Sukarno membentuk Lembaga Tenaga Atom berdasarkan usulan Dr Siwabessy, agar Pemerintah memberi perhatian kepada pengembangan nuklir. Dokter ahli radiologi ini kemudian dipercaya menjadi ketua, serta membuat cetak biru nuklir nasional serta mengirim mahasiswa Indonesia belajar nuklir di luar negeri.
Ketika Lembaga Tenaga Atom Indonesia ( sekarang BATAN ) didirikan Desember 1958, Bung Karno mengindikasikan bahwa teknologi nuklir harus dikuasai oleh bangsa Indonesia. Bagaimana caranya ?
Yakni dengan memanfaatkan persaingan perang dingin antara Amerika dan Uni Sovyet. Kepada Kennedy, Sukarno berhasil membujuk Amerika menyediakan reaktor kecil berkuatan 250 kilowatt untuk tujuan riset, yang kemudian dibangun tahun 1961 di Institut Teknologi Bandung. Di bawah persetujuan bilateral rencana kerja 5 tahun, Amerika menyumbang dana US $ 451.900,- sebagai bantuan finansial guna pengembangan reactor untuk tujuan damai.
Sukarno sudah menyinggung tentang bom atom ketika diperkenalkan kepada Charles Wilson Menteri Pertahanan Amerika.
Ia membetulkan ikatan dasi sang Menteri pertahanan yang kelihatan miring. Selesai merapikan dasi, Bung Karno melanjutkan ucapannya, “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi.”
Namun Indonesia harus membuat perjanjian dengan mengizinkan reaktor nuklirnya diinspeksi IAEA. Hal tersebut bertujuan untuk mengendalikan Indonesia yang dikhawatirkan tak mengembalikan uranium suplai dari AS dan menggunakannya untuk membuat bom.
Pinternya Bung Karno. Dia gosok negeri beruang merah. Tak mau kalah dengan Amerika, maka Uni Sovyet juga menawarkan pembangunan 2 reaktor untuk tujuan riset. Reaktor pertama selesai dibangun pada November 1962, dengan perjanjian untuk memperoleh reaktor lain berkekuatan 2000 kilowatt yang ditandatangani tahun 1964.
Pada 15 November 1964, Direktur Pengadaan Senjata Angkatan Darat Brigjen Hartono mengumumkan Indonesia akan mengujicoba bom atom pada 1969. Dia mengatakan sekira 200 ilmuwan sedang bekerja memproduksi bom atom tersebut. Dalam laporan itu, direncanakan bom atom Indonesia akan diledakan dalam sebuah uji coba di luar kepulauan Mentawai, Sumatera.
Sehari kemudian, pada tanggal 16 November 1964 ketika ilmuwan ilmuwan anak bangsa yang dipimpin Ir. Djali Ahimsa berhasil menyeleseikan criticality-experiment terhadap reaktor nuklir pertama Triga Mark II di Bandung. Pada keesokan harinya tertanggal 17 November 1964 Surat Kabar Harian Karya memberitakan soal kedatangan abad nuklir di Indonesia.
Tanggal18 November 1964 Radio Australia mengumumkan bahwa “ Indonesia mampu membuat reaktor atom ”. Rencana ujicoba bom atom malah membuat dunia kalangkabut.
Pada tanggal 16 Oktober 1964, Tiongkok berhasil meledakan bom atom pertama, yang membuat ketua Mao sangat bersemangat untuk menunjukan kepada dunia bahwa sebuah negara berkembang juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi nuklirnya sendiri.
Sebagai salah satu penandatangan Perjanjian Pelarangan Terbatas Percobaan Senjata Nuklir ( Limited Test Ban Treaty ), reaksi awal Indonesia terhadap peledakan bom atom Tiongkok, sangat menunjukan sikap anti. Menteri Luar Negeri, Subandrio mengatakan kepada duta besar Tiongkok, bahwa Indonesia menyampaikan kekuatiran negara negara Asia Afrika atas polusi yang diakibatkan debu dan abu radioaktif.
Sikap Subandrio berbalik 180 derajat ketika pada saat bersamaan, Sukarno memperlihatkan ketertarikan untuk mengalihkan penggunaan tenaga nuklir demi tujuan damai, menjadi senjata nuklir. Ia yakin dengan jika Indonesia memiliki senjata nuklir, merupakan kunci untuk meningkatkan status Indonesia di dunia Internasional.
Hubungan yang dekat antara Tiongkok dan Indonesia memungkinkan pembicaraan tentang bantuan pengembangan nuklir bagi ilmuwan Indonesia. Sehingga Sukarno perlu mengumumkan dalam Kongres Muhammadiyah di Bandung akhir Juli 1965,
“ Insya Allah dalam waktu dekat ini kita akan berhasil membuat bom atom sendiri. Bom atom itu bukan untuk mengagresi bangsa lain, tetapi sekadar untuk menjaga kedaulatan tanah air kita dari gangguan gangguan tangan jahil. Akan kita gunakan kalau kita diganggu atau diserang. Bila kita diganggu, seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakan seluruh senjata yang ada pada kita. Sudah kehendak Tuhan, Indonesia akan segera memproduksi bom atomnya “
Publik internasional terhenyak. Negara-negara Barat dan sekutunya khawatir dan protes. Menteri Pertahanan Australia Shane Paltridge mengatakan, pernyataan ini tak boleh disepelekan. Wakil PM Malaysia Tun Abdul Razak, yang merasa sangat terancam, memerintahkan penyelidikan serius upaya Indonesia itu. AS gerah dengan ulah Indonesia itu, dan diplomat-diplomatnya di Jakarta mulai menyelidiki.
