Melihat Amerika

Ketika pertama kali berkunjung ke Amerika,yang dilakukan oleh Bung Karno adalah menuju pusat perfilman Hollywood serta membawa anaknya – Guntur Soekarnoputra – ke Disneyland.  Sejak mahasiswa, Bung Karno sudah terpikat dengan film film Amerika. Ia mengakui belajar bahasa Inggris dari kebiasan menonton film film Amerika.  Waktu itu ia hanya mampu membayar tiket bagi penonton dari balik layar. Jadi Gambarnya terbalik.
Amerika memang sebuah negeri membuat orang berdatangan. Konon ada peradaban modern dan harapan disana. Siapa tahu ? Amerika juga menjadi negara dunia, sehingga pemilihan Presiden disana menjadi perhatian seluruh dunia.  Kemenangan Barack Obama dianggap menjadi kemenangan murid murid SD Besuki atau orang orang Afrika.

Amerika bisa menjadi sombong dan seenak udelnya sendiri mengatur tata ekonomi, militer, konstelasi politik sampai urusan dapur negara lain. Ini menjadi menarik karena – setelah komunis rontok – Amerika dijadikan musuh bersama oleh sebagian Islam, sosialisme dan aliran anti kapitalisme dan imperialisme baru.  Pertanyaannya sekarang. Siapakah yang bisa bertahan dari gempuran ideologi dan pengaruh Amerika ?

Dulu film film impor dari Holywood dibatasi dan diberi kuota. Sementara Amerika melihat Indonesia sebagai negara besar yang mestinya menjadi sasaran cultural brainwash  melalui film filmnya.  Akhirnya Amerika mengancam akan menutup ekspor tekstil dari Indonesia ke Amerika kalau keran film film Hollywood tidak dibuka bebas. Waktu itu periode 1980an, sebagian besar pemasaran ekspor tekstil kita kesana dan tentu saja kita menurut karena ancaman ribuan buruh tenaga kerja yang bisa menganggur serta pemasukan devisa yang hilang.

Amerika juga cerdik dengan mengundang para intelektual, calon pemimpin, mahasiswa terpilih untuk dapat belajar di Amerika. Nurcholis Madjid yang semasa aktif di HMI sangat anti western, diberi beasiswa di Chicago.
Insitusi seperti Harvard memiliki kebijakan untuk menerima para aktivis aktivis dari seluruh dunia.  Jadinya Benigno Aquino dari Philipina  – yang ditembak mati ketika baru tiba di Airport Manila – sampai Syahrir aktivis Malari tahun 74 atau Arief Budiman kakaknya Soe Hok Gie.

Persoalannya adalah bagaimana kita dengan cerdik menyikapi ini. Mengambil keuntungan dari politik polisi dunia Amerika.
Pakistan mengerjai Amerika dengan meminta bantuan milyaran dollar, dengan kompensasi membiarkan negerinya jadi basis penyerangan terhadap Taliban. Secara konstelasi politik Pakistan harus menggunakan teman dekatnya – Amerika – menghadapi India yang secara tradisional dekat dengan Russia.

Bung Karno tahu ia tak akan mampu menang melawan Amerika. Jadi disatu sisi ia terus mengkampanyekan menggayang Amerika, dengan slogan Go to hell with your aid. Tapi disisi lain ia juga mengundang Caltex untuk mengembangkan perminyakan di Indonesia.
Tapi ia bersikeras menolak terhadap permintaan juragan juragan minyak Amerika agar membuka bebas bebas daerah eksplorasinya.  Biar saja. Tunggu sampai kita mempunyai insyinyur insinyur sendiri, katanya.
Sesekali ia menggertak Amerika. Ketika berkunjung ke Gedung Putih, Presiden Einshower belum juga keluar dari dalam, sementara Bung Karno sudah gelisah. Lama belum keluar, lalu dengan santainya pergi meninggalkan ruang oval berjalan pergi ke tangga luar. Seketika Presiden Einshower berlari lari tergopoh gopoh menyusul Bung Karno yang ngambek hendak memasuki mobil.

Sejak lama Bung Karno ingin memiliki teknologi nuklir dari Amerika di Indonesia.  Lalu ia mendekati Cina untuk memberikan teknologinya. Di media massa dunia dimuat, Cina akan membantu Indonesia membuat bom atom pertama negara ini.
Amerika kelabakan, lalu Presiden Kennedy menjanjikan akan membangun reaktor nuklir penelitian di ITB yang mestinya – kalau tidak G 30 S PKI – selesai tahun 1971.

Tentu saja semua itu karena Amerika memandang Indonesia sebuah negara besar juga yang patut dipehitungkan suaranya. Entah saat ini.
Bagaimanapun Amerika with or without Obama, tetap sama menjalankan politik tradisional luar negerinya.  Atas nama demokrasi , Amerika akan mengejar penyebar terror sampai ke pojok pojok dunia.
Atas nama demokrasi pula Amerika terus memaksa negara negara lain masuk dalam lingkar kontrolnya.

Barack Obama mungkin tidak peduli kalau pernah tinggal di Jakarta. Ia mungkin akan memilih kebijakan yang populis juga, sekali lagi atas nama demokrasi, kebebasan berekpresi, dan polisi dunia.
Indonesia tak mungkin diabaikan oleh Amerika. Mereka selalu berkepentingan dengan negeri ini. Tinggal bagaimana kita mengemasnya, daripada melawan secara frontal.
Namun saya harus setuju untuk belajar satu hal dari Amerika. Bagaimana sebuah minoritas bisa diterima menjadi pemimpin. Tentu saja harga yang sangat mahal untuk diterapkan di Indonesia.

