Sepenggal cerita dari Myanmar

George Orwell penulis novel Inggris yang terkenal itu pernah menjalani hidup sebagai polisi di Myanmar ( dahulu disebut Burma ) pada masa kolonialisme. Pengalaman hidupnya menghasilkan novel ‘ Burmesse Days ‘, Dalam novel itu selain digambarkan kehidupan masa penjajahan, juga eksploatasi kekayaan alam – minyak dan kayu – oleh peusahaan perusahaan Inggris. John Flory, salah seorang tokoh utama mengkritik imperium penjajahan. “the lie that we’re here to uplift our poor black brothers instead of to rob them.”

Myanmar memang memiliki sejarah yang sama dengan Indonesia tentang pergolakan kemerdekaannya. Pejuangnya bertempur melawan tentara Jepang, dan konflik antar bangsanya sendiri.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, banyak orang Indonesia yang memilih Rangoon, ibu kota Burma sebagai tempat pengasingan untuk menyuarakan pendudukan Belanda. Sewaktu aksi pendudukan Belanda ke II tahun 1949. Radio perjuangan me-rely pendudukan Belanda dari Aceh ke kantor perwakilan Garuda Airways di Rangoon sebelum diteruskan ke New Delhi, India.

Kemudian Burma bersama Indonesia, Srilanka, Philipina pada waktu itu merupakan pioneer kebangkitan negara negara baru Asia yang berdiri setelah masa kolonialisme. Bahkan salah satu putra terbaik Burma, U Thant, pernah menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.

Kini Burma menjadi salah satu negara yang terbelakang di Asia. Setelah Militer mengambil alih kekuasaan. Negeri itu menjalani proses panjang kembali masuk ‘ era penjajahan baru ‘ oleh elit bangsanya sendiri. Junta Militer yang berkuasa memberangus demokrasi, hak hak sipil dan kebebasan politik. Nama Burma diubah menjadi Myanmar. Rangoon menjadi Yangon. Bahkan ibu kota negara dipindahkan Naypyidaw , sebuah kota baru di pedalaman Myanmar. Konon sebuah dataran tinggi ditebas dan oleh insinyur insinyur China dibangun sebuah kota baru.

Beberapa activis social media yang saya temui mengatakan, pemilihan ibu kota baru karena alasan takhayul para jenderal jenderal dewan militer. Disamping sebagai langkah pencegahan jika negeri itu diserang oleh negeri asing. Karena ibukota ini terletak di pedalaman, tidak seperti Yangon yang terbuka posisinya.

Myanmar adalah negeri yang luas dengan populasi sekitar 54 juta jiwa. Negerinya lebih luas dan kaya dari negeri negeri di sekelilingnya seperti Thailand dan kawasan Indocina. Myanmar memiliki gas, minyak, uranium, batu batu mulia seperti jade, ruby dan juga kayu.

Karena isolasi dan larangan bisnis dari barat – walau sekarang sebagian sudah dicabut, umumnya masih didominasi perusahaan perusahaan Cina yang mengelola sumber daya mineral negeri itu. Namun kekayaan itu lebih banyak dinikmati para elite militer dan kroninya. Padahal sebagian besar rakyat masih hidup dalam garis kemiskinan.

Perjalanan ke Myanmar menjadi pengalaman yang terlupakan karena saya merasa seperti melihat potret bangsa Indonesia sendiri. Kota kota yang ‘ lusuh ‘ , warung pinggir Jalan, pengemis, kaki lima, lapak lapak DVD, pasar becek, sampah menumpuk di pojokan jalan, orang orang berjejal diatas bus kota sampai motor hilir mudik yang semrawut.
Masyarakat mereka sama karakteristiknya seperti kita. Mudah dijejali produk produk konsumsi, dari makanan keripik sampai personal goods. Tidak heran banyak produk produk Indonesia ditemui disana. Sebut saja Garuda Food, Mix Agrip sampai sabun Anita.

Internet dan komunikasi mobile phone masih merupakan kendala. Jaringan sinyal luar negeri tidak bisa berfungsi disini. Lupakan Indosat, XL, Telkomsel kita yang bisa diakses diseluruh dunia. Tapi tidak di Myanmar.
Kalaupun membeli pulsa lokal, akan sangat cepat habis dan mahal sekali untuk berbicara ke luar negeri. Sementara sms diblock. Tidak bisa sms ke luar negeri.
Internet dengan jaringan WiFi hanya ditemui di hotel hotel, restaurant atau café internet. Itupun kadang kadang mati kalau malam menjelang pagi.
Agaknya pemerintah mereka benar benar mengontrol jaringan komunikasi seluler dan internet.
Telpon umum tidak ada disana, saya menjumpai beberapa public phone, dalam arti orang yang menyewakan telpon rumah di pinggir jalan.

