Tahun baru Imlek ternyata pernah menjadi asal muasal pergerakan kebangsaan yang di mulai di koto Solo. Pada tahun 1912 akibat kerusuhan yang terjadi antara Polisi Hindia Belanda dengan komunitas Tionghoa di Surabaya, para pedagang di sana melakukan pemogokan. Roda perekonomian terganggu.
Kejadian ini mengakibatkan kelangkaan distribusi bahan baku batik di Solo. Sebuah firma perusahaan dagang ‘ Sie Dien Ho ‘ yang salah satu usahanya menyediakan bahan baku batik tergoda untuk melakukan spekulan dengan cara mencari keuntungan yang sangat besar dari kekosongan bahan baku batik ini.
Dari pedagang pedagang jawa yang dirugikan , timbul perasaan senasib yang nantinya menjadi dasar pendirian Sarekat Islam.
Sejarah hubungan antara etnis Tionghoa dan pribumi jawa di Solo sudah ada sejak pemberontakan Pecinan jaman Paku Buwono II. Laskar Tionghoa ikut dalam andil menghancurkan keraton di Kartasura yang membuat Pakubuwono lari ke Ponorogo. Sisa sisa pasukan ini tersebar menjadi penduduk setempat setelah dihancurkan oleh pasukan VOC dan Mataram.
Solo memang revolusioner sejak dulu dan saya memutuskan melakukan perjalanan Imlek kali ini di kota yang eksotik ini. Ziarah Imlek ini juga ditemani oleh teman teman CahAndong Jogja. Anto, Gunawan, Senafal, Gunawan, Medina, Choro, Tika, Pengki, Ekowanz, Peter, Alle, Nico, Lina dan Fungshit.
Tak ada yang tahu bahwa saya orang Solo. Salah satu orang tua saya berasal sini. Saya teringat masa kecil jika diajak pulang kampung ke kota ini. Keraton, pasar Kliwon, Nasi liwet dan tongsengnya selalu sulit dilupakan. Sebuah rekonstruksi perjalanan masa kecil yang menyenangkan.
Sebelumnya saya bersama Medina menyempatkan diri berkunjung di kediaman Totok di Gunung Kelir, Purworejo.
Ini merupakan pelunasan janji terhadap tuan rumah yang sudah sejak lama meminta saya berkunjung ke rumahnya.
Janji adalah hutang, dan saya tidak menyesal melihat alam pegunungan dan desa yang begitu memanjakan mata.
Kebetulan disana juga sedang berada rombongan para blogger Jawa Timur yang sedang melakukan ziarah perjalanan ke Jawa Tengah. Klop dan menyenangkan bertemu teman teman lama sekaligus teman baru.
Kembali dari Gunung Kelir, saya diajak Medina mencicipi ramuan jamu tradisional di Warung Ginggang belakang Puro Pakualaman. Tentu saja saya memesan jamu sehat lelaki. Kemudian bersama teman teman Cahandong lainnya menuju Solo dengan kereta api Pramex. Berbekal informasi dari Blontang – sesepuh blogger Bengawan – kami menginap di Hotel Jayakarta. Hanya seratus meter dari Stasiun Solo Balapan.
Klenteng Tien Kok Sie disebelah Pasar Gede adalah perburuan kami setelah makan malam sate dan gule ‘ Tambaksegaran ‘ di dekat Pasar Legi. Sesekali kami melihat banyak warung warung yang menyediakan sate guk guk alias daging anjing. Apa yang tak ada di Solo ? dari Islam kanan sampai warung daging sate anjing. Juga ekstrim kiri, seperti komunis.
