Boscha

Karel Albert Rudolf Boscha, dikenal sebagi Boscha tiba di Indonesia tahun 1887 dan mempelajari teh di Sukabumi sebelum menjabat sebagai direktur kebun teh Malabar di Pangalengan – Jawa Barat mulai tahun 1896 sampai wafatnya tahun 1928.
Ia merupakan representasi pemilik modal yang membuka usaha perkebunan di negeri jajahan sekaligus segelintir bangsa Belanda yang berhasil menjalankan politik balas budi dengan bangsa jajahannya.
Ia membangun sekolah pada tahun 1913 berlokasi di kebun teh sebagai sarana pendidikan bagi putra-putri karyawan perkebunan.
Boscha tidak hanya dikenal di dunia budidaya teh. Ia banyak menyumbangkan pikiran, tenaga, dan dana bagi kepentingan-kepentingan sosial dan pembangunan kota Bandung, seperti Observatorium Bintang Boscha di Lembang, Bala Keselamatan di Jl. Jawa, sekolah bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara, Telefoon Maatschappij voor Bandung en Preanger (kini PT INTI), serta kompleks Nederlands-Indische Jaarbeurs yang kini menjadi kantor kodam.

Ia menjadi ketua Biro Spesialis Teh (tahun 1910) dan ketua Pertanian Percobaan (tahun 1917) dan anggota dewan penyantun untuk Tehnische Hogerschool (kini ITB) sampai tahun 1928. Ia pula yang mendirikan Institut Kanker dan yang pertama memperkenalkan satuan hektar dan kilometer untuk menggantikan satuan tradisional pal dan bahu. Atas jasa-jasanya, ia diangkat sebagai warga kehormatan kota Bandung dan kini namanya diabadikan pula sebagai nama sebuah jalan di utara Bandung.

Ketika Undang Undang Agraria dan Undang Undang Tanaman Tebu disahkan oleh Staten General di Negeri Belanda tahun 1870, menjadi pintu gerbang penanaman modal dan pembukaan perkebunan dalam skala besar oleh perseorangan. Ini sekaligus menghilangkan peran VOC – yang selama ini bertindak atas nama negara, – dan membagi daerah jajahan terhadap konglomerat pemodal kuat. Ini ditambah dengan politik pintu terbuka tahun 1905 yang memperbolehkan masuknya modal asing lainnya selain Belanda.
Bung Karno dalam pledoi pembelaannya di depan pengadilan kolonial Belanda tahun 1930 menyebutnya sebagai Imperialisme modern. Lebih jauh ia membagi imperialisme modern dengan empat ciri :
1. Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal hidup.
2. Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal bekal untuk pabrik Eropa.
3. Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang barang hasil dan macam macam Industri asing.
4. Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal asing yang ratusan dan ribuan jutaan rupiah besarnya.

Lebih jauh ia mengatakan, “ Bukan saja modal Belanda, tetapi sejak adanya ‘ opendeur politiek ‘ juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal lain lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi Internasional karenanya “.
Mereka para pemilik perkebunan, pabrik gula, kereta api dan sebagainya, mendapat kemudahan dan insentif dari pemerintah kolonial sebagai kroni kroni.
Charles Walker Kinloch, dalam catatan perjalanannya ke tanah Jawa tahun 1852 menulis tentang perkebunan teh milik Brumsteede, seorang Belanda di daerah Tjembooliyut – Ciembeluit – dekat Bandung. Dari setiap pound teh yang dikirimkan ke Pemerintah kolonial, ia menerima 75 cents sementara biaya yang dikeluarkan dari setiap pound teh tadi hanya 45 cents. Jadi ia sudah mengantongi keuntungan 30 cents setiap poundnya.