Makanan di Myanmar hampir serupa, baik bentuk atau cita rasa dengan masakan Padang. Berminyak. Mereka juga biasa memakan memakai tangan. Dalam beberapa kesempatan, saya sering menemukan semur jengkol, sayur kangkung, lele goreng dan gulai daging babi atau ayam. Jadi tidak terlalu bermasalah bagi saya. Mereka juga menghidangkan lalapan seperti kita. Satu satunya yang membedakan adalah sambal mereka yang berwarna abu abu. Rasanya tidak pedas, tapi agak asin. Aneh rasanya.

Melihat Yangon, kota terbesar di Myanmar, seperti kita membayangkan kota Medan dengan mall mall tidak lebih bagus dari di Cirebon atau Tegal. Sementara kita masih memiliki gedung gedung pencakar langit, mall, life style yang modern serta kelompok masyarakat kelas menengah yang melek internet.
Yangon juga mencerminkan tradisi bangsa Myanmar. Kaum lelaki yang sehari hari memakai sejenis sarung yang dinamakan Longji serta biarawan biarawati Buddha yang lalu lalang di tiap pojokan negeri.

Para bhiksu setiap pagi pergi keliling untuk menerima sumbangan makanan dari warga, sementara yang perempuan dilarang menerima makanan, tapi menerima beras, bahan makanan – kadang uang – kemudian dimasak bersama di biara mereka.

Bagi umat Buddha, memberi sumbangan atau makanan kepada biarawan/wati merupakan simbol menanam kebaikan yang nanti hasilnya akan dipetik suatu saat kelak, dalam bentuk reinkarnasi yang lebih baik.

Tentu saja, sebagai negeri yang bernafas ajaran Buddha, sangat mudah menemui Pagoda disana. Umumnya Pagoda didisain dengan tiga atau lima teras menuju puncak stupa berbentuk lonceng yang diujungnya terdapat seperti payung yang dinamakan hti. Beberapa pagoda memiliki tangga menuju teras paling tinggi. Pagoda juga memiliki ruang ruang tempat memyimpan barang barang suci Sang Buddha.

Salah satu yang terbesar di Yangon adalah Shwedagon, yang menjadi landmark kota. Dikisahkan 2500 tahun lalu, Sang Buddha mendapat kunjungan dua orang bersaudara , Tapussa dan Bhalilika yang datang dari Myanmar. Mereka membawa kue madu untuk diberikan kepada Budhha yang dibalas dengan memberikan 8 lembar rambut dari kepala Sang Buddha. Kemudiaan di negeri asalnya, rambut tersebut diberikan kepada Raja Okkalapa yang kemudian membangun pagoda sebagai tanda penghormatan.
Awalnya tinggi pagoda itu hanya 66 kaki, sampai kemudian mulai abad 14 terus direnovasi hingga sekarang mencapai ketinggian 326 kaki atau 100 meter lebih.
Hti puncak Pagoda didekorasi dengan 3154 lonceng emas, 79569 intan dan berbagai perhiasan batu mulia.

Salah satu tempat yang terkenal dengan pagoda pagoda, adalah Bagan, Sebuah kota kuno yang dijuluki tanah pagoda, terletak di distrik Mandalay, Myanmar tengah. Dengan pesawat propeller, penerbangan dari Yangon ditempuh sekitar 1,5 jam. Sungguh menakjubkan melihat ribuan pagoda pagoda peninggalan jaman dulu yang tersebar dimana mana. Membawa ke dalam ruang ruang kebesaran Raja Anawrahta yang membangun kota ini.

Saya duduk di puncak stupa pagoda Shwesandaw, salah satu yang terbesar di Bagan sambil memandangi senja dengan sinarnya yang lembut membelai pipi. Dikejauhan tampak petani menggiring ternak sapi sapinya untuk pulang menuju kandang melewati candi atau pagoda pagoda kecil.
Sungguh damai suasana ini. Beberapa turis bule duduk sendiri termenung , entah melamun apa sambil memandang hamparan pagoda pagoda yang makin lama maki gelap karena senja.
Tak salah jika seorang penulis asal Myanmar, Than Oo menggambarkan keindahan ini. “ But the most memorable scenes in Bagan are the sunrises and sunsets, when the ancient ruins are but vague silhouettes in the twilight “.