You Might Also Like

62 Comments

  • dian
    November 8, 2008 at 10:29 am

    terbukti bahwa masyarakat america lebih mengutaman isi daripd kulit. indonesia non muslim untuk jd president kayaknya jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhh dari mungkin.

  • nico
    November 8, 2008 at 10:48 am

    @Mas Iman: bahasa rizal malarangeng-nya, “if there is a will, there is a way”. 😀

  • Sarah
    November 8, 2008 at 2:38 pm

    saya diajak ke amerika aja dehh..hehe

  • love-ely
    November 9, 2008 at 6:31 am

    Sementara ini yang kita lihat adalah Obama sebagai “pribadi”. Kita belum tahu bagaimana Obama sebagai “President”. Saya setuju dengan kalimat Anda di bagian bawah “Bagaimana sebuah minoritas bisa diterima menjadi pemimpin.”

    Salam buat Anda dan semua teman-teman di sini

  • Kunderemp An-Narkaulipsiy
    November 9, 2008 at 10:51 am

    Setuju dengan kalimat akhir Mas Iman.
    “Namun saya harus setuju untuk belajar satu hal dari Amerika. Bagaimana sebuah minoritas bisa diterima menjadi pemimpin. Tentu saja harga yang sangat mahal untuk diterapkan di Indonesia.”

    Tidak perlu terlalu berharap pada Amerika dan bahwa Obama menjadi presiden yang baik bagi rakyatnya sudah cukup walau kepentingan rakyat Amerika bertentangan dengan Indonesia. Tetapi kita perlu mengambil pelajaran bahwa rakyat Amerika (dan yang milih Obama banyak yang kulit putih!) bisa bersikap untuk melihat sosok tidak dari kulitnya.

  • indra
    November 10, 2008 at 3:26 pm

    duh, skeptis euy..
    gmn dunk..

  • Nyante Aza Lae
    November 12, 2008 at 10:26 am

    yg postif diambil…yg negatif di buang…slesai…he…he..

  • marshmallow
    November 12, 2008 at 9:39 pm

    pada akhirnya, amerika tetaplah amerika.
    bukan perkara siapa presidennya, toh pembisik dan ahli-ahli politiknya banyak, dan justru mereka yang lebih mendominasi keputusan.
    setuju, obama bisa jadi tak peduli bahwa dulu dia pernah sekolah di indonesia, dan akan memilih keputusan-keputusan yang populis juga tanpa pandang bulu.
    toh amerika adalah amerika, satu pemimpin saja tak kan mengubahnya secara bermakna.
    we are the one who should change to reclaim our dignity.

  • RyZQie
    November 13, 2008 at 12:02 pm

    wah.. salah satu blogger yang postingannya membuatku berdecak kagum. pemikirannya hampir sama walaupun aku ga sepinter sampeyan atau jauh bisa menyampaikannya, tapi keren banget bagi gw..
    bahkan obama bilang akan menyerang iran, karena disinyalir mempunyai nuklir. apa ga belajar dari kesalahan presiden sebelumnya ya, dulu irak dituduh seperti itu. tapi sampe sekarang ga ada buktinya, bahkan amerika sendiri mengeksploitasi ladang minyak mereka. bukannya ini penjajahan, apa gunanya PBB disono kalo gitu? ga belajar juga, kalo perang itu bikin mereka krisis finance dan sikapnya yg sok jadi polisi dunia itu buat aku gregetan.

  • bonek kesasar
    January 6, 2009 at 4:29 am

    “Pertanyaannya sekarang. Siapakah yang bisa bertahan dari gempuran ideologi dan pengaruh Amerika ?”

    Siapakah? Banyak woi. Indonesia juga bisa kok, hanya masalahnya mau nggak? Mau nggak berdiri di kaki sendiri. Jangan manja. Mau nggak masyarakat diajak susah? Yang aku maksud bukan rakyat yg udah kesrakat tetapi masyarakat yg di perkotaan yg udah dimanja dgn fasilitas.
    Mau nggak ke kantor pake sarung nasional? Enak kan adem, cocok dgn hawa tropis. Jangan pas kondangan aja pake baju nasional. Mau nggak mengganti menu nasi menjadi tiwul, nasi jagung, gatot? Mau nggak belanja ke pasar tradisional?
    Hal yang remeh temeh emang, tapi bukankah hal2 besar dimulai dari yg remeh temeh ginian? Pemerintah yg kupingnya dah tebel minta ditabok jarke wae. Bukannya saya suka dgn tindakan mereka terutama korupsinya, udah taraf mblukek, tetapi apa yg bisa saya lakukan dgn tangan kecil saya yg cuma dua ini.

    Amerika mau presidennya kulit hitam kek, kulit ijo kek, bahkan tekek sekalian kek, nggak ada hubungannya sama Indonesia kalau kita mandiri. Sanggup mandi sendiri..ups..maksudnya sanggup berdiri dgn kaki kita sendiri. Masalahnya sekali lagi adalah mau nggak? Banyak contohnya negara yg rakyatnya mandiri meskipun mlarat. Diembargo malah menguntungkan karena bisa kreatif menciptakan jalan keluar.

  • Melayu Boleh
    April 21, 2009 at 3:23 am

    Great man did a great job . Well done . I’m waiting your next post. I’ll share this with my friends.

  • alex
    November 8, 2012 at 8:14 am

    Negara ini butuh pemimpin, bukan (sekadar) presiden

1 2

Leave a Reply

*