Jika nasionalis menang. Islampun tak kalah

Panglima Kopkamtib, Soedomo di permulaan Februari 1977 mengumumkan empat hal yang tidak boleh dilakukan selama kampanye. Tidak boleh mengintimidasi lawan lawannya, tidak boleh menyerang kebersihan pemerintah dan pejabat pejabatnya, tidak boleh merusak persatuan nasional dan tidak boleh mengeritik kebijakan kebijakan Pemerintah.
Mungkin dia akan kaget jika melihat Pemilu saat ini. Mengkritik pemerintah, sudah bukan hal yang tabu. Prabowo sebelum mengusung Hatta Rajasa sebagai cawapresnya, gencar mengkritik kebijakan SBY yang dituduhnya neolib. Tapi yang paling berbahaya adalah pemilu Presiden ini. Tiba tiba telah memecah belah rakyat.

Barang kali ini adalah pemilihan Presiden yang paling dramatis dalam sejarah republik. Tino Saroengalo, seorang pembuat film documenter, menyebut pemilu yang paling banal. Saya menyebutnya, brutal.
Secara sistematis dirancang propaganda hitam untuk menghancurkan Jokowi. Kebohongan, fitnah, dan rekayasa. Secara massive, Jokowi dituduh sebagai komunis, kafir, zionis, anti-Islam, Kristen, memiliki orangtua Cina-Singapura. Konsep Revolusi Mental dituduh sebagai gagasan komunis. Di sepanjang proses pemfitnahan ini, diedarkan bukti-bukti rekayasa, seperti foto, akte kelahiran atau bahkan surat nikah palsu.

Di luar itu ada pula pembuatan tabloid Obor Rakyat, yang disebar di pelosok desa dan pesantren pesantren. Dibuat pula surat palsu Jokowi yang meminta penangguhan pemeriksaan oleh Jaksa Agung. Lalu transkrip rekayasa wawancara Megawati dengan Jaksa Agung untuk membebaskan Jokowi dari tuduhan kasus korupsi TransJakarta.

Pemakaian kanal kanal baru seperti Youtube, diunggah rekayasa wawancara dengan Jokowi yang seolah-olah disiarkan stasiun televisi internasional Bloomberg. Demi kepentingan Prabowo, dilakukan manipulasi dalam film Prabowo Sang Patriot, serta rekayasa pengunduhan video yang memuji Prabowo oleh ilmuwan terkemuka AS, Geoffrey Robinson.

Ada rasa ketakutan seandainya Prabowo bisa kalah dengan popularitas Joko Widodo, sehingga menggunakan pilihan kampanye hitam, atau fitnah. Model kampanye negative seperti ini menunjukan kita tidak jujur kepada diri sendiri. Padahal kita tahu sosok Jokowi tidak seperti itu seperti yang digambarkan. Kita lupa, bahwa sesungguhnya, kita tidak bisa mengatakan “jangan pilih itu “. Kita hanya boleh mengatakan ” pilihlah saya dengan alasan seperti ini atau itu “.

Issue issue agama ( baca : Islam ) selalu dipakai dalam hajatan pemilu atau Pilpres kali ini. Selalu ada pertanyaan, bagaimana sosok Capres yang ideal bagi umat Islam. Mengapa selalu berpikir umat Islam ? Ini membuat cara berpikir yang memecah belah. Menggunakan sentiment agama untuk menyerang kandidat lain, menunjukan kemalasan untuk berkreasi dengan wacana politik atau kebijakan kandidatnya. Bukankah negeri ini dengan populasi 90 % muslim. Itu cara berpikir kuno. Semestinya, pertanyaannya yang tepat adalah bagaimana sosok Capres yang ideal bagi rakyat.

Black CampaignIni mengingatkan pada pemilu 1999, MUI dan beberapa partai politik Islam menyerukan agar masyarakat tidak memilih parpol yang calegnya mayoritas non muslim – ditujukan kepada PDIP – sebagai gelagat ketakutan yang tidak mendasar. Kita harusnya paham, bahwa PDIP gabungan dari fusi partai partai nasionalis dan Kristen. Jadi masuk akal, kalau calegnya ada yang berasal dari non- muslim. Ditambah memang, PDIP menyatakan tidak membedakan agama, karena fatsoen politik nasionalisnya.

Menurut Nurcholis Madjid, simplifikasi dan sentiment berdasarkan agama dalam kehidupan politik, tidak relevan sekalipun Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk rakyat Indonesia.
Seandainya Jokowi menang. Ini bukan diartikan kemenangan PDIP, atau kalangan nasionalis. Ini lebih kemenangan rakyat yang ingin menjaga marwah reformasi, dengan orang baru. Tidak mau kembali ke era orde baru. Bagaimanapun sosok Prabowo, lebih mengesankan ‘ orang lama ‘ dengan segudang potensi masa silam yang bermasalah. Belum lagi dengan wacana wacana rujuk dengan Titiek Soeharto atau memberi gelar pahlawan kepada Soeharto kelak.

