang terserabut dari budayanya. Mereka tetap memakai koteka hanya untuk mempertahankan pemasukan uang saja. Bukan sebuah pilihan hidup yang yang turun dari generasi ke generasi.

Marius, anak sang kepala Suku memilih memakai baju dan celana, ketika hendak memasuki kota Wamena. Naik angkutan umum dengan ongkos Rp 10,000,- . Sementara masih banyak generasi tua yang berjalan kaki menempuh jarak puluhan kilometer ke kota dengan tetap memakai koteka.

Sambil terus berunding dengan produser saya. Kepala Suku ini sesekali berbicara dengan beberapa laki laki anggota masyarakat ini. Untuk menyepakati jumlah harga yang harus kami bayarkan selama beberapa hari syuting di dusunnya.
Sesekali ia melirik pada bungkusan rokok yang saya bawa. Ia ingin mencoba Marlboro. Sebagai bagian dari strategi negosiasi, saya berikan rokok dan kepada masyarakatnya. Termasuk permen tenggorokan “ Fisherman’s Friends “.

Kepala Suku mengejab ngejab karena rasa aneh di mulutnya. Pemain figuran layar lebar “ Denias “ ini ternyata menyukai dan meminta seluruh isi bungkus permen itu. Tak lupa ia meminta obat flu untuk warganya yang sakit. Satu trip ‘ Panadol ‘ dengan cepat berpindah tangan.
Kemana obatan obatan yang disediakan alam untuk mereka ?

Jaman memang sudah berubah. Kehidupan yang berusia ribuan tahun itu kini hanya menjadi bagian dari atraksi budaya. Bersinggungan erat dengan dunia konsumerisme. Walau sangat dihargai bagaimana Pak Yali Mabel dengan keras mempertahankan budaya ini. Bagi orang papua dari kampung lain yang memasuki area perkampungannya tidak boleh memakai pakaian.

Ketika kami sedang melakukan syuting simulasi perang perangan suku. Saya melihat Pak Yali Mabel berlari ke sebuah arah sambil menembakan anak panahnya. Panah itu meleset, dan tampak seorang – berpakain – dari kampung lain yang pontang panting ketakutan dipanah.

Seperti kebanyakan masyarakat pegunungan Jayawijaya ini, umumnya warga bertani secara tradisional. Mereka menanam sayur dan umbi umbian sebagai bahan makanan, serta meminum air langsung dari sungai. Saya melihat ada sebuah tanki penampungan air bersih di pojok kampung. Karena perannya yang sangat penting, sungai tidak menjadi pembuangan sampah. Ada larangan membuang hajat dan kencing di sungai.
Kadang mereka masuk ke hutan selama berhari hari untuk berburu Kus Kus atau burung burung.

Mereka juga memelihara kambing atau babi. Namun babi tetap merupakan simbol kekayaan. Kehormatan seseorang – yang digunakan kelak dalam melamar calon istri – dilihat dari jumlah babi yang dimiliki.

Tak ada yang bisa mencegah arus modernisasi, Jauh berpuluh tahun sebelumnya Gubernur Frans Kaisiepo, yang pertama mensosialisasikan kampanye pakaian yang ‘ sehat ‘ dan ‘ sopan ‘. Agak aneh melupakan budayanya sendiri. Sementara jaman orde baru puluhan ton pakaian di drop dari udara di pegunungan Jayawijaya.
Karena kebodohan dan kemiskinan, pakaian ini dipakai terus dan tidak pernah dicuci hingga akhirnya robek robek.

Di Kota Wamena, yang tak terlalu jauh dari pemukiman Suku Dani, menggeliat tumbuh menerima arus modernisasi. Warnet, café, karaoke dan hotel hotel terus bermunculan.
Lama kelamaan masyarakat pengguna koteka menjadi terasing diwilayahnya sendiri. Wanita wanita Dani menjual rok rumput tradisionalnya untuk membeli barang barang konsumsi, seperti makanan dalam bungkus plastik.

Gambaran ini sama sekali berbeda ketika sebuah Dakota DC 3 milik sekutu jatuh di salah satu pegunungan, Lembah Baliem tahun 1945. Hanya tiga orang awak yang selamat dan menjadi saksi peradaban yang terasing dan dunia yang indah. Sehingga mereka menjuluki Shangri-la, padanan dari sebuah tempat atap dunia di daerah Tibet dan Nepal.
Lembah Baliem tetap seperti Shangri-la dengan gunung gunungnya yang menjulang dan lembah lembahnya yang menawan. Butuh sebuah transisi yang ideal dari masyarakat yang terbelakang menuju dunia modern.

