Ada apa dengan Film Impor

In a way, there is something quoite noble about what we do. Our potential impact can not be minimized and should never be trivialized. At the same time that America has lost its dominance of the world’s economy. It has become a pre-eminent force in the world’s culture.

And this is largely because of what we do. People around the world may no longer drive in American cars, build with American steel or listen to American radios. But they go see American Films. They share our hopes and dreams and values when they experience the joy of a “ Pretty Woman “, the enchanment of a “ little mermaid “, or the inspiration of a “ Dead poets society “ .

Itu adalah cuplikan dari internal memo tanggal 1 November 1991 yang dibuat oleh Jeffrey Katzenberg – petinggi dari Walt Disney – yang ditujukan kepada seluruh pimpinan dan staff perusahaan. Memo sebanyak 10 halaman memang berisi strategi bisnis perusahaannya. Namun secara keseluruhan juga mencerminkan bagaimana mereka menjaga masa depan perfilman Amerika, dalam sebuah konglomerasi industri film yang luar biasa kuatnya.

Ramainya suara suara penolakan terhadap pajak film impor serta ancaman distributor Motion Picture Association ( MPA ) untuk menarik film film Amerika – baca : Hollywood – dari pasar Indonesia sebagai bentuk protes pengenaan royalti bisa dilihat secara luas justru sebagai bentuk perlawanan bisnis.

Dalam kasus ini sebenarnya yang diributkan hal hal yang sudah lazim dalam dunia perdagangan. Masalah pajak. Dan ditenggarai para importer film tidak melaporkan nilai transaksi secara benar. Padahal menurut Undang Undang no 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan adalah nilai transaksi sebenarnya, yaitu nilai yang dibayarkan atau akan dibayarkan oleh importer. Selama inu patokan yang dipakai dalam cara penghitungan bea masuk dari film Impor adalah pukul rata US$0,43 per meter.

Ada sebuah ilustrasi menarik yang ditulis Sepudin Zuhri , wartawan Bisnis Indonesia. Ia menunjuk film film box office di Indonesia, yakni G.I. Joe, Harry Potter and The Half Blood Prince, Transformer, Terminator Salvation, Angels and Demands, X- Men Origins, 2012, dan Avatar. Dari 8 film tersebut meraup pemasukan sebesar US $ 22,4 juta atau sekitar Rp 220 milyar.

Untuk 8 judul film itu hanya diimpor 508 copy, yang dihitung 3000 meter per copy. Jadi memakai perhitungan US $ 0,43 per meter artinya nilai pabean yang dibayarkan hanya US $ 655,320,-. Dengan tarif bea masuk film sebesar 10%, negara hanya mendapatkan US$65,532 atau sekitar Rp 625 juta saja dengan asumsi nilai film Rp 77,8 juta per judul. Tentu bagai bumi dan langit jika dibandingkan film Impor dari Hollywood yang telah menghasilkan sekitar Rp220 miliar.

Surat edaran ini hanya menegaskan peraturan yang sebenarnya sudah berlaku sejak lama yang harus diluruskan . Sebenarnya Surat Edaran Dirjen Pajak No 3 tanggal 10 Januari 2011 yang memicu keberatan para importer karena adanya pengenaan pajak royalty tidak berlaku untuk semua film impor. Pajak royalti hanya dikenakan pada film yang diimpor anggota Motion Picture Association, karena MPA mengedarkan langsung film mereka di Indonesia. Bioskop bioskop yang telah membeli film impor lain yang hak royaltinya sudah dibeli oleh importer tidak dikenai pajak royalti. Namun memang semestinya Pemerintah menyebutkan dengan jelas obyek pajak royalti ini.

Model peredaran film Hollywood yang diimpor tersebut dilakukan secara langsung, sehingga hasil edar harus disetorkan ke produser asing di Hollywood. Konsekuensi penting dari sistem peredaran langsung tersebut, devisa Indonesia harus lari ke luar negeri akibat film impor itu.

Ini hanya masalah perdagangan. Masalah uang. Pemerintah merasa pemasukan yang sangat kecil dibanding dengan kewajiban yang harus dibayar importer film. Bukan urusan nasionalisme perfilman, bukan juga tiba tiba Pemerintah dituduh menjadi tidak peka terhadap pertumbuhan film nasional.
Sungguh menyedihkan jika kasus ini diseret seret menjadi pertentangan para sineas nasional dengan Pemerintah. Bahwa ancaman MPA untuk tidak memutar film film Hollywood di bioskop Indonesia akan menghadirkan kecemasan, yang ujung ujungnya kematian film nasional itu sendiri.

Apakah benar ?

Pertama kita mengakui bahwa jumlah film nasional yang mengisi bioskop bioskop – baca Jaringan 21 – masih jauh dari cukup. Jika ketentuan yang mengisyaratkan rasio film nasional dan film asing sebesar 60 : 40, masih belum sepenuhnya terpenuhi. Justru film asing 70 persen dan film nasional hanya 30 persen. Jadi memang masuk akal, akan terjadi kekosongan pasokan jika ancaman MPA benar benar dilakukan.