Jaman dulu Solo merupakan salah satu basis kuat komunis yang direpresentasikan Walikotanya yang kiri, Ramelan. Lebih jauh kebelakang Solo adalah daerah wild west yang dirancang oleh komunis sebelum pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
Memotret berbagai aktivitas dan ritual budaya Tionghoa menjelang pergantian kalender selalu menarik. Bau asap dupa, nuansa merah dan hujan rintik rintik membuat syahdu dan melankolis. Dengan lampion lampion disepanjang jalan, seolah malam itu perempatan Pasar Gede menjadi sebuah kota di daratan Cina.
Solo juga melahirkan pejuang pejuang yang nasionalis seperti Ignatius Slamet Riyadi dan Jenderal Djatikusumo. Mereka yang bertempur untuk kemerdekaan negerinya.
Semangat ini yang saya lihat dari Blogger Bengawan, sebuah komunitas yang baru lahir. Mirip semangat pergerakan Sarekat Dagang Islam yang muncul dalam versi pergerakan blogger. Wajah wajah penuh bersahabat dari Blontank dan Donny ketika menemani kami selama dua hari disana.
Beruntung teman teman Jogja dan Solo memiliki platform yang sama. Gojegan. Tanpa harus disikapi sebagai hal serius. Bukankah hidup sudah begitu berat ? Tak ada salahnya melepaskan dalam bentuk tawa. Berbincang dan bercanda di wedangan Jahe Coklat tape sampai jalan jalan di tepi Sungai Bengawan Solo.
Saya juga sempat memotret di Candi Sukuh – Karanganyar – sementara rombongan lain menuju Istana Mangkunegara.
Terima kasih Solo atas inspirasi kreatifnya. Saya mendapat bekal baterei baru untuk kembali bekerja di ibu kota. Sebagaimana saya berjanji kepada Totok untuk kembali lagi berburu bukit bukit pinus di gunung Kelir. Saya juga berjanji kepada Blontank untuk kembali ke kota yang tak pernah bosan bosan menawarkan semangatnya.
48 Comments
hedi
January 29, 2009 at 1:03 amwaduh solo, dah lebih dari 5 tahun aku ga ke sana, habis rumah keluarga bapakku dah dijual sih 🙁
Dony Alfan
January 29, 2009 at 1:18 amMas Iman kok lebih mengenal Solo daripada saya (doh)
Jadi, kapan berani nyoba sate guk2, atau babi pikul mungkin? Haha (lmao)
meong
January 29, 2009 at 1:22 am😯
masaoloooohhh…sopo kuwi, ayuneeeee….nduk, nduk 😆 😆 😆
tapi kenapa ya, dibanding kota jogja yang hampir mirip, solo kok rasanya lebih ‘panas’.
beberapa kerusuhan berbau rasial terjadi di solo. coba bandingkan dengan jogja dan salatiga yang juga sangat plural.
astrid savitri
January 29, 2009 at 1:28 amweks! saya kira mas Iman orang jawa timur, ternyata ada solonya 🙂
sayapun akhirnya menjadi setengah org solo.
Andy MSE
January 29, 2009 at 1:35 amSayang sekali saya tidak bisa menemani mas Iman Imlekan di Solo. Sehabis dari Gunung Kelir, saya meneruskan perjalanan dan pekerjaan di Semarang, dan juga mengikuti rombongan Ziarah Blogger sampai ke Semarang dan Kendal. Sedangkan Imlekannya di Semarang (istri saya keturunan Cina + Arab), wuih… rame dan basah kuyub banget…
Bagaimanapun juga, pertemuan kedua dengan sampean sangat menyenangkan…. saya masih ingin lagi (sekalian belajar motret dan nyelam), hehe…
tukang nggunem
January 29, 2009 at 1:55 amAda warung sate kirik yang pake anam “Panjol” sumpah itu bukan punya saya pak…
Epat
January 29, 2009 at 4:13 amsolo…. ummmsss tahunya cuman stasiun balapan terminal tirtonadi dan pasar klewer kekeke poor me deh!
budiOno
January 29, 2009 at 6:54 amluar biasa eksotisme kota solo ini. malah saya yang deket solo belum pernah secara khusus dolan ke sana
omoshiroi
January 29, 2009 at 8:26 amni lagi musim jiarah po ya?