Hari itu, kami akan terbang ke Jayapura setelah hampir seminggu di Wamena. Lapangan terbang masih sepi karena pesawat belum datang. Dari jauh saya melihat Pak Yali tergopoh gopoh memasuki ruang tunggu, dengan ditemani anaknya.
“ Kurang 4 juta bapa “ katanya mendesak. Ia meminta uang tambahan dari jumlah yang telah disepakati. Bisik bisik rupanya dia dipengaruhi dinas pariwisata setempat untuk meminta tambahan.
Rupanya pariwisata, birokrasi dan konsumerisme masih seiring sejalan.

You Might Also Like

38 Comments

  • Wazeen
    November 15, 2009 at 7:53 pm

    Indahnya bumi yang perawan.

  • felicia
    November 15, 2009 at 8:02 pm

    Ironi, kan? Sesuatu yg (tdk perlu terlalu banyak debat utk) disebut sbg ketertinggalan, dipandang perlu dipertahankan demi pariwisata (baca: rupiah).

    Memang, “butuh sebuah transisi yang ideal dari masyarakat yang terbelakang menuju dunia modern”. Tapi siapa katalisator utk transisi itu, kalau sektor pariwisata berkepentingan atas bertahannya ketertinggalan?

  • didut
    November 15, 2009 at 8:51 pm

    baca yg terakhir agak menyesakkan juga mas … kadang malah jadi bingung apakah menjadi modern itu memang jalan yang lebih baik

  • Isnuansa
    November 15, 2009 at 10:22 pm

    Rupanya mereka sudah mahir bertransaksi ya. Dan paham dgn ‘aset’ yg mereka miliki, shg pilihan mempertahankannya lbh didasari motif ekonomi. Sy pernah punya kawan sma pindahan dr suku dani, tp tdk bs mengorek info apapun dr dia tentang sukunya. Wong ngajak komunikasi pake bhs indonesia aja susah…

  • Arief Rachmat
    November 15, 2009 at 11:09 pm

    Modernisasi emang sangat merubah budaya yang indah itu yaa.. Sama juga ketika saya menginjakkan kaki di Maluku setahun yang lalu, saya juga sedikit kaget,jauh dari yang saya pikirkan. Kota setiap hari macet, tempat hiburan & pertokoan sudah menjamur. Tapi saya bersyukur masih bisa menikmati atraksi bambu gila dan sunset di pulau Seram dengan setiap hari.

  • oCHa
    November 16, 2009 at 3:07 am

    modernisasi yang terjadi disana rupanya memang tidak seiring sejalan dengan kecerdasan dan kekayaan. dan itu juga banyak terjadi di berbagai penjuru nusantara yang tak terjamah pendidikan ini. modernisasi tetap menggebras maju namun tidak diisi dengan ilmu2 yang mendukung, maka yang terjadi adalah apa yang digambarkan mas iman diatas 😀

  • DV
    November 16, 2009 at 5:21 am

    Hehehehe, saya suka foto si kepala suku pake handphone…

  • clingakclinguk
    November 16, 2009 at 8:11 am

    kira-kira pembangunan seperti apa ya yang cocok untuk mereka, mas? yang tetap bisa mempertahankan tradisi tanpa membuat mereka berstatus “tertinggal”
    karena seringkali pembangunan itu ya identitk dengan moderninasi, yang mengikis tradisi.

  • mawi wijna
    November 16, 2009 at 8:20 am

    Budaya mungkin hanya sekedar ‘aset’ yang bisa diperjual-belikan tapi kemauan dari warga sendiri untuk tetap bertahan hidup dengan budaya mereka itu tidak boleh digadaikan dengan uang.

  • mitra w
    November 16, 2009 at 8:45 am

    Hmmm, jadi inget acara di NGC yang meet the natives :).
    Btw, ga nyalahin mereka juga sih pak ya, modernisasi memang pesat menggencet, termasuk wilayah-wilayah terisolir sekalipun..