Satu satunya yang merusak suasana, adalah para penjual / pedagang asongan yang menunggu di tangga paling bawah pagoda, kemudian mengejar ngejar sambil memaksa membeli barang dagangan post card atau baju baju.

Menurut Ko Myu, supir yang mengantar saya selama di Bagan, bulan terbaik untuk datang ke sini adalah bulan November sampai Februari. Ketika musim hujan sudah lewat, dan umumnya cuaca cerah sehingga bisa melihat sunset atau sunrise dari puncak pagoda.
Bagan terletak di tepi sungai Ayeyarwaddy yang sudah merupakan urat nadi transportasi sejak jaman penjajahan Inggris. Dari teras kamar hotel, saya bisa melihat nelayan sungai menangkap ikan.

Selama di Bagan – lebih tepat disebut desa kecamatan, daripada kota – saya menikmati kehidupan bangsa Myanmar sehari hari. Kita bisa menyewa sepeda, untuk berjalan menyusuri pedalaman.
Di sebuah desa saya menemukan sebuah prosesi yang kerap dijalani oleh anak anak usia 7 sampai 15 tahun untuk memasuki kehidupan biara. Ceremoni ini disebut Shihbyu, dimana para kandidat bhiksu ini – disebut maung yin lyaung – didandani dengan pakaian adat, lalu di arak diringi music music tradisonal, keliling desa oleh orang tua dan keluarganya menuju biara setempat.

Para anak anak itu akan meminta ijin kepada kepala biara untuk diijinkan tinggal di biara selama seminggu atau lebih. Setelah dijinkan mereka harus memotong rambutnya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian biara.
Prosesi ini merupakan kebanggan keluarga dan orang tua, bahkan ketika anak anak mereka kelak memutuskan untuk hidup di biara.

Memahami Myanmar mungkin dengan melihat bagaimana mereka menghargai budaya tradisional mereka. Jika kaum lelaki memakai Lonji. Maka kaum perempuan tidak pernah malu memakai Thanaka, sejenis bedak basah yang melumuri wajah mereka. Bagi kita tentu merasa lucu melihat wajah wajah perempuan Myanmar yang coreng moreng belepotan.

Thanaka merupakan bedak tradisional yang sangat popular, yang dibuat dari batang pohon Thanaka yang digerus diatas semacam ‘ulegan’ batu. Asal muasalnya, untuk melindungi wajah dari iklim yang panas disana. Sekaligus memberikan efek cooling – pendingin – di kulit wajah. Sedemikian populernya bedak ini. Thanaka juga diproduksi secara massal, dibungkus dalam kemasan modern serta diiklankan di TV atau billboard !

Saya rasa perjalanan bangsa ini masih sangat panjang. Aung San Su Kyi baru saja memperoleh kebebasannya setelah penantian panjang untuk kebebasan demokrasi di Myanmar. Militer tentu tak serta merta langsung memberikan ruang selebar lebarnya. Masih perlahan dan tarik ulur. Tapi saya percaya, tak ada yang bisa membungkam suara rakyat.
Khin Sandar Tun dan Myat Pwint Pyu , dua orang blogger yang menemani saya selalu mengatakan bahwa bangsa mereka tidak miskin miskin sekali. Mereka masih memiliki kekayaan harga diri dalam bentuk National pride.

Saya hanya tersenyum mendengarkan suara protes mereka, karena dianggap sebagai bangsa paria di Asia. Dalam hati saya berkata, bangsa kami juga memiliki problem yang sama dengan kalian. Korupsi, nepotisme dan pat gulipat para elite. George Orwell pun sudah menulis tokoh U Po Kyin, elite pribumi yang korup dalam novelnya.
Myanmar, juga Indonesia dan mungkin banyak negara lainnya akan terus melawan ketidakadilan ini. Dan saya selalu percaya pada hari baik yang akan datang. Bagi yang merasa pesimis dengan masa depan negeri kita, Bersiap siaplah untuk kecewa.
Tiba tiba saya merasa sangat rindu tanah air dan benci dengan politisi busuk.