Ndoro Seten
January 29, 2009 at 9:35 amSolo memang pantes menjadi the Spirit of Java…
oon
January 29, 2009 at 9:37 amwaaa…jalan-jalan terus…mantabz!..
phery
January 29, 2009 at 10:19 amseperti halnya jogja, solo memang memiliki nilai eksotisme yang sangat menakjubkan di bidang budaya
hanny
January 29, 2009 at 10:34 amfotonya yang bawah bagus *komen OOT*
Bang Aswi
January 29, 2009 at 10:52 amTerakhir lewat Solo malah kesasar. Katanya jalannya terus berubah-ubah saya. Sudah mulai banyak yang satu arah ^_^
meong
January 29, 2009 at 11:17 amah…rupanya komenku kena moderator….
pinkina
January 29, 2009 at 11:39 amduhhh, wes suwe ra ketemu mas iman…… kangen….
jafis
January 29, 2009 at 12:23 pmbaru kali ini mendapatkan fakta yang berbeda tentang SOLO…
kishandono
January 29, 2009 at 12:31 pmlama juga ga ke solo, padahal punya kerabat di sana…
genthokelir
January 29, 2009 at 12:35 pmTerima kasih atas kedatangannya mas ( duriannya minta di foto ) saya juga berusaha untuk hunting yang di cari mas Iman
salam buat keluarga mas
zam
January 29, 2009 at 2:08 pmmarai pengen muleh..
aprikot
January 29, 2009 at 2:49 pmsetelah meminum jamuan ramuan lelaki apakah efeknya dahsyat mas? dan memed yg kebagian imbasnya?? (ninja)
iman brotoseno
January 29, 2009 at 2:54 pmlihat reaksi memed dengan jamu rumput rumputan….
Kunderemp "An-Narkaulipsiy" Ratnawati Hardjito
January 29, 2009 at 3:12 pmApakah laskar tionghoa yang menyerang PBII adalah di bawah pimpinan Sunan Kuning atau Raden Mas Garendi?
life choice
January 29, 2009 at 4:33 pmerrrr… berasa baca pelajaran sejarah.. good good! 😀
Wuri Yulianto
January 29, 2009 at 4:49 pmSalam kenal semuanya,
saya nggak tahu persis rekan2 di sini sudah pernah atau belum, tapi kalau mau merasakan Solo yang masih cukup orisinil bisa coba datang ke dusun Nggawok pas hari-hari pasaran tertentu.
suasana pasarnya, mendengarkan obrolan orang-orang di sana, merupakan set back tersendiri bagi saya…
Salam damai.
Fenty
January 29, 2009 at 6:06 pmAduh, jadi pengen maen ke Solo deh 😀
iman brotoseno
January 29, 2009 at 6:12 pmKunderemp,
betul Raden Mas Garendi dengan julukan Sunan Kuning atau Amangkurat III ( karena memimpin laskar Cina yang kulitnya kuning )..
ikhsan
January 29, 2009 at 7:33 pmorang solo tho?
met imlek dech
bet
January 29, 2009 at 8:15 pmwah berkunjung ke purworejo juga ya . . . .
Moh Arif Widarto
January 29, 2009 at 8:43 pmTernyata Mas Iman ke Gunung Kelir juga tetapi karena punya hutang “undangan” tuan rumah. Padahal tema yang diangkat oleh Gunung Kelir adalah “datang tak diundang, pulang tak diantar”.
Sebuah ziarah imlek yang menurut saya mengesankan.
kyai slamet
January 29, 2009 at 8:45 pmwah gak nyangka mas iman sampai juga di puncak gunung tanpa sinyal itu 😀
tahun depan imlekannya di kwan sing bio ya mas.
easy
January 29, 2009 at 9:20 pmyang dipesan itu jamu sehat lelaki atau jamu kuat lelaki mas ? 😀
Budut
January 29, 2009 at 11:25 pmMas, sampeyan kok suka nyebut2 komunis dengan tanpa rasa salah dan dihantui keangkeran orba. Itu, aku bangetttt!!!!
