Sebuah hari di periode 1968, Carmel Budiarjo dijemput tentara ketika sedang memberikan les bahasa Inggris di rumahnya. Saat itu memberi les bahasa adalah salah satu cara mencari penghidupan setelah ia kehilangan pekerjaan pada Kementerian Luar Negeri, tak lama setelah Soeharto menguasai keadaan pada bulan Oktober 1965. Suami Carmel, Budiarjo, seorang pejabat di Departemen Angkatan Laut juga baru lepas dari penjara karena dituduh komunis. Kelak Budiarjo masuk penjara lagi, dan menjalani 12 tahun tahanan tanpa dakwaan pengadilan.
Carmel mengingat setelah mencatat semua keterangan tentang dirinya, ia dibawa ke sebuah ruangan dimana ditengah tengahnya tergantung sebuah lampu listrik yang terang benderang. Begitu terangnya sehingga ia harus memicingkan mata karena silau. Tembok sekelilingnya dikapur putih dan bersih. Lantainya bertegel dan tidak ada ada meja kursi. Hanya tikar jerami di pojokan. Ruangan itu memiliki dua jendela yang bisa melihat jalanan lorong yang baru saja dilewati. Ada dua perempuan duduk di atas tikar di sudut sudut yang berlawanan. Seorang sedang menulis. Seorang lagi sedang menyusui bayinya. Mereka pucat pasi tanpa ekspresi memandang kepada orang yang baru masuk.
Perempuan yang sedang menulis lalu menghentikan tulisannya lalu menghampiri Carmel dan berbisik,
“ Saya pernah hadir dalam ceramah ekonomi yang kau berikan. Saya juga melihat kau di kantor SOBSI. Masak kau tidak ingat ? “
Carmel berpikir keras, apa perempuan ini berusaha menjebak ? Apakah dia agen yang ditanam untuk mengorek tahanan lain.
“ Mereka mengetahui semuanya tentang dirimu Zus Carmel. Lebih baik kau mengatakan semua dengan jujur “
Tak berapa lama seorang prajurit mengambilnya dan membawa keluar. Carmel bertanya kepada tahanan yang sedang menyusui bayi, kemana dia akan dibawa.
“ Ke lantai atas untuk diinterogasi. Kasihan dia akan disiksa dengan kasar “
Tak berapa lama, tiba tiba terdengar suara kunci pintu diputar dan daun pintu didorong. Seorang wanita muda kusut sambil menangis terisak isak masuk lalu duduk di tikar . Seorang pengawal, bertolak pinggak sambil mendesis marah
“ Kau punya waktu berpikir sampai besok “
Wanita duduk berdiam setelah pengawal itu keluar. Pakaiannya berantakan dan keluar dari roknya. Kancing kancing bagian bawahnya terbuka. Dengan sebelah tangan dikibaskan helai rambut yang berantakan, dan sebelah tangannya lagi mencoba memijit payudaranya.
Wanita yang sedang menyusui bayi beranjak mendekat perlahan lahan, dengan harapan tidak ada orang di luar ruangan yang mendengarnya bergerak. Rupanya mereka berdua bersahabat baik dan pernah bersama sama belajar di Moskow.
“ Mau minum ? Kau dipukul ? “
Wanita yang baru masuk diam sambil terus memijit payudaranya. Tak berapa lama ia minum teh dari cangkir yang diberikan. Lalu ia menegakkan badannya, menutup kancing kancing baju dan mendorong pakain ke dalam roknya, sambil berkata ,
“ Mereka menelanjangiku “.
Ruangan menjadi sunyi. Tiba tiba Carmel merasa takut apa yang akan terjadi dengan dirinya. Bayangannya anak anaknya Tari dan Anto yang ditinggalkan di rumah, juga suaminya Budiarjo. Sejak itu, masa tahanan Carmel selama 3 tahun dimulai dari ruangan ini.
Selama pemeriksaan awal, Carmel dipaksa untuk mengakui sebagai anggota Comite Central PKI. Sesuatu yang tidak pernah dia akui. Ia hanya mengaku sebagai anggota HSI ( Himpunan Sarjana Indonesia ) yang berafiliasi kiri, sekaligus juga menjadi anggota ISEI ( Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ).