You Might Also Like

31 Comments

  • Herman Saksono
    June 3, 2012 at 11:56 am

    Sangat menarik Mas. Dari dulu saya penasaran seperti apa itu Myanmar.

  • ikhsan
    June 3, 2012 at 12:24 pm

    Menarik sekali ceritanya mas Iman, ndak di Mynmar ndak di Indonesia yang namanya korupsi sama saja. tapi di Indonesia masih lebih baik setidaknya untuk Internetnya 🙂

  • venus
    June 3, 2012 at 3:56 pm

    mbok ya kapan2 aku diajakin kalo ada pertemuan2 blogger gitu tho mas.. *dikaplok* :))

  • meong
    June 3, 2012 at 5:00 pm

    ada masjid ga mas, di myanmar?

    *ngikik, teringat ada yg nanya gitu di blognya momon*

    sepertinya kl jd warga myanmar, bakal berandai-andai, lebih baik berada di masa lalu drpd sekarang.
    itu foto pagodanya, mempesona sekali, mistis…

  • antyo
    June 3, 2012 at 5:53 pm

    wah merangsang tenan cerita njenengan bung. saya belum klakon menyang burma… 🙂

  • Iman Brotoseno
    June 3, 2012 at 6:06 pm

    Memeth,
    ada mesjid kok di Myanmar, banyak…bahkan suatu pagi ketika menuju Airport ( karena penerbangan ke Bagan jam 6 pagi ) saya mendengar adzan subuh. Myanmar selatan khan banyak muslimnya. Sementara Myanmar utara yg berbatasan dengan China, lebih banyak Kristennya.
    Di depan pusat kota didepan City Hall, semacam gedung Balaikota. Terdapat Mesjid Sunni Bengali, dan disebrangnya ada Gereja Baptist.

  • arya
    June 3, 2012 at 8:13 pm

    sebuah negeri yg indah tapi terbelakang krn ulah penguasanya sendiri. oya, sempat foto di depan markasnya Aung San Suu Kyi ya mas? keren tuh!

  • Ceritaeka
    June 4, 2012 at 10:36 am

    Pagoda-pagodanya keren banget 🙂

  • DV
    June 4, 2012 at 11:00 am

    Saya pengen ke Myanmar karena U2. U2 bikin lagu Walk On yang mengisahkan Syu Kii yang orang Myanmar.. 🙂
    Ada apa bung kok ke Myanmar? Suting iklan baru?

  • nicowijaya
    June 4, 2012 at 11:51 am

    selalu enak mbaca tulisannya masiman!

  • Sanjaya Wisnu
    June 4, 2012 at 12:33 pm

    “Mereka masih memiliki kekayaan harga diri dalam bentuk National pride. ”

    ini hebat 😀

  • Ida Nurbagus
    June 4, 2012 at 12:53 pm

    keren

  • I Miss U Iman en orbaShit
    June 4, 2012 at 4:49 pm

    ternyata semur jengkol ada juga di Myanmar….

  • dilla
    June 5, 2012 at 11:34 am

    Membayangkan sambel warna abu-abu..
    Cabenya model apa ya yang dipake.. XD

  • edratna
    June 9, 2012 at 6:41 am

    Cerita yang indah, serasa ikut petualangan di sana. Senang jika melihat mas Iman jalan-jalan, nanti pasti ada postingannya…melihat budaya negara yang dikunjungi, dan melihat sampai ke rakyat kecilnya dalam berkomunikasi.

    Melihat foto perempuan pakai bedak itu, jadi ingat bedak “Yayi”…cara pakainya, diberi air dulu, untuk dipakai bedakan saat siang atau malam, agar wajah mulus…terasa nyaman setelah bepergian, terutama untuk kota kecilku yang panas.

  • dylan jalarambang
    June 15, 2012 at 6:05 pm

    bersuaralah dengan proporsional, tanpa ada kepentingan apa2, tanpa keberpihakan, nihil tendensius dan seharusnya murni karena hati nurani dan atas nama kedamaian…
    tapi mana suara anda bung ketika umat islam minoritas di myanmar dizholimi oleh kaum mayoritas….anda begitu cepat berkoar ketika minoritas di negeri sendiri mendapat ketidak adilan tapi anda bungkam ketika umat minoritas di belahan bumi lain juga mendapat perlakuan serupa dan malah efeknya lebih tragis dan menyayat hati…
    salam imparsiall..bung

  • sylvi
    June 16, 2012 at 11:45 am

    resiko punya blog kyk gne ya mas Iman……da yg menyanjung….da yg mengecam……tpi aku percaya mas Iman dah siap dgn sgala wawasan dan pengalaman yang anda miliki.

