Bung Karno & TVRI

 

Ide tentang siaran Televisi sudah dipikirkan Bung Karno sebelum Pemilu tahun 1955. Hanya saja situasi politik saat itu masih belum mengijinkan pembentukan televisi nasional dan proyek itu masih dianggap terlalu mahal, sehingga harus ditunda. 

Tapi menjelang perhelatan Asian Games IV tahun 1962, mantan Menteri Olahraga Maladi mengingatkan kembali Bung Karno tentang pentingnya kehadiran televisi. Maladi percaya bahwa siaran olahraga melalui televisi akan membangkitkan nasionalisme dan kebanggaan bangsa yang sempat dikacaukan berbagai gejolak pada awal kemerdekaan Indonesia. 

Bung Karno saat itu melihat tidak ada masalah dengan pendanaan karena Indonesia memilki dana pampasan perang dari Jepang. Dengan televisi, masyarakat di pelosok tanah air tak cuma mendengar suara tapi bisa melihat bagaimana para atlet Indonesua berjuang di pentas olahraga terbesar Asia itu. 

Sebagai seorang yang sudah keliling dunia, tentu Bung Karno paham bagaimana peran televisi, sebagai sebuah sarana untuk menunjukan kebesaran bangsa Indonesia ke seluruh dunia. Ia menggambarkan televisi sebagai alat untuk pembangunan bangsa, revolusi, dan pembentukan manusia Indonesia.  

Pada 23 Oktober 1961, Bung Karno mengirimkan telegram dari Wina, Austria kepada Maladi. Isinya, memerintahkan kepada mantan kiper nasional yang dipercaya menjadi Menteri Penerangan untuk mendirikan stasiun televisi di Indonesia. Dalam telegramnya, Presiden Sukarno memutuskan agar proses pembangunan diserahkan kepada Nippon Electric Company (NEC).

Seiring dengan telegram tersebut, Bung Karno juga memutuskan untuk memasukkan stasiun televisi dalam proyek pembangunan sarana ASIAN GAMES IV di Jakarta.

Keputusan itu diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 20/SKM/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T) pada 25 Juli 1961. 

SK tersebut diperkuat oleh arahan Presiden Sukarno untuk segera mempersiapkan proyek televisi dengan membangun studio di Senayan, membangun dua pemancar 100 watt dan 10 kw dengan tower 80 meter, dan mempersiapkan program dan sumber daya manusia terkait pertelevisian. Dengan hadirnya TVRI, Indonesia menjadi salah satu dari empat negara di Asia yang memiliki stasiun televisi, di belakang Jepang, Filipina, dan Thailand. 

Perhatian Presiden Sukarno pada pembentukan Televisi nasional ini sangat besar.  M. Sutarto  – saat itu Direktur PFN – yang ditunjuk sebagai ketua P2TV diperintahkan untuk belajar pertelevisian di Amerika selama 5 bulan. Selain itu dibentuk tim teknis berjumlah 20 orang. Tim tersebut diambil dari Pusat Perfilman Negara (PFN) dan Radio Republik Indonesia (RRI). 

Teknisi tersebut pada awal tahun 1962 dikirim keluar negeri untuk mempelajari tata cara penyiaran televisi selama tiga bulan. Sebanyak 16 orang dikirim untuk dilatih oleh tim NHK di Jepang. Sisanya mengikuti pelatihan di Inggris oleh tim BBC

Sejak dibentuk, P2TV hanya memiliki waktu persiapan selama 10 bulan.

Salah satu tugas P2TV adalah melakukan penelitian lokasi studio maupun pemancar. Setelah melalui penelitian lapangan, diputuskan pembangunan studio di Senayan, yang tadinya merupakan Kompleks Akademi Penerangan Indonesia.