Carmel bukan asli Indonesia. Dia seorang yahudi Inggris yang menjadi aktivis IUS ( International Union of Students ) sehingga bisa berkenalan pemuda pemuda Asia termasuk dengan Budiarjo, seorang Indonesia yang awalnya datang ke Konperensi Internasional di Praha, Cekoslovakia, kemudian memutuskan tinggal dan kuliah di sana. Mereka menikah tahun 1951 dan setahun kemudian dibawa suaminya pulang ke tanah Jawa.
Ia mengingat semuanya ini. Pikirannya melayang layang ketika ia memutuskan menikah. Teman temannya khawatir apakah ia bisa tinggal di negeri asing. Bagaimana ia akan bergaul dengan orang orang yang berperilaku berbeda dengan adat dan cara barat. Bagaimana dengan udara panas ? Orangtuanya menentang, selain karena adat yahudi, juga bagaimana mungkin ia menikah dengan seorang muslim. Ayah Carmel mengatakan bagaimana jika Budiarjo kelak menikah lagi. Bukankah dalam Islam bisa mengambil istri lagi.
Tapi sedetikpun ia tak pernah ragu dengan putusannya. Ia telah jatuh cinta dengan pemuda Jawa ini dan akan tinggal di tanah air suaminya.
Carmel mendapat pekerjaan sebagai penerjemah pada Kantor berita Antara, namun setelah 2 tahun ia merasa bosan dan mencari pekerjaan di Kementrian Luar Negeri sambil menyelesaikan sarjananya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dalam waktu luang, ia juga menerjemahkan untuk Departemen Internasional di Partai Komunis dan menulis artikel artikel tentang ekonomi. Ia tak pernah secara resmi dilantik menjadi anggota PKI, namun sering berjumpa dengan pemimpin pemimpin partai dan memberikan penilaian tentang kebijakan ekonomi. Pergaulan itu kelak yang secara tak sengaja terus membawanya ke dalam pusaran politik elit, terlebih Menteri Luar Negeri Soebandrio terkesan dengan hasil pekerjaan Carmel.
Carmel menjalani masa tahanan dengan berpindah pindah penjara. Ia menghadapi perlakuan kasar, interogasi menyakitkan. Ia cukup beruntung, karena sebagai ‘ orang bule ‘ ia tidak disiksa sesadis sebagaimana tahanan G 30 S lainnya. Komandan kamp, adalah seorang yang paling seram yang pernah dia lihat. Berkulit hitam, berwajah lonjong dan rambut tidak disisir dan mata melotot penuh ancaman. Ia memakai cincin dengan batu batu besar. Cincin cincin itu adalah sebagian dari senjatanya untuk memukul korban korban siksaannya. Demikian kenang Carmel.
Banyak diantara tahanan akhirnya menjadi gila, karena tidak tahan siksaan dan pelecehan seksual.
Metode penahahan sedemikian rupa membuat para penghuninya ketakutan agar moral mereka hancur. Teror itu tidak terbatas pada saat pemeriksaan. Para perwira dan prajurit selalu mencari cari alasan untuk menghukum tahanan atas dasar pelanggaran sekecil kecilnya terhadap peraturan. Tujuannya untuk terus mengingatkan, bahwa mereka adalaha tahanan. Kekuasaan berada di Angkatan Darat yang tidak bertanggung jawab terhadap siapapun kecuali dirinya sendiri. Para tahanan tidak memiliki hak, juga tidak ada kuasa hukum sama sekali.
Kalau seorang Tapol dipindahkan, ia tidak diberitahu lebih dahulu. Seorang parjurit akan muncul dan berteriak,
“ Kumpulkan semua barangmu, cepat ! Kami tunggu ! “
Ia akan mengawasi supaya tidak ada kata perpisahan dengan tahanan lain. Mereka tidak akan mengatakan kemana tahanan akan dibawa. Ada yang memang dipindahkan ke tempat lain. Ada yang akhirnya tak pernah kembali dan menghilang.
Ini merupakan siasat yang disengaja untuk membuat para tahanan terus menerus ketakutan dan merasa tidak pasti serta berujung demoralisasi.