  • Satria
    July 31, 2012 at 10:19 am

    Mas saya berencana akan ke Myanmar bulan Januari 2013. Ada 4 kota yg ingin saya kunjungi yaitu Yangon, Mandalay, Bagan dan Inle Lake. Mnrt mas, bagaimana urut2 an sebaiknya ? dan moda transportasinya naik apa ? bisa diceritakan hotel yg dulu ditempati selama di Yangon, Bagan dan Mandalay ? Trimakasih mas penjelasannya bisa melalui PM ke satriapegasus119@yahoo.com

  • Iman Brotoseno
    August 1, 2012 at 4:40 am

    Satria,
    Dulu saya memesan melalui jaringan seperti Agoda(dot)com.. Tergantung budgeting kamu,
    Untuk pesawat ada beberapa pilihan, dengan MAS transit di KL atau SQ atau Thai dengan transit di Singapore. Dari Yangon utk mencapai Mandala atau Bagan bisa dengan Aur Bagan. Pemesanan bisa dilakukan melalui hotel di Yangon.
    Untuk daerah Bagan atau Manadalay bisa menghubungi Ko Myo seorang guide yang bisa sekaligus menyediakan transportasi mobil sewaan, emailnya : kmmyo_moe@gmail.com atau di telp 0095947060768

  • Jaka Purwanto
    September 14, 2012 at 7:33 pm

    Memang menarik mas cerita perjalanan ke mynamar.oya…sy pun sdh pernah ke Myanmar feb 2011 selama 2 minggu,,kebetulan sy punya keluarga angkat di south dago ,Yangon,bahkan tgl 15-19 feb 2013 sy akan ke sana lagi,untuk melanjutkan perjalanan yg tertinggal dl,tp enaknya sy kemana-mana ada yg nganter heheh…mandalay ,mykita, comyla(mf kl ejaannya krg bener,agak lupa)dan banyak tempat lg yg saya sudah kunjungi…kalo ada temen2 yg mau ke myanmar pd bulan feb(musim dingin),kita bisa ketemuan di sana….

  • inne
    January 15, 2013 at 8:38 pm

    mas boleh minta detail kontak supir yg di bagan

  • inne
    January 15, 2013 at 8:44 pm

    hi… boleh minta kontak dirver yg di bagan .. tks

  • santi
    January 25, 2013 at 2:57 pm

    Saya pengen banget ke myanmar,tp sayangnya saya tidak bisa bahasa myanmar,bagaimana tuh??
    Apa disana ada orang yg bisa bahasa indonesia??

  • santi
    January 25, 2013 at 3:00 pm

    Saya pengen banget ke myanmar,tp sayangnya saya tidak bisa bahasa myanmar,bagaimana donk??apa ada yg bisa membantuku??
    Apa disana ada orang yg bisa bahasa indonesia??

  • Myanmar, NYtimes Bilang Ribet! | Masdendy's Blog
    August 30, 2013 at 8:52 am

    […] from : here and here Share this:Like this:Suka […]

  • Arida
    October 15, 2013 at 2:07 pm

    Sy br pindah ke yangon sminggu ini, untuk internet sudah ada wimax dan seluler sudah bisa sms.. Tv kabel juga sudah ada. Tp tulisannya bagus mas, bener jd inget negeri tercinta smoga yg korup habis masa jayanya..

  • Wihan
    December 20, 2013 at 9:20 pm

    Mau tanya, kalo kita pake jilbab, aman gak ya berkunjung kesana? mengingat bbrp waktu lalu terjadi konflik agama disana

  • Rina
    June 14, 2017 at 1:35 pm

    menarik sekali tulisannya yang membahas soal masyarakat Myanmar. Saya kesana Mei 2017, pasti jauh berbeda tahun 2012 lalu. Internet masih lambat bgt sih di hostel

  • kiiy
    September 5, 2018 at 5:07 pm

    keren mas

  • Jual Alat Drumband Solo
    July 5, 2019 at 2:53 pm

    terimakasih, artikelnya sangat bermanfaat sekali. jangan lupa umtuk mengunjungi kami di Jual Alat Drumband Solo

  • ibas
    October 10, 2023 at 11:08 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*