Stasiun pemancar awalnya disarankan dibangun di atas Hotel Indonesia, dengan pertimbangan letaknya di tengah kota dan menara yang diperlukan cukup setinggi 45 meter. Usul lain disarankan didirikan di bekas Gedung Perfini, Jl. Tendean, karena pertimbangan dengan daya pancar sepuluh kilowatt dapat menjangkau hingga wilayah Bogor. Namun, keputusan akhirnya ditetapkan di lokasi TVRI sekarang yang bersebelahan komplek Gelanggang Olah Raga yang dekat dengan kompleks berlangsungnya Asian Games IV.

Selain membangun stasiun televisi dan menyiapkan berbagai perangkat pendukungnya, pemerintah membeli 10 ribu pesawat televisi untuk dibagikan ke seluruh pelosok tanah air. Thayeb Moh Gobel dipercaya memproduksinya dengan menggandeng mitranya dari Jepang, Matsushita Electric Industrial. 

Pada 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta. Siaran percobaan ini menggunakan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Menjelang pembukaan Asian Games, 24 Agustus 1962, Gobel dan Matsushita memberikan televisi hitam putih produk pertama mereka kepada Ibu Negara, Fatmawati

Saat Asian Games berlangsung, TVRI terus menyiarkan pertandingan berbagai cabang olahraga. Beberapa tahun kemudian Harian Kompas, 21 Agustus 1975, pernah mengenang peristiwa tersebut dengan artikel yang mengatakan reporter yang menyiarkan adalah Alex Leo. “Selamat pagi, Biro Radio dan Televisi Organising Commite Asian Games IV,” ucap Alex Leo. 

Ketika Asian Games usai pada 4 September 1962, TVRI belum siap dengan program siaran, dan baru kembali mengudara pada 5 September 1962. Materi siaran adalah film produksi PFN yang hanya memunculkan suara penyiar tanpa gambar. Durasi siaran 30 menit selama 5 kali seminggu, dari Senin hingga Jumat. 

Pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu, tak ada siaran. Pada 12 November 1962, TVRI mulai menyiarkan program rutin setiap hari dari studio.


Sebagai dasar hukum kedudukan TVRI, maka dikeluarkan Keppres No. 318/1962 tentang pengintegrasian TVRI ke dalam Yayasan Gelora Bung Karno. Tetapi pada tanggal 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres baru No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden Sukarno sendiri.  Dengan keluarnya Keppres ini, artinya TVRI menjadi Lembaga sendiri diluar Yayasan Gelora Bung Karno dan kedudukannya langsung dibawah Presiden Sukarno. Pada 1964 mulai dirintis pembangunan stasiun penyiaran daerah. seperti pembangunan TVRI Stasiun Yogyakarta. Status TVRI sebagai Yayasan berlangsung hingga 1975.

Hubungan Bung Karno dengan TVRI sangat erat. Saat itu TVRI sudah bertugas untuk menyiarankan seluruh acara kenegaraan.  Bahkan Bung Karno memiliki pembawa acara atau reporter TVRI yang sangat dikenal seperti Eddi Elison.

Ada kisah menarik yang menggambarkan hubungan dekat Bung Karno dengan reporter TVRI itu. Dalam semua plot buku putih orde baru tentang G 30 S.

Semua dimulai dengan kisah dalam acara Munastek di Istora Senayan, dimana Bung Karno menerima surat dari seorang tentara yang memberi tahu bahwa gerakan akan dimulai malam ini.

Kemudian selanjutnya Bung Karno memberi wejangan soal wayang dalam episode Barata Yudha yang diartikan jangan ragu ragu untuk bertindak walau harus berhadapan dengan saudara sendiri.

Ternyata ada penjelasan yang luput dari skenario yang dirancang untuk menjatuhkan Bung Karno. Justru kesaksian Eddi Elison, reporter TVRI yang bertugas malam 30 September akhirnya mementahkan skenario tersebut.

