Konon Panembahan Senopati pendiri dinasti Mataram, sewaktu topo broto di pantai selatan memohon datangnya wahyu kekuasaan benar benar membuat geger kehidupan laut. Karena kesaktiannya, lautan jadi mendidih dan bergelora. Ikan ikan dan segenap isi laut tumpah dan mati disegenap penjuru. Alkisah, Kanjeng Ratu Kidul bergegas menemuinya karena kuatir isi lautan bakalan musnah. Intinya, bahwa manusia terlalu egois untuk memaksakan nafsu duniawi dengan ‘ memerkosa ‘ alam. Saat alam membalas memuntahkan bencana, manusia hanya bisa merintih dan meminta belas kasihan. Meratapi kematian.
Biasanya saya selalu suka hujan. Bau basahnya, juga udara dinginnya membuat saya sering kebanjiran inspirasi. Segar dan sekaligus melankolis. Namun kalau hujannya tak pernah berhenti, ditambah badai dan banjir ‘ betulan ‘ dimana mana. Rasa rasanya bukan hal yang ideal lagi. Jalanan macet karena lubang lubang di jalan bertambah banyak, syuting outdoor banyak tertunda – karena pawang juga menyerah – menunggu cuaca bagus. Yang lebih menyesakan bahwa banyak orang di pojok negeri ini harus menderita dan menjadi korban.
Ini bukan sekadar lagu lagu Ebiet G Ade yang sering menyanyikan kegetiran di tanah bencana. Ini adalah sesuatu di depan kita. Manusia yang serakah telah mencabut rasa kepekaan alam semesta. Alam kebingungan mengatur siklus hidupnya yang sudah bertahan ribuan tahun. Tak hanya burung burung kehilangan patokan waktu saat berimigrasi. Saya juga kebingungan karena biasanya pada musim angin barat, kita menyelam di wilayah Indonesia timur yang lautnya tenang. Sementara sekarang hujan badai di seluruh negeri. Mungkin BHI juga harus mengatur ulang jadwal pertemuannya bulan bulan ini.
Saya apatis bahwa manusia terlalu tinggi untuk sadar dengan ulahnya. Pun ketika wakil presiden berjanji akan menghijaukan DAS – daerah aliran sungai – Bengawan Solo. Ini hanya menjadi pepesan kosong saat cukong cukong menyeringai di balik pohon pohon yang siap ditebang.
Bengawan Solo hanya diingat melalui royalty lagu saja. Sama dengan Ciliwung yang sekarang begitu nggilani dengan sampahnya. Padahal sewaktu kecil saya pernah nyemplung mandi di sana dekat rumah saya di pasar minggu.
Kami komunitas penyelam mempunyai program ‘ beach clean up ‘ – membersihkan sampah sampah bawah laut di kepulauan seribu setiap setahun sekali. Biasanya satu kelompok untuk 1 – 2 pulau yang hasil sampahnya bisa satu bak truk sendiri. Biasanya juga kami menyeringai getir saat kembali ke pelabuhan marina, melihat manusia dengan ringannya membuang bertong tong sampah di teluk Jakarta. Kami sadar apalah artinya apa yang baru saja kami lakukan. Menggarami lautan ?
Tapi setidaknya saya mencoba tersenyum, bahwa selalu ada harapan. Sekecil apapun. Saya teringat postingan masa lalu saat tak menduga si kecil buah hati saya menuliskan coretan untuk sebuah dunia yang lebih baik.
Yang jelas sambil mengedit film – hujan dingin begini – paling enak memikirkan tongseng panas yang dikepyuri bawang goreng , dan dikeceri jeruk nipis. Terlalu jauh saya memikirkan menjadi pelakon kampanye Global Warming. Biar saja sang dalang yang membuka lakon itu. Tek tek tek tek…Bumi gonjang ganjing, langit kelap kelip..
52 Comments
ina jenai
June 8, 2008 at 5:43 pmsaya mau minta tolong,dengan harapan besar
mas dengan rendah hati saya minta tolong agar mas mau menautkan (menyambungkan) situs
http://www.sbykita.wordpress.com
semoga sukses ya
st dima aryat
February 22, 2009 at 10:20 pmnice blog mas imam 😀