Akhirnya Carmel dipindahkan ke rumah tahanan Budi Utomo di Lapangan Banteng. Tempat ini digunakan sebagai tempat transit tapol baik perempuan atau laki laki. Awalnya bila orang orang ditangkap, mereka akan dibawa ke tahanan pusat interograsi yang tersebar dimana mana, seperti Kalong di Gunung Sahari. Mereka akan dikeruk informasinya dengan menggunakan kekerasan fisik apa saja yang diperlukan untuk keperluan ini. Bentuk penyiksaan paling umum adalah sengatan listrik, mula mula pada ibu jari sampai ke kemaluannya. Penyiksaan lain yang disukai adalah memukul korban dengan ekor ikan pari yang bergerigi, sehingga meninggalkan bekas luka di punggung. Setelah para interogator dan penyiksa selesai dengan korban korbannya, para tahanan di bawa ke Budi Utomo untuk dipilih. Mana yang masuk golongan A, B atau golongan C yang tidak perlu ditahan dan bisa dibebaskan.
Ketika Carmel dibawa ke sini. Tempat ini sesak dengan orang, beberapa sedang duduk di lantai bermain kartu, sebagian berdiri sambil mengobrol, ada juga yang sedang berjongkok sedang memasak di depan api kayu yang besar. Di bagian belakang ada beberapa orang sedang antri menggunakan kamar kecil. Berbeda dengan tempat tahanan sebelumnya, disini tinggal bercampur aduk. Untuk pergi kemana saja, ke kamar mandi, WC, dapur, keran air, orang harus menyusuri jalan melewati tubuh tubuh orang atau kaki kaki. Membungkuk menghindari kepala terbentur pakaian yang dijemur. Sambil sesekali berkata,
“ Maaf, apa saya menginjak anda ? Maaf “
Beberapa waktu awal, ruangan sedemikian sesaknya sehingga mereka harus tidur bergantian. Sebagian duduk berlutut, sementara lainnya tidur berbaring beberapa jam, sehingga akhirnya beberapa orang lebih suka tidur di halaman daridapa di kamar kamar serta gang gang yang penuh debu. Kalau hujan turun, mereka akan berlarian gila dari halaman atau sepanjang gang, sambil menarik tikar dan barang barang lainnya untuk berteduh di kantor.
Para tahanan tidak diberi tikar, pakaian, handuk, tempat tidur bahkan cangkir atau piring. Yang mereka miliki adalah yang berasal dari rumah masing masing. Jika Tapol tidak punya sanak saudara yang cukup dekat untuk berkunjung, maka mereka mengandalkan sesame tapol untuk berbagi tikar atau berharap diberi barang mereka yang pergi. Beberapa orang terpaksa tidur diatas karung atau sobekan kain bekas.
Makanan yang disediakan AD sangat buruk. Dua kali sehari, pada tengah hari dan malam. Tidak ada sarapan pagi. Makanan berupa nasi dan sepotong tahu atau tempe. Nasinya selalu kering dan penuh kerikil, sedang potongan tahu atau tempe kecil yang direbus tanpa bumbu. Kadang makanannya basi sehingga tidak bisa dimakan. Kalau sedang baik, penjara memberikan timun rebus atau sambal. Kadang ikan asin yang keras seperti kulit dan tidak bisa ditelan. Jadi makanan dari keluarga menjadi juru selamat, itupun harus dibagi dengan tahanan lain yang tidak mendapat kiriman.
Interogasi berlangsung sepanjang hari, dan ruangan tempat interogasi cukup dekat dengan kami sehingga kami bisa mendengar apa yang terjadi. Jika seorang dipukul, seluruh kamp terdiam hening. Seringkali seorang tahanan kembali dengan luka luka atau memar, dan kawan kawannya akan siap dengan salep dari beras atau jenis jenis obat lainnya untuk meringankan rasa sakit.
Akhinya Carmel dipindahkan ke penjara Bukit Duri. Ia menjadi salah satu penghuni dari sekitar 150 tapol wanita. Anak anaknya Tari dan Anto telah diungsikan ke London ketika rumah mereka di Jalan Teuku Umar, Jakarta akhirnya diambil secara paksa oleh tentara. Gubernur Jakarta, Ali Sadikin berusaha untuk mempertahankan rumah itu, namun tidak berhasil.