Hampir mustahil Amerika akan meninggalkan pasar Indonesia yang besar ini. Bukan saja dari pemasukan, tapi yang paling penting Amerika berkepentingan untuk melakukan ’brain storming ‘ sebuah peradaban.
Melalui film, kita melihat etalase makanan cepat saji mereka, gaya hidup mereka dan juga demokrasi mereka.
Apakah kebetulan, jika pada periode yang sama, ketika memo internal Walt Disney itu ditulis, Amerika bisa menekan Indonesia untuk membuka kran film impornya dengan ancaman menutup ekspor tekstil Indonesia ke negeri Paman Sam itu.

Thailand pernah mengalami hal yang sama dengan kekisruhan di Indonesia. Namun akhirnya gertakan MPA tidak berhasil. Mereka akhirnya membayar pajak sesuai ketentuan di negeri gajah tersebut.
Jelas Amerika membutuhkan film untuk menaklukan dunia serta mewartakan suaranya.

Kedua, apakah film nasional akan mati dengan sendirinya dengan ketiadaan film film Hollywood. Lucunya para sineas bersatu padu seperti mendukung pemilik jaringan bioskop dan distributor, dan menuding Pemerintah tidak peka.
Padahal di satu sisi justru ancaman boikot Amerika justru menguntungkan sineas lokal untuk mengisi kekosongan. Hanya saya tidak melihat aspek disana dalam tulisan ini, karena banyak variable untuk memutuskan memproduksi sebuah film. Diantaranya biaya yang tidak sedikit, sementara di Indonesia film belum merupakan industri sebagaimana di Amerika.

Disayangkan issue ini bergeser menjadi menjadi issue antara masyarakat film melawan Pemerintah yang otoriter. Pemilik jaringan bioskop yang sekaligus menikmati ‘ monopoli ‘ ( dalam tanda kutip ) selama 20 tahun, secara tidak langsung menggiring para sineas untuk masuk ke dalam issue pajak lainnya yang memang merupakan musuh bersama pekerja film.
Bagaimana beban biaya produksi yang berat karena beban pajak mulai dari sektor hulu seperti bahan baku sampai sektor hilir di pajak tontonan misalnya.
Walau sebenarnya pada tgl 22 Desember 2010 telah dikeluarkan peraturan Menkeu no 241, dimana tarif beberapa bahan baku dan peralatan film telah di nol kan. Namun tarif film impor belum disesuaikan atau dinaikan.

Bagi saya, bukan menjadi sok pahlawan dengan memperjuangkan negara untuk memungut pajak dari pihak asing.
Tapi selama ini bukankan para sineas berteriak bahwa pajak film nasional lebih besar daripada pajak impor sehingga ada kekuatiran pembuat film terjebak dalam ‘ market oriented ‘.

Tidak disangkal para sineas membutuhkan referensi referensi film asing. Jelas film Hollywood sudah hampir 20 tahun menjadi ‘ benchmark ‘ bagi sineas maupun penonton. Film film Perancis, Korea, Thailand sebagai tontonan alternative belum berapa lama diperkenalkan ke jaringan bioskop.
Tapi mestinya tidak sepesimis itu. Katakanlah MPA benar benar menjalani boikot itu. Tentu para pemilik bioskop tidak akan membiarkan investasinya menjadi kuburan.

Mustahil juga mereka kelas menengah – penikmat jaringan bioskop 21 cineplex atau blitzmegaplex – akan merubah kebiasaan gaya hidupnya hanya karena tidak ada film film Hollywood. Nonton sudah menjadi kebutuhan primer. Mereka bisa melihat alternative film film dari jaringan independen, film Eropa atau Asia lainnya yang bagus.

Lihat juga catatan dari petinggi Walt Disney tadi tentang tontonan bioskop

Magic is the key. Regardless of the recession, people will still leave their VCR’s go to movie theater, of they are convinced that the experience that awaits them there will be magical enough.
We are lucky. We get to manufacture magic and, in so doing, produce a product that makes s difference. Most other job exist to create products that purely functional. While any profession can have its rewards, the range of impact in producing shoes or cars or toothpaste is limited. Our product has no function other than to entertain. It is only limits are set by our imaginations.

Pun jika kelak nanti terjadi deal antara MPA dan Pemerintah. Pemilik jaringan biokop bisa dengan mudah untuk membebankan biaya pajak ini pada kenaikan harga karcis. Apakah para penonton kelas menengah akan protes ?
Kalau melihat catatan sejarah tahun 50an, film film Amerika hanya dinikmati di bioskop kelas 1 dengan harga karcis yang berbeda dengan film film dalam negeri.
Jika pihak MPA bersikeras melakukan boikot. Mereka akan rugi sendiri pada akhirnya. Tentu mereka masih mengingat sepenggal puisi berjudu “ Aksi Boikot “ yang diteriakan Sitor Situmorang pada paruh tahun 60an. Ketika film film Amerika di gayang.