  • bangsari
    November 16, 2009 at 9:16 am

    penasaran. sepuluh dua puluh tahun lagi mereka jadi seperti apa ya?

    pinter, ndak. alam, rusak. pendatang semakin banyak. kemampuan beradaptasi, ga ada.

  • nicowijaya
    November 16, 2009 at 9:42 am

    carteeeenz… *ngeliatin merapi dulu*

  • manusiasuper
    November 16, 2009 at 9:48 am

    Gain some.. lose some…

  • geblek
    November 16, 2009 at 11:10 am

    jadi mereka itu bukan karena tertinggal zaman toh ?
    mereka hanya ingin budaya terjual begitu mas

  • hanny
    November 16, 2009 at 11:22 am

    langsung melihat sisi dunia yang berbeda. kalau sudah tersentuh konsumerisme gini, apakah kearifan lokal masih berlaku? atau mereka jadi terkikis daya kebertahanannya dan tergantung juga pada turisme dan modernisme? keren tulisannya, mas imaaaan!!! 🙂

  • hedi
    November 16, 2009 at 11:28 am

    sebelum jadi obyek penderita dinas pariwisata, mereka dah lebih dulu jadi obyek germo pelacuran dengan barter kayu gaharu 🙁

  • morishige
    November 16, 2009 at 11:28 am

    Aspek komersial ini membuat sebagian kehidupan masyarakat suku Dani berubah.

    belakangan di jawa tengah dan jogja banyak dibikin desa wisata, mas. keknya lama kelamaan orang-orang desa wisata itu juga jadi sekomersil suku Dani nih…

  • aad
    November 16, 2009 at 11:37 am

    Paragraf terakhir bikin miris, ternyata ada oknum2 pemda dibalik itu

  • Chic
    November 16, 2009 at 11:39 am

    photo-photo papua di flickr-nya Mas Iman ngeri banget! bikin iri pengen ke sana…. 😥

  • Dilla
    November 16, 2009 at 12:33 pm

    wah..ternyata begitu ya mas.. budaya yang sangat dikomersialkan..

  • beno
    November 16, 2009 at 2:57 pm

    mas, kemaren sewaktu disana sempet coba koteka dan merasakan sensasinya gak? kayaknya perlu ditulis tuh sensasi pake koteka..

  • anderson
    November 16, 2009 at 3:41 pm

    Prihatin sama fenomena yang Mas Iman tulis di paragraf terakhir. Konsumerisme ternyata udah membuat orang-orang seperti Pak Yali, yang kelihatannya polos dan lugu, menjadi orang matre, tak ubahnya orang-orang kapitalis dikota besar..

  • diyantouchable
    November 16, 2009 at 4:26 pm

    prihatin juga adalah kesan pertama yang saya rasakan waktu menginjakkan kaki di kampung kurulu, anak2 berlarian mengejar mobil yang kami tumpangi.
    ketika kami sampai langsung mereka berganti pakaian dengan koteka dan ikat kepala bulu….
    kaum ibu tak mau kalah, langsung membuka pakaian mereka dan menggantinya dengan rok tradisional….
    komersialisasi ketertinggalan mereka membuat miris hati kami…

    setelah itu kami mengambil gambar aktifitas pertanian di daerah sinakma, pada awalnya para ibu yang bekerja di ladang tidak keberatan kami melakukan shooting….
    tak lama kemudian datang seorang pria berpakaian dinas, mereka pun terlibat pembicaraan dalam bahasa dani…

    “bayar e !”

    “kan ada lima orang jadi semua seratus ribu.. ” tukas salah seorang ibu.

    keadaan jadi berubah drastis, interaksi yang tadinya hangat menjadi agak renggang karena adanya rupiah yang terlibat….

    padahal kami sedang membuat dokumenter mengenai program pengembangan wanita pegunungan tinggi….

    ironis…..

  • zam
    November 16, 2009 at 10:54 pm

    kok gambar papua.gif nya ndak dikeluarkan, mas?

    *oles mentega ke koteka baru*

  • nahdhi
    November 17, 2009 at 10:43 am

    Bayarnya pake dolar aja mas. 😀

  • Buaya Darat
    November 17, 2009 at 2:05 pm

    Papua, semoga mereka menemukan kesejahteraan di negerinya sendiri

  • antyo rentjoko
    November 17, 2009 at 3:29 pm

    Saya belum pernah ke sana. Isu tentang “komersialisasi genuinitas” sudah kerap saya dengar. Tapi saya tersentak oleh kalimat Bung Iman: “Kemana obatan obatan yang disediakan alam untuk mereka?”.