Menurutnya ia diperintahkan Kolonel Maulwi Saelan untuk jadi MC dalam acara Munastek di Istora Senayan. Begitu memasuki Istora Senayan, ia langsung melihat spanduk di belakang mimbar yang berisi kutipan perintah Khresna kepada Arjuna dalam bahasa Sansekerta, yang mana Arjuna bimbang dalam perang Baratha Yudha karena harus berhadapan dengan saudara saudaranya sendiri.  

Kutipan dari Bhagavad Gita, itu seharusnya ditulis Karmane Fadikaraste Mapalesyu Kadtyana ( kerjakan semua tugasmu tanpa menghitung untung rugi ).

Namun pada malam itu ditulis Karamani Evadi Karatse Mafealesui Kadatyana. Sebagai orang yang mengerti hikayat Barata Yudha, Eddi Elison mengetahui penulisannya salah. Presiden pasti cermat dalam membaca sesuatu.

Saat itu sirene sudah meraung raung, artinya konvoi Presiden sudah mendekat yang artinya tak ada waktu untuk membetulkan. Maka secara spontan ia mendekati Bung karno ketika mendekati mimbar dan meminta maaf karena kesalahan tulis. Seketika Bung Karno membalikkan tubuhnya menecrmati isi spanduk, sambil mengangguk angguk.

Kemudian di atas panggung, Bung Karno memanggil Eddi serta menguraikan isi kutipan perintah Khresna tersebut. Bung Karno terpaksa membicarakan Bhagavad Gita akibat panitia salah tulis, bukan seperti kesaksian mantan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko bahwa operasi penculikan akan dilakukan sehingga Bung Karno perlu memberikan isyarat motivasi keberanian terhadap penculik Jenderal Jenderal.

Tanpa melupakan sejarah, TVRI memang tak bisa bisa dilepaskan pembentukannya oleh Bung Karno. Sejarah juga mencatat pidato terakhir Bung Karno  ‘ Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah ‘ atau yang terkenal disingkat Jasmerah dalam pidato hari ulang tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. 

“ Hasil-hasil positif yang sudah dicapai di masa yang lampau jangan dibuang begitu saja. Membuang hasil-hasil positif dari masa yang lampau tidak mungkin. Sebab, kemajuan yang kita miliki sekarang ini adalah akumulasi hasil-hasil perjuangan di masa lampau, yaitu hasil-hasil macam-macam perjuangan dari generasi nenek moyang kita sampai kepada generasi yang sekarang ini “.

TVRI adalah sebuah rumah sejarah peradaban bangsa dari masa ke masa, sehingga kita bisa terus berkaca untuk selalu menjaga persatuan.  Bung Karno juga mengingatkan bangsa Indonesia tentang sejarah bangsa Indonesia, siapa bangsa Indonesia, dan apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan persatuan. Ia mengingatkan bangsa Indonesia bisa saja menghadapi konflik sesama anak bangsa.

“ Saya sadar bahwa saya akan tenggelam. Namun biarkan saya rela tenggelam, agar rakyat Indonesia dengan demikian tetap bersatu, tidak terpecah belah “.

Pidato terakhir Bung Karno disiarkan di TVRI itu masih relevan dengan situasi bangsa saat ini, sehingga tagline TVRI ‘ Media Pemersatu Bangsa ‘ akan hidup dalam sanubari bangsa Indonesia sesuai pesan Bung Karno.

You Might Also Like

3 Comments

  • Antyo®
    May 6, 2021 at 1:20 pm

    “Materi siaran adalah film produksi PFN yang hanya memunculkan suara penyiar tanpa gambar. Durasi siaran 30 menit selama 5 kali seminggu, dari Senin hingga Jumat.”

    Biaya produksi siaran televisi memang mahal ya, apalagi pakai pemancar terestrial. Gak kebayang waktu itu seberapa mahalnya, apalagi jumlah pesawat TV sedikit.

  • cetakmakalah.blogspot.com
    March 27, 2022 at 9:43 am

    Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak.

  • ibas
    October 10, 2023 at 7:36 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*