Menakjubkan, pemikiran Soekarno yang visioner ini masih relevan hampir 70 tahun ke depan. Bedanya, penjajahan bukan oleh bangsa asing, tetapi dilakukan dengan sistematis oleh bangsa sendiri. Sebuah gambar karikatur menarik dari majalah Tempo menggambarkan beberapa konglomerat sambil memegang pisau bersiap membagi sebuah kue tart bernama Indonesia. Pertanyaannya, apa yang menjadi kontribusi mereka bagi rakyat sekitarnya. Selain proses kemiskinan,kerusakan alam, penindasan dan pembodohan.
Ternyata gagasan tentang nasionalisme tidak harus diterjemahkan sebagai semangat kaum pribumi yang meneriakan tentang gempitanya bangsa Indonesia serta penolakannya terhadap penjajahan oleh bangsa asing. Ia harus berani merebut masa depannya dari eksploatasi yang dilakukan bangsanya sendiri.
Dalam skala lain, penjajahan oleh bangsa sendiri juga meliputi upah buruh dibawah standar, TKW yang diperas oknum imigrasi, dikerjai petugas bandara ketika setibanya di tanah air , kucing garong yang mengkorup uang rakyat atau hak hak pendidikan dan kesehatan yang terabaikan.

Saat Van deventer meminta politik balas budi terhadap negeri jajahan yang telah memberikan kemakmuran luar biasa terhadap negeri Belanda. Ratu Wilhelmina baru menyadari kota kota Den Haag dan Amsterdam dibangun dari tanah, darah dan keringat negeri jajahannya. Politik Etika atau balas budi itu bagaimanapun bisa jadi sekadar politik basa basi, karena pemerintah kolonial tak pernah rela membiarkan negeri jajahannya maju. Ini juga bisa cerminan dari Pemerintah sekarang apakah hanya basa basi memberikan kemakmuran yang dijanjikan ?
Sungguh gila jika kita membandingkan pemerintah kolonial dengan Pemerintahan sah negeri ini. Tapi siapa yang bisa menebak, dalam roman Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, sang penulis Pramudya disangka menganalogikan Pemerintah kolonial dengan pemerintahan orde baru. Dengan segala bentuk wajah dan tindakannya.

Jika seratus tahun yang lalu pemerintah kolonial Belanda yang konon kafir itu sudah memberikan konsensi perkebunan kepada para pengusaha kroninya, dengan kewajiban melaksanakan politik etikanya. Semestinya para konglomerat kroni pemerintah yang telah mendapatkan kentungan atas konsensi pertambangan, HPH, perkebunan atau perdagangan memikirkan politik etis jaman sekarang.
Boscha yang orang asing itu dimakamkan dalam sebuah taman di dalam perkebunan teh Malabar. Bahkan kini ada sebuah bendera merah putih kecil tertanam di tanah makamnya. Tak tahu siapa yang memasang. Ia hanya meninggalkan pabrik, perkebunan, dan laboratorium ilmu pengetahuan yang masih layak dipakai oleh negeri ini.
Siapa tahu seratus tahun kedepan ada sesuatu yang diwariskan oleh Aburizal Bakrie atau bahkan seorang Soedono Salim.

You Might Also Like

55 Comments

  • suprie
    May 19, 2008 at 11:01 pm

    emang iya mas, di roman tersebut mereka menggambarkan pemerintah orde baru, wah kudu lebih teliti lagi nih baca nya. **ngarep di pinjem mas iman, roman tersebut**

  • Anang
    May 19, 2008 at 11:26 pm

    mas iman jangan salah.. politik etis sudah dilakukan oleh keluarga cendana kepada rakyat indonesia… bukan apa2 dan bukan cari sensasi.. politik balas budi diwakilkan oleh putra mantan penguasa orde baru… bambang trihatmojo kepada mayangsari… weekekekeke…

  • venus
    May 19, 2008 at 11:47 pm

    yaaahh..kirain ada cerita hot dari pangalengan 😀

  • Nayantaka
    May 19, 2008 at 11:53 pm

    endi fotone mas? tapi ojok sing karo gita atau zam 🙂 kalo yang sama sarah juga nggak papa

  • fahmi!
    May 19, 2008 at 11:54 pm

    aku liat foto2 jepretan mas iman di blog gita sama zam, ciamik soro! your kung fu is very good! kalo boleh tau pake lensa apa mas?

  • Koen
    May 20, 2008 at 12:02 am

    Bakrie, sudah meninggalkan Lumpur yang konon bisa berusia puluhan tahun. Bulan ini bisa kita peringati tepat 2 tahun meletusnya lumpur di Porong.

  • indahjuli
    May 20, 2008 at 12:17 am

    mereka meninggalkan kesengsaraan dan hutang yang diwarisi generasi-generasi seterusnya.