Jadi sepanjang masyarakat masih membutuhkan hiburan yang tidak dapat diperoleh di ruang keluarganya. Mereka akan tetap datang ke bioskop. Untuk sementara lupakan dulu Johny Deep. Kini tetap ada dengan pilihan beragam. Dari Arwah Goyang Kerawang atau Cewek Saweran sampai film film Zang Zimou atau Roland Joffe dari Perancis.
Well ini masalah selera bukan ?

Gambar : Google images
Memo Walt Disney from @AdiWriter

You Might Also Like

13 Comments

  • meong
    February 23, 2011 at 6:48 pm

    dari awal sudah tebak2 buah manggis, dengan berpikir siapa pihak yg paling dirugikan dalam kasus ini. tebakan manggis saya adalah importir film.
    dan isu tentang dicabutnya film luar dr bioskop, kutanggapi dg santai saja. satu, krn sudah menduga ada manipulasi isu untuk kepentingan pihak tertentu (importir film), kedua, jogja sudah pernah merasakan tanpa bioskop selama bbrp waktu.

    yay, sudah lama ndak komen di blog mas iman.
    heeeeh kenapa skrg ada captcha-nyaaaaaa

  • Tweets that mention Ada apa dengan Film Impor | Iman Brotoseno -- Topsy.com
    February 23, 2011 at 7:52 pm

    […] This post was mentioned on Twitter by Emeldah Suwandi, Iman Brotoseno. Iman Brotoseno said: Update Blog – Ada Apa Film Impor http://bit.ly/hu1tAU […]

  • DV
    February 24, 2011 at 6:13 am

    Hmmm…. jadi sebenarnya lebih pada masalah uang ya, Mas…
    Pemerintah barangkali sudah benar, tapi penerapannya mengagetkan Amerika yang telah lama ter-ninabobo-kan?

  • boyin
    February 24, 2011 at 9:49 am

    saya jarang ke cinema, lebih ke dvd bajakan saja…kalo prediksi saya sih pemerintahlah yg jadi pemenang nantinya, mereka khan lebih suka wayang kulit….

  • Ann
    February 24, 2011 at 1:46 pm

    Ada yg bilang kekosongan film Hollywood bisa dipakai untuk menjadi moment kebangkitan film Indonesia. Apa mungkin?

  • kunderemp
    February 24, 2011 at 3:02 pm

    Ananda Siregar dari Blitz di Kompas minggu kemarin (padahal Blitz sering jadi korban monopoli 21) juga mengatakan film non-MPA juga mungkin terpengaruh. Boikot (dibantah ama MPA) sih gak ada cuma importir bisa atau tidak.

    Selain itu menghitung royalti untuk Pabean yang kemudian jadi pertimbangan bea masuk itu bagaimana? Gosipnya ada yang sistemnya bagi hasil. Apakah royalti sudah jelas kalau sistemnya seperti itu?

    Kurasa, sineas seperti Nia Dinata, Mira Lesmana, atau produser Lala Timothy (Pintu Terlarang) bukan tergiring untuk mendukung bioskop. Suka atau tidak suka, film mereka jauh lebih populer ketika lewat jaringan bioskop. Dulu ketika tahun 2002 AADC dirilis, diputar di bioskop (almarhum) Mataram Yogya yang merupakan bagian dari jaringan 21, bukan bioskop Indra atau bioskop Permata.

  • Lance
    February 24, 2011 at 4:41 pm

    Kunderemp,
    Bukan goisp tentang bagi hasil. Sekarang MPA dan jaringan bioskop hitungannya bagi hasil 50 : 50 dari hasil penjualan. Ini karena mereka mendistribusikan langsung ke bioskop. Selama ini pajak mereka hanya hitungan per feet sebagaimana ilustrasi di atas.

    Memang ada ketergantungan sineas dengan bioskop, tak dapat dipungkiri. Namun issue yg bergulir disini adalah justru pd pengusaha bioskop dan distributor. Bukan ke sineas. Khan selama ini sineas protes ke Pemerintah, karena pajak film impor jauh lebih murah daripada pajak produksi film. Jadi memang lebih baik tidak usah tergelincir ke ranah yang beda

  • Sarah
    February 25, 2011 at 8:09 pm

    Aku masih pengen nonton film impor. Nggak asik kalau hanya film Indonesia saja..Tapi pastinya semua akan normal lagi, * feeling

  • fianagus
    March 2, 2011 at 8:39 am

    klo aku sih masih suka film impor,.,
    indonesia filmnya bosenin.,sdh bisa di tebak jln critanya,.(sok tau.,)

  • melivedder
    March 11, 2011 at 2:08 pm

    wah, klo ngebahasnya begini caranya, jadi paham en dukung banget pemerintah :p *tumben* thx ya mas imam, pokoke indonesia i love you full, deh!

  • edratna
    March 13, 2011 at 10:12 am

    Indonesia pasar yang potensial, bukan hanya film, namun juga komoditi yang lain.
    Hmm kita memang harus tegas…..

  • Brama Danuwinata
    March 31, 2011 at 11:01 am

    hehe, untunglah film-film impor masih ada di bioskop kita hingga sekarang. x)

  • Tentang film impor | 3 Srikandi
    June 1, 2015 at 4:28 pm

    […] dikuti dari blog Iman Brotoseno […]

Leave a Reply

*