Sebenarnya rakyat juga cerdas. Mereka melihat pentas politik santun yang diperlihatkan Jokowi. Tak pernah dia menyerang Prabowo. Bahkan dia memuji Prabowo sebagai sosok negarawan. Bandingkan wawancara Prabowo dengan BBC, yang mana ia menyerang bahwa Jokowi hanya berlagak (acting) rendah hati dan berlagak merakyat. Prabowo justru menuduh gaya Jokowi sebagai pencitraan dan sesungguhnya adalah hanya alat penguasa. Jauh sebelumnya, dalam kampanya kampanyenya, Prabowo berulang ulang menuduh sebagai Capres boneka dan antek asing.

Harus dipahami, jika Jokowi menang bukan berarti kekalahan Islam. Saya justru kuatir kelak, politisi politisi Islam akan membuat propaganda ini. Islam tidak kalah. Sebagai agama, Islam tidak kalah. Bung Karno yang jadi soko guru PDIP, itu adalah sponsor Islam yang paling tangguh. Dia yang mentradisikan peringatan peringatan Hari besar Islam di Istana atas saran Agus Salim. Ia juga membangun masjid Istiqlal dan Masjid di Istana.
Perhitungan kalah menang terlalu pesimistis. Itu pandangan stereotype para politisi Islam. Mereka sering tidak konsisten. Katanya disatu pihak mengakui rakyat mayoritas beragama Islam, tapi tidak mau mengakui orang orang yang bukan kelompoknya, sebagai orang Islam juga, seperti Jokowi atau Megawati. Bukankah pemilih mayoritas Jokowi dan PDIP itu orang Islam sendiri ?

Lalu apakah Islam sebagai agama mayoritas berhak menerima privilege dan harus berkuasa ? sebagai cerminan azas proporsionalitas. Persoalan berkuasa atau tidak, adalah persoalan politik. Sekali lagi, agama dalam politik tidak relevan. Mayoritas atau minoritas dibuktikan melalui pemilu. Para pihak yang berkompetisi dalam pemilu harus membuktikan klaim klaim untuk meyakinkan rakyat.
Sukarno mengatakan dalam sidang pembentukan dasar negara, tanggal 1 Juni 1945. Dia mengajak pemuka Islam bekerja sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar kursi DPR diduduki oleh utusan-utusan Islam, sehingga hukum-hukum yang dihasilkan DPR itu adalah hukum Islam.
Dengan kata lain, Sukarno menegaskan. Kalau rakyat setuju dengan klaimnya, tentu mereka akan memilih. Jika mereka tidak setuju. Kita harus menghargai demokrasi.

Butuh pembelajaran berbesar hati untuk menerima hasil pemilu secara kesatria. Yang kalah harus tulus mengakui bahwa rakyat tidak banyak memilih mereka. Tak perlu kuatir. Jika pihak nasionalis menang. Islampun tak akan tersingkir.
Mantan Perdana Menteri dan lawan politik Sukarno, M. Natsir pernah mengatakan, ‘ Dahulukan kepentingan bangsa ini. Apa yang terbaik bagi bangsa ini, pasti terbaik pula bagi umat Islam, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam “.

You Might Also Like

7 Comments

  • ipul
    July 14, 2014 at 8:56 pm

    ok

  • orbaSHIT
    July 15, 2014 at 1:29 pm

    melihat variasi “gerbong” dibelakang prahara gw yakin mereka pasti akan mati2an dengan segala cara untuk menang…..formulasi dari suatu rejim korup nan keji sudah tergambar jelas bila prahara jadi memerintah republik ini…..ada GOLKAR sebagai partai warisan ORBA yg kental dengan budaya birokrasi nan korup, ada partai2 islam yg membawa agenda muslim brotherhood (yg di mesirnya udah disikat abis ama jendral Al Sisi) juga ada barisan mantan2 jendral FASIS (termasuk prabowo juga kivlan zein) plus kroni2 cendana….

  • nindityo
    July 16, 2014 at 4:26 am

    Kita lupa, bahwa sesungguhnya, kita tidak bisa mengatakan “jangan pilih itu “. Kita hanya boleh mengatakan ” pilihlah saya dengan alasan seperti ini atau itu “.

  • fans jokowi
    July 16, 2014 at 11:15 am

    yang paling penting untuk pembenahan bangsa adalah ahlak manusianya, itu sangat dasar

  • orbaSUCK
    July 17, 2014 at 1:16 am

    Dalam konteks itu, Jokowi mirip dengan Megawati dan Megawati mirip dengan Bung Karno yang tak mendikotomikan nasionalisme dan Islam. Apabila Soekarno dulu memberi kesempatan kepada tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, untuk membentuk kabinet pada 1950, Megawati selalu memikirkan bagaimana memberi peran kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia kini dan masa depan. Megawati juga mirip dengan PM Burhanuddin Harahap yang, ketika berada di puncak kekuasaannya, tak ingin menodai pemilihan umum yang demokratis pada 1955 dan 2004 hanya demi kelanggengan kekuasaan diri atau partainya.

    Apa kabar mas @orbaSHIT? Salam 2 Jari !!

  • orbaSHIT
    July 17, 2014 at 6:45 am

    @orbaSUCK gw bae bro 🙂 salam 5 jari PANCASILA !!!

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:43 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*