  • didut
    May 20, 2008 at 1:26 am

    # simbok: memang kalo mas iman yg crita beda ya 😀

    mbok sakitmu piye?!? blogwalking mulu!! 😛

  • Tresno
    May 20, 2008 at 1:30 am

    kayaknya Lumpur sidoarjo ntar bakal jadi warisan nya bakrie :p

  • Jay
    May 20, 2008 at 1:50 am

    Yang paling disayangkan adalah jalur transportasi ke Bandung Selatan (Pangalengan dan Ciwidey) terlalu pas-pasan, bisa dikatakan tak pernah berkembang sampai sekarang.

  • Silly
    May 20, 2008 at 6:07 am

    Lah, foto yang sama saya lihat di blog Gita… tapi kok gak ada mahluk2nya… Apa yg ditempatnya gitu cuma kamuflase???…

    **nunggu gita ngamuk2 ahhh**

  • Iman
    May 20, 2008 at 7:11 am

    venus,
    biarlah yang ‘ hot hot ‘ itu di japri saja..hi hi
    fahmi!,
    lensa yang di atas lensa Nikkor 70 – 200mm, di bawah lensa Nikkor 10,5mm fisheye, dan yang di blognya zam atau gita dengan lensa Nikkon 12 – 24mm dan 17-55 mm

  • cempluk
    May 20, 2008 at 9:06 am

    ini ceritanya lagi ke Boscha ya bareng blogger kan… 😀 : D rafting pula…hihihihi…jadi pengen abis…hehehe

  • mitra w
    May 20, 2008 at 9:30 am

    bener-bener ya, negara kita masih belum merdeka blazz…

  • Fadli
    May 20, 2008 at 11:58 am

    Orde baru = belanda ?? 🙁

  • CanCerBoy
    May 20, 2008 at 12:50 pm

    ahir2 ini bnyk yg bahas negri kita yg msh ironis,
    tp aLe tetap optimis, Indonesia akan bangkit, Merdeka!™ ^^

  • rumahkayubekas
    May 20, 2008 at 1:10 pm

    Yang ditinggalin ‘penjajah bangsa sendiri’ mah cuman kesengsaraan dan kemiskinan Mas..Dan ohya komplit sama pembodohannya.
    Sedihnya..

  • siska
    May 20, 2008 at 3:45 pm

    hmmm, oleh-oleh cerita dari perjalanan weekend kemaren ya pak??
    hehehehehe….

  • journalight
    May 20, 2008 at 8:14 pm

    salam kenal mas, saya penikmat tulisan2 mas, tapi baru kali ini sempet menongolkan diri…:-D

  • احمد شهيدة
    May 20, 2008 at 10:41 pm

    Sebuah tulisan yang mempunyai visi dan layak menjadi saksi untuk kebangkitan Indonesia ke 100 tahun.

    Mari kita bersama mewujudkan mimpi Indonesia yang makmur dan sejahtera dari hal sederhana, membeli produk sendiri, membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kesehatan lingkungan dengan saling membagi senyum. Saya sendiri juga melakukan penghematan energi, dengan mematikan lampu, alat elektronik, dan rajin berolahraga. Ups, yang terakhir apa hubungannya?

  • Totok Sugianto
    May 20, 2008 at 11:05 pm

    kalau belanda saja masih meninggalkan kebaikan, saya kira penjajahan bangsa sendiri harusnya membuat bangsa sendiri lebih makmur lagi… ini harusnya lho mas 😉

    *mantab oleh2 dari pengalengan kemarin bisa dikembangkan seperti ini.. 😀

  • leksa
    May 21, 2008 at 12:05 am

    saya sudah pernah menyebut istilah bagi mereka2 ini sebagai , Konglomerasi Lokal yang Imperialis..

    Yang saya tahu,
    mereka berdarah Indonesia
    berkelit dengan dagelan”Segala SDA Indonesia digunakan semakmur-makmurnya untuk kesejahteraan rakyat,..eghh.. salah maksudnya lokal..”