Mungkin karena Carmel adalah wanita asing satu satunya dalam penjara, ia mendapat perhatian banyak dari teman teman tapol lainnya. Seorang membawa tikar jerami untuk tidur, seorang memberi beberapa kantung yang digunakan sebagai selimut. Ada yang memberi piring, cangkir, bantal. Ada juga yang muncul membawa sepiring sayur mayur.
Kehidupan yang terputus dari dunia luar. Membuat pendatang baru disambut sebagai hembusan angin segar yang kemungkinan membawa berita atau peristiwa yang menandakan keadaan lebih baik atau lebih buruk bagi mereka. Disini Carmel bersahabat dengan Nuriah, yang menikah dengan adik dari DN Aidit. Ia dijebloskan ke penjara dengan harapan bisa membongkar ‘ kejahatan ‘ kakak iparnya. Sesuatu yang sesungguhnya sama sekali tak diketahuinya.
Komandan penjara Bukit Duri adalah Rompis, seorang asal Minahasa yang sangat kejam. Dia adalah anggota regu tembak yang mengeksekusi Dr. Soumoukil , pemimpin RMS. Seorang tahanan tertangkap mencuri singkong karena kelaparan. Rompis memaksa tahanan itu memakan singkong singkong mentah sebanyak banyaknya sehingga ia meninggal dunia.
Cerita mulai tersebar, bahwa sejumlah tapol wanita akan dipindahkan ke kamp tahanan Jawa tengah. Inilah Kamp Plantungan. Suatu tempat di Jawa Tengah, bekas tempat penampungan penyakit kusta telah diambil alih menjadi penampung tapol wanita. Kamp khusus ini dibuka tahun 1971, letaknya di daerah terasing, di selatan Sukorejo yang dikelilingi gunung gunung. Kamp ini hanya bisa dicapai melalui jalan yang hampir tidak bisa dilalui. Ini merupakan penyelesaian final, dicampakan di tempat jauh dari keluarga. Di Plantungan mereka tidak dikurung di dalam sel dan dilatih di bidang pertanian, suatu bentuk kata lain dari kerja paksa. Plantungan, bagi wanita adalah persamaan dari Kamp Pulau Buru bagi kaum laki laki.
Nasib baik membuat Carmel tak pernah dipindahkan ke Plantungan sebagaimana teman teman Tapol wanita lainnya. Lobby Pemerintah Inggris dan Amnesty International membuat Menteri luar negeri Adam Malik harus berpikir keras, apalagi saat itu Indonesia ingin menjadi ketua Sidang Umum PBB. Akhirnya hanya satu jalan yang bisa menyelamatkan Carmel. Ia harus melepas kewarganegaraan Indonesianya yang diperoleh karena perkawinan dengan Budiarjo, sehingga kembali menjadi warga negara Inggris. Dengan cara ini Pemerintah Indonesia harus melepasnya, jika tidak ingin terjadi kegaduhan diplomatik.
Carmel pergi secara diam diam dari penjara menuju airport tanpa diberi kesempatan bertemu suaminya yang juga ditahan. Dia juga harus menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia. Ia berkumpul kembali dengan Tari dan Anto yang sudah tinggal di London. Kelak Carmel menerbitkan bulletin TAPOL yang melaporkan tentang issue hak asasi manusia di Indonesia
*berdasarkan buku ‘ Bertahan hidup di Gulag Indonesia ‘ – Carmel Budiarjo
4 Comments
OrbaFuckinShit
May 12, 2016 at 10:15 amFASIS ORBA adalah kanker GANAS sampai skrangpun sel2 nya masih menjalar di ruang publik
array
November 26, 2016 at 8:41 pmUgh selalu mual setiap baca kekejaman orde baru. Butuh berapa puluh tahun lagi hingga bangsa ini berani menerima fakta dan bertanggung jawab?
Carmel Budiardjo : Survivor Gulag Indonesia ’65, Peraih Penghargaan the Right Livelihood Award, Putri Sulung Bangsa Papua, Tjut dan Bintang Timor Leste – Perpustakaan Online Genosida 1965-1966
October 25, 2018 at 2:57 pm[…] Carmel Budiarjo | Iman Brotoseno […]
ibas
October 10, 2023 at 8:30 amgood article, thank you