AS mendapat kesimpulan, kemampuan nuklir Indonesia belum mencukupi untuk memproduksi bom, oleh karena itu AS tetap melanjutkan bantuannya kepada program nuklir Indonesia. Pada September 1965, AS dan Indonesia kembali menandatangani perjanjian kerjasama nuklirnya
Pada Agustus 1965, Subandrio mengatakan kepada Chen Yi yang berkunjung ke Indonesia,
“ Saya baru sadar Indonesia melakukan kesalahan dengan turut menandatangani Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir di Moscow tahun 1963. Satu satunya cara mencegah perang nuklir dan melindungi keamanan tanah air adalah dengan cara lebih banyak lagi negara negara Asia Afrika memiliki senjata nuklir. Tujuannya untuk mematahkan monopoli nuklir dari imperialism barat dan Uni Sovyet. Indonesia berkeinginan membuat bom nuklirnya sendiri. Dalam hal ini Indonesia berharap agar Tiongkok dapat memberikan dukungan seperti halnya dengan bantuan bidang pembangunan ekonomi dan persenjataan “
Beberapa hari kemudian jaminan dari Menteri luar negeri Chen Yi kepada Subandrio,
“ Dalam hal ini kami dapat memberikan bantuan. Apabila kami tidak memberikan bantuan, artinya kami bukan teman sejati. Menurut pengetahuan kami, anda punya landasan dasar untuk itu “
Dalam pembicaraan lebih lanjut, Sukarno memiliki cetak biru reaktor nuklir untuk pembangkit listri yang sudah harus beroperasi tahun 1974. .Maka sebuah kelompok energy atom bersama rombongan delegasi ekonomi tiba di Tiongkok pada tanggal 21 September 1965. Kelompok atom terdiri dari iluwan dan personil militer, termasuk Marsekal muda Sutopo dan mantan direktur BATAN Djali Ahimsa.
Permohonan dari delegasi Indonesia untuk melakukan kunjungan ke berbagai laboratorium termasuk kunjungan ke beberapa reactor nuklir yang telah dioperasikan. Selama kunjungan ke Beijing, rombongan Indonesia mengunjungi reaktor riset nuklir di Universitas Qinghua, kemudian laboratoriun fisika nuklir Universitas Peking dan Institut Energi Atom guna mempelajari penelitian bagaimana energy atom digunakan untuk tujuan militer.
Rombongan delegasi Indonesia diharapkan akan membawa plutonium dari Tiongkok yang menjadi bagian dari perjanjian antara Sukarno dan Mao Ze Dong. Djali Ahimsa yakin dengan adanya plutonium dari Tiongkok, para peneliti Indonesia akan mampu membuat bom nuklir sendiri. Pada saat itu juga disepakati aka nada kunjungan balasan dari ilmuwan nuklir Tiongkok ke Indonesia pada tahun 1966. Universitas Qinghua merundingkan kerja sama dengan ITB untuk menyambut kunjungan ilmuwan Tiongkok itu.
Pada Malam hari tanggal 30 September 1965, hanya beberapa jam sebelum G 30 S terjadi di Indonesia. Mao Zedong bertemu dengan wakil delegasi Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) yang diundang ke Beijing untuk menghadiri perayaan nasional Tiongkok. Disela sela pembicaraan bilateral, ketua Mao berbicara tentang bantuan nuklir kepada Chaerul Saleh.
Ketua Mao : Dewasa ini dunia dalam tidak masa damai, karenanya kita memerlukan kekuatan militer, dan tambahan lain lagi, bom atom. Apakah kalian ingin membuat bom atom ?
Chaerul Saleh : Kami ingin, dan kami tidak setuju jika kepemilikan persenjataan nuklir hanya didominasi oleh beberapa kekuatan besar saja
Ketua Mao : Kalian harus membuatnya. Tidak ada monopoli. Semua teknologi harus dibuka. Semua negara harus dapat berkomunikasi dengan bebas. Dengan adanya G 30 S secara fundamental telah mengubah kebijakan Tiongkok terhadap Indonesia termasuk bantuan pengembangan tenaga nuklir. Tadinya Perdana Menteri Zhou Enlai berencana mengadakan dialog yang lebih mendalam dengan kelompok energy atom Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1965, untuk membicarakan rincian bantuan Tiongkok kepada Indonesia. Namun dengan kejadian yang terjadi di Indonesia, pertemuan itu ditunda untuk waktu yang tidak jelas. Ketika Djali Ahimsa menanyakan tentang kemungkinan mengunjungi pabrik pengayaan uranium di Chengdu, Zhou Enlai menjawab ia akan mengaturnya. Namun kunjungan itu tidak pernah terjadi.
Tanggal 2 Oktober AURI mengirikan pesawat untuk menjemput sebagian anggota delegasi tersebut. Sebagian besar anggota delegasi memutuskan tinggal lebih lama di Tiongkok, dan hanya sebagian kecil yang pulang. Marsekal muda Sutopo dan ilmuwan nuklir Djali Ahimsa termasuk yang terangkut pulang dan mereka kembali di Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1965.
Era Nuklir Indonesiapun akhirya pupus. Pengganti Sukarno kurang menunjukan minat pada teknologi nuklir. Mungkin kita harus menunggu satu abad lagi
3 Comments
Jarwadi
April 16, 2016 at 7:17 amsoekarno memang visioner. 🙂
Alris
April 20, 2016 at 12:58 pmPemikiran Bung Karno melebih masanya.
Bung Iman, saya ada permintaan, “tolong tulis tentang Chaerul Saleh, seorang pejuang kemerdekaan yang mengalami tragedi nasib.”
ibas
October 10, 2023 at 8:30 amgood article, thank you