  • fahmi!
    May 21, 2008 at 3:04 am

    whoaaa… niat amat mas, sangu segitu banyak lensa. btw aku suka yg jepretan fisheye-nya 😉

  • icHaaWe
    May 21, 2008 at 6:01 am

    denger kaata boscha… mengingatkan saya sama film petualangan sherina

  • Fitra
    May 21, 2008 at 8:18 am

    sakit memang kalo melihat apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini….mudah2an masing kita yang rakyat kecil ini masih kepikiran mau ninggalin warisan yang baik buat bangsa tercinta ini walaupun sekecil apapun….asal banyak yang punya pikiran spt itu, mudah2an yang kecil ini bisa jadi besar….ical kroni dan para sontoloyo itu capek kalo di gremengin terus….marai sakit hati aja….

    Eh, aku baru tau loh, kalo Om Boscha ini punya peran penting dengan perkebunan teh….scara aku penggemar teh…wah jadi seneng dapet info dari blog ini 😀

  • tukangkopi
    May 21, 2008 at 8:20 am

    Bala keselamatan itu bikinan Boscha juga tho? Baru tau saya…

  • edratna
    May 21, 2008 at 8:37 am

    Foto-foto nya bagus…..konon sekarang meneropong bintang juga menjadi sulit dengan semakin banyaknya lampu-lampu di sekitar Boscha…..Lembang memang sudah menjadi kota, dan ladang-ladang tanaman dan kebun teh makin menyempit.

  • jengjeng matriphe!
    May 21, 2008 at 8:42 am

    Jeng-Jeng Pangalengan…

    Jeng-jeng kali ini adalah jeng-jeng pertama saya setelah meninggalkan Jogja. Pangalengan, Bandung Selatan, menjadi destinasi saya untuk memenuhi janji saya berkunjung ke tempat Gita.
    Jeng-jeng kali ini juga bisa dibilang istimewa, karena kali ini saya…

  • zam
    May 21, 2008 at 8:57 am

    informasi tentang K.A.R. Bosscha-nya.. mantab!!!

  • aprikot
    May 21, 2008 at 10:56 am

    @mamy silli: jd begini yah mam, nda enak klo fotoku dan mas iman trus yg dipasang, nanti situ bunuh diri gimana?

    set ini info ttg Boscha mantep pisan yaks

  • Nazieb
    May 21, 2008 at 11:17 am

    Yah, sepertinya Indonesia memang cuma milik mereka yang ada di karikatur itu…

  • balibul
    May 21, 2008 at 11:33 am

    saya mau nyruput kopi mas iman lagi ah, biar bisa matap begini 😀

  • yuswae
    May 21, 2008 at 2:10 pm

    prolognya soal pengalengan…e malah serius nulis sejarah. 😀
    Nek soal teh, aku seneng teh susu dan susu teh ae mas… :))

  • Alex
    May 21, 2008 at 2:55 pm

    ass.

    ini semua pembangkrutan negara, dan yang pasti rakyat kecil yang pasti bangkrut duluan.
    penguasa itu bekerja ya karena diintervensi oleh pengusaha.

    dan pengusaha itu adalh memakai sitem ekonomi kapitalis. bukan pemerataan

    dan saatnya negeri ini dipimpin oleh orang yang tidak takut dengan pengusaha dan konglomerat. Pemimpin yg benar2 cinta pd rakyatnya dan rakyatnya cinta padanya.

    pertanyaanya masih adakah pemimpin seperti itu ?

    bisa jadi ada, tapi belum terpilih.

  • sluman slumun slamet
    May 21, 2008 at 3:44 pm

    politik balas budi….
    lho sekarang marak jugah…
    😀

  • bangsari
    May 21, 2008 at 3:49 pm

    abu rizal mewariskan sesuatu untuk indonesia?

    pasti saat itu tuhan sedang kacau. atau bisa jadi dengkulnya ical tersandung metromini.

  • escoret
    May 21, 2008 at 4:35 pm

    lha kok fotonya dikit..???

    *keluh*

  • daniel
    May 21, 2008 at 5:03 pm

    Indonesia tempo doeloe memang sangat banyak banget sekali sejarah yang terkandung didalamnya. Nah yang jadi pertanyaan bagaimana Indonesia saat ini? akan membawa sejarah apa di masa depan nanti? kerusakan alam, global warming, kebakaran hutan, pembangunan jalan, perumahan dan gedung dimana-mana, hutan gundul? sejarah apa yang akan dibawa dari hal-hal tersebut? tidak bisa dibayangkan masa depan Indonesia nantinya…
    *wah saya koq jadi seperti pengamat ya, jarang-jarang saya komen seperti ini*

  • Iman
    May 21, 2008 at 8:32 pm

    Pepeng,.
    Lha di Zam banyak tuh photonya..