Saya kadang membanding-bandingkan negara kita sebelum dan sesudah komunis hilang/dibinasakan.
Hasilnya, nggak jauh beda.
Luigi Pralangga
January 30, 2009 at 4:04 amSaya memang harus banyak belajar sejarah nusantara dari sampeyan, ya mas.. 😀
DV
January 30, 2009 at 4:41 amSaya orang Klaten, tapi entah kenapa saya cenderung memilih Jogja ketimbang Solo.
Jogja itu lebih sempit tapi mungkin karena itu pula maka kesannya lebih “erat” ketimbang Solo yang saya rasa terlalu besar dan cenderung “sepi”
Ah tapi ini hanya pendapat pribadi….
silly
January 30, 2009 at 9:27 amHellowwww, Makasih udah mampir. Saya baru keluar dari RS, AGAIN. Bolak balik dirawat bikin saya kangen banget baca blog kawan2 blogger semua. Pha kabar mas Iman?
Baca tulisan ini bikin saya sadar, ada banyak banget yang saya tidak tahu tentang Indonesia, tanah jawa khususnya, padahal setengah darah yang mengalir dalam darah saya adalah darah jawa, hehehe. Thank you for this. 🙂
Edi Psw
January 30, 2009 at 2:08 pmIngat solo, aku jadi ingat waktu makan tongseng disana.
blontankpoer
January 30, 2009 at 2:16 pmya, begitulah solo. makanya saya begitu mencintai kota ini….. (walau seorang pendatang)
afwan auliyar
January 30, 2009 at 2:17 pmsolo memang kota kenanagn mas …
kental suasana yang tradisional, membumi dan santai 🙂
nicowijaya
January 30, 2009 at 4:17 pm@blontankpoer: coklat jahe tapenya enaaak! jadi tau ada wedagnan itu di solo.
lady
January 30, 2009 at 5:08 pmwah sekali saya ndak tau kl mas iman ke solo jg. saya ikut menyambut peziatah timteng di taman kota balekambang. katanya mas iman cs sempat poto2 di jurug ya, kebetulan dekat rumah saya tuh. sayang sekali saya ndak tau kl minggunya masih ada acara 🙂
SeNaFaL
February 2, 2009 at 7:11 amowh,ternyata mas’Iman nostalgia toh..
coklat jatape..
*sluuurp*
andrias ekoyuono
February 2, 2009 at 2:09 pmTongseng.Tengkleng.Soto.Timlo.Coklat Jae Tape.GarangAsem.Liwet.BebekGoreng.dll
huahhhhhhhhhh, jadi kangen makanan Solo
jaka
February 5, 2009 at 9:55 pmJangan cuma di solo mas iman, coba maen ke hinterland-nya (boyosraten … whatever!). Lebih eksotis dengan bangunan peninggalan pra-perang yang masih bertebaran di sana-sini. Wonogiri adalah favorit saya, dengan avenue panjang yang mendaki, dengan later belakang bukit2, mirip di san fransisco. Sayang, orang Wonogiri sendiri tidak menyadari keunikan daerahnya sendiri.
bias
February 8, 2009 at 1:08 amsalut pak
saya yang orang solo aja belon bisa sepaham ini mengenai solo
*jadi malu*
Sharon
February 8, 2009 at 1:58 amWah, aku juga lahir di solo. numpang lahir aja sih. Di rumah sakit yang dulu namanya kandang kebo 😀
angki
February 21, 2009 at 2:31 pmAku juga pernah lo Mas Iman link
liawibowo
July 22, 2009 at 8:29 ammaturnumun saget kagem tombo kangen,God Bless U