    Ya, ke mana? Apakah pertabiban lokal juga sudah luntur, sehingga selain buah merah (dengan segala kesalahkaprahannya) tak ada lagi tetumbuhan obat yang dikenal 10 tahun mendatang? Maksud saya, tanamannya (semoga) masih ada, tetapi informasi tentang khasiat mungkin sudah terhapus dari benak.

  • lance
    November 17, 2009 at 6:49 pm

    komersialiasi budaya akhirnya akan ada pilihan, menggerus budaya itu sendiri atau merawat budaya itu

  • Big
    November 18, 2009 at 3:17 pm

    WAh jadi horny mas, lihat kotekanya mas iman
    hehehe…….. besar gak ya????

  • indrafathiana
    November 19, 2009 at 10:54 am

    nyesek…

  • venus
    November 19, 2009 at 3:33 pm

    tapi di satu sisi, kalo nonton mereka di tivi atau profile budaya dan masyarakat papua di majalah, saya kasian. kita yang di (pulau) jawa hidup dengan segala kemudahan dunia modern, tapi kita berharap mereka memepertahankan budaya mereka yang, ya maaf, gak memanusiakan manusia kalo menurut saya sih. masa mau makan aja harus berburu dulu, pake baju seadanya kadang malah gak pake. kan kasian, mas *dikaplok* 😀

  • Nika
    November 20, 2009 at 1:35 am

    Saya pernah tinggal 2thn di 1702 mas. Mau ngoreksi kl upacara tradisionalnya bkn batu bakar tapi bakar batu.
    Skr pecahan minimalnya 5rb ya? Dulu 100rupiah merah saja mereka sudah senang. Uang merah katanya. Tp anehnya uang koin mereka tdk mau.
    Bener perumpamaan dr wartawan kompas asal papua. Kalo suku2 lain memulai peradabannya dgn selangkah demi selangkah. Berjalan kaki, naik kuda, naik andong, naik sepeda, naik motor, naik mobil, naik kereta, naik kapal kmdn naik pesawat. Tapi org2 ini dari berjalan kaki kmdn naik pesawat. Ada jurang kesenjangan pengalaman yg lebar. Kmdn bertemu budaya baru dan hrs brkompetisi dgnnya. Ada mata rantai yg hilang. Wajar jika kmdn pariwisata jd objek andalan pemasukan. Krn mrk sdh kalah brsaing di bidang ekonomi dgn pendatang.

  • lady
    November 25, 2009 at 5:09 pm

    kalo sudah berurusan dgn uang, siapapun bisa jd pintar 🙂

  • wijoyo
    November 26, 2009 at 9:16 pm

    kalo terus ditinggal dan sengaja dibodohkan begini, sementara kekayaan alamnya (tembaga dan emas) disedot jakarta…apa masih ada manfaat nya gabung RI ya?

  • yuniar
    December 2, 2009 at 10:15 am

    belum pernah ke sana..

  • ivan
    December 3, 2009 at 5:14 pm

    Mereka melompat berapa generasi (or peradaban?) mas, dari jaman batu langsung ke pesawat terbang ?
    Siapa yang menuntun mereka menghadapi perubahan (tidak hanya budaya, tapi juga peradaban). Mereka kan mlaku dewe (jalan sendiri), terus akibat’e…?
    mbuh ah…gak ngerti aku, kaboten mikire…..

  • farid
    June 26, 2010 at 2:18 am

    mungkin satu kata dari mereka adalah ” Merdeka” !!!
    saya lama di papua dan yang saya melihat adalah Hak mereka telah di rampas dari pemerintah indonesia,baik SDA dan HAM, sudah tidak di hargai bagi masyarakat PAPUA sendiri dan maka dari itu mereka hanya berharap agar bisa terlepas dari NKRI atau negara jajahan..!!!!! I LOVE YOU PAPUA !!!!

  • Fery Hendra
    January 10, 2020 at 4:08 pm

    Budaya Indonesia garus di lestarikan.
    https://hargamitsubishibaru.com/dealer-mitsubishi-bsd-serpong/

Leave a Reply

*