  • Lance
    May 21, 2008 at 9:26 pm

    kemana aje loe..ngilang..katanya hunting juga di sana ?

  • wieda
    May 22, 2008 at 7:41 am

    gajah mati meninggalkan gading….adakah pejabat Indonesia yg bakal meninggalkan lumpur lapindo….????

    wah…brarti sejak dulu Indonesia dijajah bangsa sendiri yah???

  • kw
    May 22, 2008 at 7:43 am

    hmm.. saya jadi rasis kalau lihat karikatur tempo itu.. 🙁

  • zen
    May 22, 2008 at 7:52 am

    filantropi boscha!

  • hanny
    May 22, 2008 at 11:00 am

    observatorium boscha tidak bisa lagi melakukan pengamatan langit secara maksimal karena banyaknya kafe dan rumah penduduk dibangun di sekitar boscha. terangnya lampu-lampu membuat benda-benda langit tak lagi dapat teramati lagi dengan baik dari boscha. ayo, hentikan polusi cahaya di daerah pengamatan dan selamatkan langit malam sehingga kita masih bisa duduk malam-malam memandangi bintang!

  • unai
    May 22, 2008 at 1:03 pm

    hmmm belajar sejarah jadi menyenangkan…;)

  • cK
    May 23, 2008 at 10:07 am

    kalo ke boscha aku diajak donk… 😐

    *ngiri*

  • Anton
    May 23, 2008 at 11:31 pm

    Pak Iman, saya mau koreksi, penulisan yang benar itu adalah Bosscha, bukan Boscha. Kenapa? Mungkin karena bener2 ‘boss’ hehehe.. Selain Bosscha juga ada Kerkhoven yang membantu pendirian observatorium Lembang ini. HIngga sekarang kekayaan Bosscha sebagian besar digunakan untuk pengembangan penelitian dan pendidikan untuk Belanda dan Indonesia. Kekayaan ini dikelola oleh LKBF.

    Mungkin konglomerat Indonesia itu berpikiran kalau jahat ya jahat aja sekalian. Jadi mereka kaga mikirin yang namanya balas budi. Bayangin aja sampai sekarang tidak ada yang melimpahkan kekayaannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan secara signifikan. Paling cuma mendirikan yayasan ini-itu yang sebenernya cuma untuk memenuhi laporan CSR aja.

    Oh ya, Observatorium Bosscha memang sedang terkendala polusi cahaya besar-besaran dari daerah Bandung dan Lembang. Kondisi buruk ini dirasa belum cukup oleh konglomerat, sekarang mereka sedang berusaha menggolkan pembangunan lokasi wisata di sekitar Observatorium Bosscha. Boro-boro menghargai yang sudah dibangun sekarang mereka malah ingin menghancurkan. Polusi cahaya menghambat kegiatan penelitian di Observatorium karena semakin terang langit maka semakin sedikit bintang yang mungkin untuk diamati.

    BTW Soekarno pernah ke Observatorium Bosscha. Saya pernah liat tanda tangan Soekarno di buku tamu Observatorium Bosscha Konon waktu ku. Konon ketika kunjungan dia sangat kagum dengan observatorium kelas dunia ini.

  • yudi
    May 29, 2008 at 4:05 pm

    Dalam memperingati 100 tahun kebangkitan nasional mari kita tingkatkan disiplin di segala bidang. Khususnya di bidang pendidikan.

  • Bayu
    October 7, 2008 at 9:39 am

    loh mas… aburizal bakrie udah ninggalin warisan kok di Sidoarjo…
    ga tangung-tanggung… hektaran…. hehehehe

  • Ronald
    February 8, 2009 at 7:17 pm

    saya kan tinggal di pangalengan sedari dede baby
    eh ngomong-ngomong soal mr.Boscha Saya jadi inget …….
    Bapa-ku punya piring antik Zaman kakek-ku Dulu peninggalan mr.Boscha

    waktu itu tu mr.Boscha pernah ngadain lelang barang-barang antik salah satunya piring itu tu
    coba liat dech yang ni ………

1 2

Leave a Reply

*